National Treasure 2: The Book of Secret



TERNYATA film National Treasure 2: The Book of Secret sangatlah menghibur. Kemarin, saya menyaksikan film itu bersama Dwi di Mal Panakkukang, Makassar, sembari merayakan pergantian tahun. Meskipun alur film itu masih sama dengan sekuel sebelumnya --yang lebih banyak menekankan pada detail-detail pencarian harta karun-- namun tetap saja menarik karena ada teka-teki dan misteri sejarah di situ. Saya suka jenis film seperti ini, yang merangsang pengetahuan kita pada hal-hal yang berbau sejarah. Bagiku, sejarah adalah mata air yang menjadi asal-muasal semua pengetahuan manusia. Sebuah kristalisasi pengetahuan yang tercatat rapi di setiap lembar buku sejarah.

Betapa celakanya bangsa yang tidak banyak mengambil inspirasi dari sejarah. Bukankah manusia di sepanjang sejarah senantiasa bergulat dengan persoalan yang sama? Perbedaannya hanyalah terletak pada aspek aksiden atau penampakan material saja, sedangkan pada tingkat terdalam, yang ada adalah lapisan yang sama. Makanya, sejarah peradaban bagiku hanyalah satu gerak yang siklis. Satu pengulangan-pengulangan saja atas apa yang terjadi sebelumnya. Jika dulunya manusia berperang dengan menggunakan tombak atau panah, maka sekarang perang dengan menggunakan nuklir. Tetapi intinya sama saja yaitu perang.

Nah, film National Treasure 2 ini menyimpan banyak butiran sejarah yang menarik untuk dikaji. Film dibuka dengan flashback pada tanggal 15 April 1865 ketika Presiden AS ke-16 Abraham Lincoln tewas tertembak. Dalam adegan film, Presiden AS yang paling masyhur dalam sejarah itu tertembak saat berpidato di panggung sebuah acara teater. Padahal, dalam versi Brytannica Encyclopedia, Lincoln tewas saat duduk menyaksikan acara teater. But, tak penting detail itu. Yang jelas, pada saat kejadian itu, ada juga kejadian lain ketika seorang pria bernama Thomas Gates tewas tertembak karena mengenali adanya pemberontak yang memintanya untuk menterjemahkan sebuah kode. Secara semena-mena, nama Thomas Gates dicatat sejarah sebagai seorang pemberontak. Sesuatu yang kemudian disesali semua keturunannya, mereka yang bermarga Gates (mungkin termasuk Bill Gates yaa). Memang, Amerika di masa itu penuh bersimbah darah oleh perang saudara antara utara dan selatan. Konflik berkecamuk. Lincoln mati sebagai martir dari nilai-nilai kemanusiaan yang dihayati diperjuangkannya sejak memasuki kancah politik.

Kembali ke film. Ceritanya lalu bergerak ke masa kini. Keturunannya yaitu keluarga Gates berusaha membuktikan fakta bahwa Thomas Gates tidak bersalah. Mereka lalu menyusuri berbagai artefak untuk mengungkap misteri sejarah ini sekaligus menjadi arena perburuan harta karun. Mulai dari Patung Liberty yang ada di Perancis (saya baru tahu, ternyata Liberty ada dua), meja di Istana Buckingham, Inggris, hingga meja kepresidenan AS. Dalam versi yang lebih populer, ada foto yang menggambarkan Presiden Kennedy sedang duduk di hadapan meja itu dan di bawahnya ada pintu kecil yang bisa dibuka. Di situ, terlihat putra Kennedy sedang membuka pintu di bawah meja. Meja itulah yang menyimpan kode rahasia peta kuno.

Kisahnya makin seru ketika terungkap fakta bahwa ada buku harian yang hanya diketahui oleh Presiden AS. Di situ tersimpan petunjuk peta harta karun yang diwariskan oleh beberapa suku bangsa kuno di masa Amerika purba. Uniknya, buku tersebut disimpan rapi di Library of Congress pada koleksi khusus dan password-nya hanya diketahui oleh Presiden AS. Nah, di sinilah letak serunya film ini. Nonton yukk….

Di luar film itu, saya merasa kagum dengan AS yang sangat peduli pada sejarah negerinya. Lupakanlah apa yang dilakukan AS hari ini. Yang jelas, negeri itu sangat pandai merawat tradisi humaniora. Negeri itu masih menyimpan dengan rapi segala properti sejarah hingga catatan harian dari para presiden terdahulu, sebagai catatan bagi generasi selanjutnya. Dengan cara itu, mereka menjaga kontinuitas gerak kebangsaannya. Mereka tidak memperlakukan masa lalu sebagai ruang yang kemudian hilang di patahan sejarah, namun menjadi sumber inspirasi bagi generasi kekinian untuk menyerap pengetahuan. Pada akhirnya, mereka tidak selalu memulai sesuatu dari titik nol sebagaimana yang kita lakukan sebagai bangsa Indonesia. Mereka punya starting point dari sebuah masa yang terentang jauh jejaknya di masa lalu dan mengambil hikmah yang bertaburan di berbagai zaman. Dengan cara ini, karakter sebagai bangsa perlahan ditumbuhkan. Kebanggaan sebagai bangsa kian kukuh.

Usai menyaksikan film ini, saya tiba-tiba dikepung sejumlah tanda tanya menyangkut tema kebudayaan. Defenisi yang melihat kebudayaan sebagai sites of representation mungkin sebaiknya ditafsir ulang sebab senantiasa meniscayakan konflik dan negosiasi. Defenisi ini seakan hanya melihat masa kini dan selalu berkeinginan untuk memotret gerak kekinian yang sejatinya tak pernah berhenti. Saya lebih sepakat kalau kebudayaan adalah kristalisasi dari seluruh nilai dan pengetahuan yang bergerak di sepanjang lintasan sejarah. Satu mata air pengetahuan yang dijadikan cermin untuk membaca gejala kekinian, sebagaimana kata filsuf Goethe, manusia yang tidak belajar dari kebudayaan selama 3.000 tahun adalah manusia yang hidup tidak dengan akalnya. Iya yah…(*)

1 komentar:

ranes mengatakan...

iya iya,jadi ingin nonton

Posting Komentar