Rindu Ibu dan Pulang Kampung

AKU merasa rindu ingin pulang kampung. Aku rindu untuk menghabiskan waktu di dua tempat yaitu Makassar dan Buton. Di dua tempat itu, begitu banyak orang yang menyayangiku bagaikan air mengalir. Begitu banyak cinta yang tak menuntut balas. Semuanya melimpah bagiku.

Di dua tempat itu, aku tak pernah merasa khawatir. Aku tak takut kalau nda punya duit. Aku tak takut bakal dikerjai. Aku juga tak takut bakal ditipu oleh teman dekatku sendiri.

Aku rindu dengan ibu. Setiap mengingat ibu, terasa ada air bening yang membekas di ujung mataku. Terus terang aku merasa malu karena belum bisa berbuat banyak di usianya yang kian sepuh. Rambutnya mulai memutih namun rasa sayangnya terus mengalir deras bagaikan sungai yang tak pernah kering.

Sebulan lalu, aku benar-benar susah dan tak punya duit. Aku tahu betul kalau Ibu juga susah karena masih harus membiayai saudara-saudaranya yang miskin. Namun entah kenapa, saat aku menelponnya, ia langsung tahu kalau aku lagi susah. Ia menawarkan bantuan yang rasanya bagaikan mukjizat yang turun di hadapanku.

"Yus, kamu juga anakku. Kita memang miskin. Tapi masih ada sedikit uang yang saya tabung dari pensiunan bapakmu. Kamu itu anakku. Saya sedih dan mau menangis kalau ingat kamu lagi susah dan tak punya duit," katanya dengan suara yang kian mengiris batinku.

Ibuku adalah prasasti hidup dari Ilahi yang dikirim kepadaku untuk memahami apa arti cinta yang tak berbalas. Ia begitu penuh cinta. Sepanjang hidupnya didedikasikan untuk cinta. Aku dan semua saudaraku tahu betul akan itu.

Di tahun 1997, bapakku meninggal di saat aku masih duduk di semester 2. Aku dan dua kakakku masih kuliah dan tidak mampu berbuat banyak. Adikku masih di bangku SMA. Ibu membanting tulang dan bertekad agar kuliah kami tidak putus.

Gaji sebagai guru SD jelas tak cukup untuk sekolah kami. Tapi ibu selalu saja punya cara.AKu kagum dengan caranya menata keuangan. Ia mencari penghasilan tambahan. Mulai dari menjual es kantung, menjual kedondong, hingga pisang goreng. Kalau mengingat itu, aku lagi-lagi terisak. Ah, betapa luar biasanya ibuku dan begitu kecilnya aku.

Di malam hari, ia selalu menjalankan salat malam. Ia selalu menengadahkan tangan untuk berdoa buat kebaikan kami. Ia membasahi hati kami dengan rasa cinta yang tak bertepi. Bahkan, di saat kami sakit, tiba-tiba saja ia juga ikut sakit seperti halnya kami.

Aku ingat beberapa kali aku diserang penyakit berat seperti hepatitis. Ibu selalu hadir dan menemani aku dalam keadaan apapun. Ah, ia betul-betul luar biasa.

Hingga akhirnya, aku dan tiga saudaraku berhasil diwisuda. Ibu sangat berbahagia karena berhasil menjalankan mission impossible bagi seorang yang cuma berprofesi sebagai guru SD sepertinya. Tak henti-hentinya ia bersyukur atas kami di depan pusara bapakku.

Ia merasa telah melakukan sesuatu. Ia merasa telah menjalankan amanah dari suaminya yang meninggal yaitu bapakku sendiri. Kepada bapakku, ia mendedikasikan cintanya. Kepada kami, ia memanifestasikan seluruh cintanya.

Begitu aku dan saudaraku diwisuda, tidak lantas membuat ibu berleha-leha. Ia tetap bekerja keras dan menyisihkan 70 persen gajinya untuk membantu keluarganya yang miskin.

Maklumlah, paman dan bibiku rata-rata hanya nelayan miskin yang tak punya apa-apa. Mereka hanya bisa berharap ada bantuan dari ibuku untuk menutupi beban hidupnya. Ah, betapa luar biasanya ibuku.

Kini, aku kian kerdil setiap mengingat ibu. Aku masih tak berdaya dan tidak bisa berbuat banyak untuk mengembangkan senyum di wajahnya. Aku cuma bisa berujar lirih jika aku kelak tak akan membiarkan ada setetes air mata sedih di pipinya. "Yah, cukuplah semua kesedihan itu Ibu. Akan tiba saatnya kamu menikmati semua rasa bahagia itu."

1 komentar:

kakatuadua mengatakan...

membaca posting ini saya menjadi semakin sadar betapa seorang Ibu adalah God's greates gift

Posting Komentar