Chega!: Luka yang Disulap Menjadi Cahaya di Kota Dili
“Selamat datang di kota Dili,” ucap perempuan itu dalam bahasa Tetun. Sebut saja namanya Maria Vitoria, seorang karyawan swasta yang saya kenal lewat media sosial.
Ini adalah kali pertama saya menjejakkan kaki di Dili. Namun entah mengapa, suasananya terasa begitu akrab. Jalan-jalan kota ini mulus, rumah-rumahnya sederhana, dan atmosfernya hangat.
Dili tumbuh seperti kota-kota kecil di tanah air, mengingatkan saya pada Kupang, bahkan Labuan Bajo yang kini berkembang lebih pesat.
Bersama Maria, saya mengitari Dili hanya dalam waktu kurang dari setengah jam: dari utara ke selatan, lalu timur ke barat. Dari sudut pandang pertumbuhan ekonomi, ibukota provinsi di Indonesia memang tampak lebih maju.
Tetapi ada hal lain yang lebih mencolok: wajah-wajah orang Dili memancarkan kebahagiaan. Seolah mereka telah lepas dari belenggu masa lalu.
Dua dekade pendudukan Indonesia pernah membungkus kota ini dengan ketakutan. Hari-hari dipenuhi suara peluru dan kabar mencekam. Rezim menebar teror, menciptakan trauma yang tak mudah dihapus.
Namun hari ini, masyarakat Dili menyambut hidup dengan cara berbeda: pemaaf, dewasa, dan lebih ingin bersahabat dengan Indonesia dibandingkan kita sendiri yang sering canggung menoleh ke masa lalu.
Museum Chega!
Di satu titik perjalanan, Maria mengajak saya singgah ke Museum Chega!. Bangunan kolonial peninggalan Portugis ini tampak sederhana dari luar. Namun begitu pintu kayunya dibuka, atmosfer berubah drastis. Ruangan itu menyimpan luka sejarah yang tak terucapkan: panel foto, dokumen penahanan, dan testimoni penyintas.
Nama chega! yang berarti “cukup sudah!” dalam bahasa Portugis, menjadi semboyan perlawanan sekaligus penanda titik balik. Kekerasan tidak boleh lagi terulang.
Museum ini pernah menjadi Penjara Balide. Sel-selnya sempit, lembap, dengan dinding kusam penuh coretan. Di balik jeruji itu, ribuan orang ditahan, dari aktivis, pelajar, hingga warga biasa yang dicurigai melawan rezim. Bekas rantai besi dan pintu berderit seakan masih menyuarakan jeritan yang pernah terkunci di sana.
Di beberapa ruang, terpampang pula foto-foto pejabat Indonesia yang terlibat dalam fase akhir pendudukan. Dari berbagai wajah yang muncul, satu yang paling sering terlihat adalah Jenderal Wiranto. Namanya seakan melekat pada ingatan kolektif rakyat Timor Leste, terutama terkait periode menjelang dan setelah referendum 1999 yang penuh kekerasan.
Chega! bukan hanya ruang ingatan tentang penderitaan, melainkan juga kisah perjalanan panjang menuju kemerdekaan. Panel-panel di dalamnya tidak berhenti pada gambar-gambar kekerasan, tetapi juga memperlihatkan bagaimana rakyat Timor Leste bangkit, menyusun strategi, dan memperjuangkan hak untuk menentukan nasib sendiri.
Di dinding, terpampang foto-foto demonstrasi mahasiswa di jalan-jalan Dili. Generasi muda berani menantang rezim, meski setiap teriakan mereka dibalas peluru atau borgol. Mereka membawa spanduk, menyuarakan kata merdeka, dan menyalakan api perlawanan di tengah ketakutan.
Tak kalah penting adalah kisah diaspora. Rakyat Timor Leste yang tersebar di Portugal, Australia, Mozambik, hingga Amerika Serikat memainkan peran besar dalam diplomasi internasional.
Mereka melobi pemerintah asing, mengetuk pintu organisasi internasional, dan terus mengirimkan laporan tentang pelanggaran HAM yang terjadi di tanah kelahiran mereka. Di New York, di markas PBB, suara-suara itu perlahan mendapat tempat, hingga dunia menoleh ke arah sebuah pulau kecil di ujung timur Nusantara.
Semua jejak itu berpuncak pada tahun 1999, ketika referendum digelar di bawah pengawasan internasional. Lebih dari 78 persen rakyat memilih merdeka, meski pilihan itu dibayar mahal dengan kekerasan massal yang meletus setelahnya. Ribuan orang tewas, puluhan ribu rumah dibakar, infrastruktur hancur. Namun sejarah tidak lagi bisa diputar balik.
Dari penderitaan itu, lahirlah sebuah bangsa baru. Tiga tahun kemudian, pada 20 Mei 2002, Republik Demokratik Timor Leste berdiri dan dikibarkan benderanya sendiri.
Di ruang-ruang Museum Chega, momen itu dipresentasikan bukan sekadar sebagai hasil perjuangan politik, tetapi sebagai bukti keteguhan hati rakyat yang menolak tunduk pada penindasan.
Pendidikan dan Rekonsiliasi
Lebih dari sekadar museum, Chega! berfungsi sebagai laboratorium rekonsiliasi. Di sini tersimpan laporan monumental Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi (CAVR), hasil ribuan testimoni korban, keluarga, hingga pelaku. Pesan utamanya jelas: mengakui kesalahan masa lalu adalah syarat agar bangsa bisa bergerak maju.
Sore itu, saya melihat sekelompok pelajar mendengarkan pemandu yang bercerita tentang ratusan ribu korban konflik dan kelaparan. Wajah-wajah muda itu tegang, sebagian menunduk, sebagian mencatat. Ada kesadaran tumbuh bahwa sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan cermin untuk masa depan.
Kehadiran Museum Chega! menegaskan bahwa bangsa muda ini tidak menutupi luka, melainkan menatanya menjadi ingatan kolektif. Ia juga mengirimkan pesan moral bagi dunia: kekerasan negara terhadap rakyatnya bisa saja berulang, kecuali jika sejarah dihadirkan, dibicarakan, dan dipelajari.
Bagi Indonesia, Chega! adalah ruang refleksi. Ia mengingatkan betapa dekatnya hubungan dua bangsa ini, sekaligus betapa rapuhnya ikatan ketika kuasa menindas hak asasi. Kini, relasi kedua negara dibangun dengan semangat persaudaraan, namun bayang-bayang sejarah tetap hadir sebagai pengingat.
Di luar museum, senja menyelimuti langit Dili. Angin laut membawa aroma asin yang menenangkan, seakan menepis getir yang tertinggal di balik tembok Balide. Museum Chega! berdiri sebagai saksi bahwa luka bisa dirawat, memori kelam bisa diubah menjadi cahaya, dan sebuah bangsa memilih melangkah ke depan dengan kepala tegak.
Maria menoleh ke arah saya, wajahnya memantulkan cahaya oranye senja. Cantik, dengan senyum yang tenang. “Agora ita baa haree Cristo Rei,” katanya lembut, sekarang mari kita pergi melihat Cristo Rei.
Ajakan itu seperti penutup sempurna dari perjalanan hari itu, menatap patung Kristus yang berdiri di ujung tanjung, seolah mengawasi Dili yang perlahan belajar berdamai dengan masa lalu, dan menatap masa depan dengan harapan.
Saya tersenyum, lalu membisikkan kalimat sederhana: “Obrigadu Maria. O ita diak hanesan Dili.” Terima kasih, Maria. Kamu secantik Dili.