Bandung: Sisa Sebuah Peradaban


BANDUNG laksana perempuan tua yang sisa-sisa kemolekannya masih membekas di sapuan wajahnya. Gadis molek yang kian dewasa itu seakan kehabisan napas dan tertatih-tatih mengikuti dengus napas modernisasi yang dengan rakus telah memangsa segenap keunikan dan ciri khas Bumi Parahyangan. Kota yang dulunya dituturkan dengan penuh birahi oleh para penjelajah Eropa ini seakan tenggelam ditelan pusaran arus kapitalisme kultural yang hadir sejak Eropa memasuki masa renaissance (pencerahan).

Bandung tidak lagi menyimpan birahi eksotik yang dikisahkan dengan masyhur dalam berbagai naskah Belanda. Kota ini telah bermetamorfosis menjadi sebuah kota metropolitan yang pekat dengan asap polusi kenderaan bermotor. Hingar-bingar, jalanan sempit, kemacetan, dan sampah, seakan menjadi cakrawala baru yang menggantikan cerita eksotik tentang tempat tetirah yang dikelilingi kebun teh, dan sayup-sayup ada suara suling yang lirih terdengar dan ditingkahi syair bubuy bulan.....

Ini kota yang kian bergegas. Aku menatap Bandung dengan begitu getir pada 18 Oktober 2007 lalu, saat memenuhi undangan seminar di Sekolah Staf Komando (Sesko) TNI. Aku menjadi satu dari empat mahasiswa yang menjadi delegasi Universitas Indonesia (UI) di ajang seminar bersama para jenderal di kampus itu. Di sela waktu kunjungan yang hanya dua hari ini, kuisi dengan berkeliling kota sambil merajut benang-benang memori tentang kota ini yang banyak berubah.

Aku menyaksikan beberapa bangunan tua yang masih berdiri dan dicekam sejarah dari masa keemasan VOC. Bangunan yang berkisah banyak tentang kolonialisme Eropa yang memasuki jazirah Nusantara itu, terlihat berdiri sunyi dan dihimpit berbagai mal yang tumbuh bak jamur. Sekonyong-konyong, pikiranku menerawang pada Van Der Cappelen, seorang pria playboy yang menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1819 dan membangun pendopo Kota Bandung. Atas saran Dr De Wilde yang saat itu menjadi Asisten Residen Priangan, Cappelen menjadikan Priangan sebagai wilayah perkebunan sejak tahun 1870 sekaligus membisikkan indahnya kota ini pada seluruh penjelajah dunia.

Cappelen dikepung oleh gairah yang meluap-luap melihat moleknya gadis Sunda di tengah alam yang sejuk. Ia seakan berada di tengah kota yang disebutnya terindah di Eropa yaitu kota Paris yang memukau. Tapi ini terletak di ujung barat Pulau Jawa, namun menyimpan magma dan semangat yang sama. Inilah Paris Van Java, kepingan kota Paris yang jatuh di hamparan Tanah Sunda. Pusat pemerintahan ini menyimpan imaji meluap-luap yang keindahannya tak henti dicatat dan dijerat dalam berbagai etnografi. Namun adakah kota itu masih eksotik sebagaimana dahulu? Andai Cappelen masih hidup, apakah gerangan yang dikatakannya melihat Bandung yang sudah bergegas menjadi kota metropolitan dan semrawut? Entah.

Barangkali aku terlalu sentimentil terhadap kota ini. Bagiku, harus ada ruang-raung untuk sebuah eksotisme di belantara kapitalisme. Aku tak bermaksud mengatakan kapitalisme harus dihambat, namun harus ada ikhtiar untuk memelihara denyut nadi dan napas sebuah kota. Untuk itu, Bandung harus dijaga sebagai portal untuk meneropong jejak masa silam bangsa Indonesia. Menjadi sejarah hidup yang menyimpan kenangan tentang tumbuh suburnya sebuah bangsa. Bandung harus dijaga agar tidak terjerat desain pemerintah dan saudagar yang menjadikan kota ini sebagai kota mal dan distro.

Barangkali aku terlalu romantis terhadap kota ini. Mungkin. Aku cuma sedikit tersentak melihat hanya dalam waktu singkat, Bandung berubah pesat. Di tahun 2000, aku sempat singgah ke kota ini untuk belajar filsafat dan logika di Yayasan Muthahhari yang diasuh pakar komunikasi Prof Dr Jalaluddin Rakhmat di Jl Kampus II, Kiara Condong. Bersama teman-teman, aku juga singgah belajar agama di Pesantren Al Jawwad yang terletak di Jl Geger Kalong Girang, tidak jauh dari Pesantren Daarut Tauhid milik Aa Gym. Dalam kunjungan itu, aku begitu takjub dengan denyut nadi Kota Bandung yang begitu tenang dan keluwesan khas gadis Sunda. Cuaca kota tidak begitu panas, serta gadis-gadisnya yang ramah dan bisa bikin kita geer karena merasa dinaksir. Aku ingat betul, saat itu hanya ada beberapa mal seperti Bandung Indah Plaza (BIP) atau Kings. Ada begitu banyak pusat jajanan serta distro pakaian di kawasan Cicaheum, yang tak begitu jauh dari Lembang.

Namun, hanya dalam waktu kurang dari sepuluh tahun, perubahan berjalan dengan sangat cepat seakan berlari. Bandung kian memoles dirinya menjadi kota yang rimbun dengan mal dan pusat perbelanjaan modern. Bandung kian pongah dan mengklaim dirinya sebagai ikon mode dan trend di Indonesia. Sebegitu bangganya kota ini dengan gelar tersebut, hingga menjadikan itu sebagai identitasnya. Bandung yang eksotik menjadi mitos yang dikisahkan di waktu malam. Bunyi suling yang lirih di tengah kebun teh menjadi lagu pengantar tidur yang terlalu romantis untuk dikenang.

Celakanya adalah pesatnya laju bisnis dan irama kapitalisme itu tidak diimbangi dengan penataan atmosfer sebuah kota. Yang tersisa kemudian adalah sebuah kesemrawutan dan situasi laksana kapal pecah atau gunung yang laharnya hendak meletup ke langit. Ruang kota kian sesak, tanpa ada ruang kultural yang mengemban fungsi sebagai bentuk ekspresi dan kebebasan warganya. Yang tersisa adalah sebuah jejak dan sisa dari peradaban masa silam. Maka, seluruh bangunan tua itu menjadi mahluk yang dianggap tidak penting. Perlahan, seluruh jejak masa silam dikubur sembari mendendangkan lagu kemenangan kapitalisme industrial. Ini adalah era pasar Bung!! Dan di era ini, Bandung menjadi lanskap yang menggambarkan pertarungan tidak seimbang antara peradaban masa silam dan peradaban masa kini yang angkuh.

Ah, andai Cappelen masih hidup, apakah gerangan yang dikatakannya? Masihkah ia mengatakan Paris Van Java? Ataukah ia mengatakan Paris yang kian letih dan tertatih.(*)


0 komentar:

Posting Komentar