Dunia Aktivis, Dunia Kebohongan


SAYA agak stres bekerja dengan teman-teman mahasiswa ataupun para mantan aktivis. Mereka tak pernah bisa menghargai waktu dan suka menggampangkan keadaan. Jika diberi target, mereka akan menganggap remeh target tersebut dan pikirannya selalu mau menggampangkan sesuatu. Mereka suka mengerjakan tugas pada detik terakhir dari target yang diberikan, kemudian suka mencari alasan (apologi), tanpa berjiwa besar untuk mengakui kesalahannya.

Dunia aktivisme itu ternyata tidak banyak mengajarkan apa-apa selain dari kelelahan berpikir (seolah-olah besok akan kiamat), sikap pongah, serta ambisi untuk selalu mencari jalan pintas. Dunia aktivis kemahasiswaan hanya mengajarkan orang sedikit kebanggaan karena merasa dekat dengan pejabat A atau pejabat B. Lihat saja gaya bicara para aktivis mahasiswa. Seakan-akan merasa bangga ketika menyebut nama presiden seolah-olah presiden itu adalah temannya sendiri. Ketika menyebut menteri atau panglima TNI seolah-olah sangat dekat dan membanggakan kedekatannya itu.

Siapa bilang dunia ini mengajarkan intelektualitas? Tidak. Kalau tak percaya, coba hitung berapa banyak intelektual yang dulunya aktivis. Pasti sangat jarang. Atau coba cek ke mana para aktivis yang dulunya vokal. Pasti, mereka jadi politisi dan tidak jadi intelektual. Kalaupun ada yang jadi intelektual, pastilah jumlahnya bisa dihitung jari. Sedangkan sebagian besar dari mereka akan menjadi calo baik calo politik maupun calo pasar. Makanya, tak banyak aktivis yang benar-benar cerdas. Mereka sok cerdas. Mereka hanya berani ketika memaki-maki seorang pejabat atau akademisi yang berseberangan pendapat dengannya. Diskusi yang dihadiri para aktivis, pasti kacau dan heboh kayak kelas TK sebab mereka akan berteriak-teriak kalau tidak diberi kesempatan bicara, memaksakan bahwa pendapatnya yang paling benar, dan tidak siap dengan perbedaan pendapat.

Dunia aktivisme mahasiswa sesungguhnya tidak mengajarkan apa-apa. Dunia itu hanya mengajarkan sedikit kepongahan karena merasa hebat dan punya banyak peran bagi perubahan masyarakat. Dengan sering melakukan demonstrasi, seolah-olah mereka adalah pahlawan yang harus diperlakukan secara khusus dan istimewa. Padahal, mereka tak melakukan apa-apa selain dari berteriak-teriak dalam pesta demonstrasi (kemudian minta bayaran pada pemesan demo). Usai demo, mereka merasa cukup puas ketika media massa memuat foto atau berita tentang aksinya. Kalau media tidak memuatnya, maka mereka lalu anarkis, membakar mobil polisi biar semua media memuatnya. Mereka merasa keren ketika membakar mobil polisi atau memecahkan kaca di kantor pemerintah. Mereka merasa sudah hebat ketika berhasil memacetkan jalan raya dan membuat banyak orang susah.

Dunia aktivis adalah dunia penuh intrik, dunia penuh hipokrit, dunia penuh kebohongan. Makanya, mantan aktivis susah bekerja dalam satu sistem. Mereka merasa dirinya paling hebat. Saya stres kalau bekerja dengan mereka. Selalu pintar cari alasan di tengah ketidakbecusannya mengurusi hal-hal yang sepele.(*)

Makassar, 28 Juni 2008
(saat sedang stres)


1 komentar:

Anonim mengatakan...

sy sangat setuju bung Yusran. banyak teman2 aktivis yang kurang bisa bekerja sama dengan orang lain. sedikit yang punya toleransi, dan selalu menganggap bahwa tidak ada permasalahan yang tidak bisa mereke selesaikan. mereka merasa they're the chosen ones.

tapi saya pikir tidak bisa kita sama ratakan juga semua teman2 aktivis kita seperti itu...

yang saya rasakan dari teman2 yang ada (yang tentu tidak terlalu banyak jumlahnya) mereka sudah terasuki pikiran serba instant. mereka sudah terbiasa melihat "orang jadi" dan sedikit banyak merasakan nikmatnya menjadi "orang berhasil". akhirnya yang mereka lihat hasilnya saja, tapi tidak pernah benar2 meresapi bahwa ada perjuangan yang tidak gampang untuk menjadi "berhasil". akhirnya, mereka akan melakukan hal2 apa saja untuk mendapatkan "keberhasilan" itu secara cepat. itu penyakit yang sy lihat. cepat terlena dengan kemewahan, ketenaran, pujian.

entahlah bung...sya berharap kita berdua bisa saling menjaga satu sama lain. gimana?

keep on writing bung Yusran

Posting Komentar