Sastra dan Dunia Atap Langit



SASTRAWAN adalah mahluk paling angkuh di muka bumi ini. Mereka menghasilkan karya yang hanya dipahami oleh diri mereka sendiri, sementara orang lain justru harus berkerut kening untuk memahami apa yang mereka tulis. Ketika orang lain kesulitan memahami teks tersebut, langsung divonis tidak punya apresiasi seni yang baik. Semakin susah dipahami, dianggap semakin berkualitas. Mereka hanya asyik dengan dirinya dan tidak pernah peduli dengan fakta betapa sulitnya memahami apa yang dimaksudkan sang sastrawan. Seolah-olah sastra adalah dunia yang berada di atas langit dan tidak mendaratkan kakinya di atas bumi.

Sastrawan adalah mahluk paling angkuh karena sibuk membangun kategori sastra berkualitas dan sastra tidak berkualitas. Mereka merumuskan sendiri mana yang layak disebut sastra dan mana yang tidak layak. Atas dasar semua kategori tersebut, mereka lalu memvonis sesuatu sebagai sastra ataupun bukan. Ketika ada novel yang laris manis, langsung divonis sebagai selera murahan dan bukan sastra. Seakan-akan sastra adalah sesuatu yang eksklusif dan untuk memahaminya dibutuhkan pendalaman dan prasyarat yang kadang hanya dipahami oleh mereka.

Sastrawan adalah mahluk paling angkuh karena menggelar diskusi bedah karyanya, namun tak pernah siap dengan konsekuensi sebuah perdebatan. Ketika muncul apresiasi, maka langsung girang dan menganggap si pemberi apresiasi berbicara dengan sangat jujur, namun ketika muncul kritikan atau masukan, maka mereka berdalih bahwa si pengkritik tidak punya apresiasi sastra. Ketika peserta diskusi bedah karyanya sangat sedikit, maka langsung divonis bahwa orang-orang terjebak pada kedangkalan dunia kapitalisme.

Sastra adalah dunia atap langit yang bisa menggiring seseorang ke puncak keangkuhan dan memandang sinis pada yang lain. Bukankah setiap orang adalah sastrawan? Bukankah di setiap kebudayaan selalu saja ada tradisi untuk menjelmakan kata sebagai jalinan yang menggambarkan refleksi atas dunia yang sedang dihadapi? Bukankah semua tradisi lisan dan tulis adalah sastra?

1 komentar:

Anonim mengatakan...

kak yusran..mo ka ketawa.. pantas itu hari kita bertanya.. kenapa harus ada sastra yg berkualitas.. saya dari dulu juga bertanya yang seperti itu.. masalahnya selalu ada ukuran.. dan tolak ukur itu kadang angkuh..karena itu kita kita berkarya saja.. jangan pernah kita merasa karya kita bagus.. itu jie saaat ini saya pegang.. sayang sa ndak hadir waktu diskusi sastra bukan tawuran hahaha.. salam..

Posting Komentar