Mengapa Hanya untuk Tom Lembong dan Hasto?
Kabar itu terasa mengejutkan. Politisi Sufmi Dasco Ahmad, yang dalam praktik lebih mirip seorang Prime Minister ketimbang pimpinan DPR, mengumumkan abolisi dan amnesti. Thomas Lembong, mantan pejabat yang kini dikenal sebagai pendukung Anies Baswedan, mendapat abolisi dari Presiden. Tak lama berselang, Hasto Kristiyanto, Sekjen PDI-P, memperoleh amnesti.
Dua nama dari kubu berbeda, kini menerima pengampunan dari satu tangan yang sama. Seolah negara sedang melunakkan luka, dan Presiden Prabowo tengah menulis ulang peta relasi kuasa yang selama ini dibekukan oleh loyalitas dan dendam politik.
Banyak yang membaca ini sebagai isyarat rekonsiliasi. Bahwa Prabowo ingin melepaskan diri dari bayang-bayang Jokowi. Tapi gestur itu, jika disimak lebih dalam, justru memunculkan paradoks: untuk menjadi berbeda dari pendahulunya, ia justru memakai alat yang sama, kuasa prerogatif untuk memotong proses hukum.
Abolisi adalah bentuk pengampunan paling dini. Ia menghentikan perkara bahkan sebelum fakta diuji dan hakim bicara. Sementara amnesti, meski harus melewati persetujuan DPR, tetap bersumber dari jantung kekuasaan eksekutif. Keduanya, betapapun sah secara konstitusional, meninggalkan jejak tanya: mengapa Presiden memilih turun tangan sebelum hukum sempat bekerja?
Presiden seharusnya menjadi penjaga marwah hukum, bukan pengatur hasilnya. Ia bukan pemberi vonis, melainkan pemelihara kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Ketika kekuasaan justru memperpendek jalan keadilan, yang lahir bukanlah negara hukum, melainkan negara yang mengatur hukum sesuai keperluan politik.
Michel Foucault pernah menyebut bahwa hukum modern bukanlah instrumen netral. Ia bekerja dalam jejaring kuasa, menjadi bagian dari mekanisme pengawasan dan kontrol sosial. Kekuasaan tak lagi hadir secara brutal, melainkan lembut dan legal. Dalam kerangka itu, keputusan seperti abolisi dan amnesti tak bisa dilepaskan dari kalkulasi politik: siapa yang didekati, siapa yang dibiarkan, dan siapa yang dilupakan.
Dan selama keadilan hanya menyentuh mereka yang memiliki posisi strategis dalam orbit kekuasaan, maka hukum telah kehilangan kesetaraan yang dijanjikannya. Hukum menjadi lentur bagi yang kuat, dan keras membatu bagi yang lemah. Ia menyala terang di istana, tapi padam di kamp-kamp pengungsian, di petak rumah sempit keluarga korban pelanggaran HAM, di lorong-lorong sejarah yang dibiarkan membusuk tanpa kepastian.
Dalam tragedi-tragedi itu, kuasa presiden justru menghilang. Ia tak hadir saat luka kolektif bangsa menjerit minta pengakuan. Ia tak muncul saat keluarga korban Tragedi Semanggi menggelar doa di bawah langit terbuka, membawa foto anak-anak mereka yang ditembak aparat negara. Ia tak bicara ketika orang-orang tua dari korban penculikan 1998 masih berdiri di depan Istana, membawa bunga, mengenakan pakaian hitam, menunggu keadilan yang tak kunjung datang.
Kuasa presiden hanya hadir saat yang disentuh adalah nama-nama penting dalam percaturan hari ini. Tokoh elite. Pemain utama. Mereka yang masih bisa memberi keuntungan politik, memperkuat dukungan parlemen, atau menyatukan faksi dalam konfigurasi kekuasaan. Mereka yang suaranya masih bisa menggoyang kursi, atau diamnya bisa berarti bencana elektoral.
Untuk mereka, proses hukum bisa dihentikan seketika. Tinta tandatangan bisa menjadi penghapus perkara. Pengampunan bisa turun seperti hujan di musim kemarau.
Tapi untuk para korban sejarah? Mereka yang tak punya partai, tak punya jaringan, tak punya panggung untuk bicara? Tak ada abolisi. Tak ada amnesti. Tak ada rekonsiliasi sejati. Yang ada hanya retorika penguasa yang menatap ke depan tanpa pernah benar-benar menoleh ke belakang. Kita sudah move on, katanya. Seolah tragedi hanyalah peristiwa emosional yang bisa dilupakan begitu saja, bukan luka struktural yang menuntut penyembuhan.
Apa artinya “move on” jika keluarga korban masih tinggal dalam pengabaian? Apa artinya melangkah ke depan jika tubuh hukum tidak pernah berani menengok ke belakang? Retorika itu menjadi kedok untuk menutupi keberpihakan: bahwa negara hanya sudi hadir jika yang terluka adalah mereka yang punya nilai tawar.
Dan di sinilah kita menyaksikan paradoks kekuasaan yang ditelanjangi Foucault: bahwa kekuasaan tidak bekerja secara brutal, tetapi melalui seleksi, pembungkaman, dan pengabaian yang dilembagakan. Negara tahu kepada siapa ia harus mendengar, dan kepada siapa ia boleh tuli. Hukum bukan lagi ruang netral, melainkan ladang pertimbangan politis. Keadilan menjadi tidak universal, melainkan eksklusif. Keadilan milik mereka yang cukup dekat untuk dipeluk kekuasaan.
Di negeri ini, pengampunan adalah hak istimewa yang tak bisa dibeli dengan penderitaan. Ia tak datang pada mereka yang hidupnya hancur oleh ketidakadilan, melainkan pada mereka yang suaranya masih bisa diperhitungkan dalam kalkulasi kekuasaan. Yang lainnya? Diam. Senyap. Tertimbun dalam dokumen negara yang berdebu, atau tertulis samar dalam buku-buku sejarah yang tak diajarkan di sekolah.
Dan selama ini terus berlangsung, kita bukan sedang membangun keadaban, tapi memperpanjang penyangkalan. Kita bukan sedang menata masa depan, tapi membiarkan masa lalu membusuk di bawah fondasi yang rapuh. Sebab bangsa yang menolak mengakui luka sejarahnya, hanya akan mengulangnya dalam bentuk yang lebih senyap, lebih rapi, lebih sah.
Maka pertanyaannya kini berubah: jika Presiden Prabowo sungguh ingin memperbaiki wajah hukum Indonesia, mengapa tidak memilih jalan yang lebih substantif? Mengapa tidak memulihkan kepercayaan publik dengan memperkuat kembali Komisi Pemberantasan Korupsi, lembaga yang selama ini menjadi simbol perlawanan terhadap penyimpangan kekuasaan?
UU KPK yang telah direvisi dan dilemahkan pada era sebelumnya justru lebih layak menjadi prioritas koreksi. Membangun kembali KPK adalah bentuk rekonsiliasi institusional, bukan sekadar pengampunan selektif.
Sebab, keadilan sejati bukan soal siapa yang dibebaskan hari ini, melainkan siapa yang selama ini tak diberi kesempatan bicara. Bukan tentang nama-nama yang bergema di ruang kekuasaan, melainkan tentang mereka yang terluka dalam diam.
Dan pada akhirnya, sejarah akan mencatat bukan hanya apa yang dilakukan penguasa, tetapi juga apa yang tak pernah mereka sentuh.
Di saat negara begitu mudah memberi pengampunan bagi yang dekat, tetapi abai kepada yang luka, kita teringat kalimat Gus Dur yang nyaris menjadi wasiat bagi republik ini: “Keadilan tanpa kekuasaan adalah angan-angan. Kekuasaan tanpa keadilan adalah kezaliman.”
Barangkali di sinilah kita gagal. Bukan karena kurang cerdas menata hukum, tapi karena tak cukup jujur menghadapi kebenaran yang terluka.