Di Era Prabowo, Kita Kehilangan Kedaulatan Data
Sebuah paragraf kecil di situs resmi Gedung Putih. Kalimat yang terdengar netral, bahkan membosankan dalam kebakuan diplomatik: “Indonesia will provide certainty regarding the ability to transfer personal data out of its territory to the United States.” Tak ada jeda dramatik. Tak ada peringatan. Hanya satu kalimat yang bergetar sunyi.
Namun, yang mengerikan sering kali bukan teriakan, melainkan bisikan.
Di balik paragraf itu, mengendap keputusan besar: data pribadi jutaan warga Indonesia tak lagi sepenuhnya milik mereka. Dalam senyap, dokumen itu mencatat sebuah pengalihan yang nyaris tak dibahas publik. Tidak melalui forum terbuka. Tidak melalui pengesahan demokratis. Hanya muncul sebagai lampiran dari sebuah “kesepakatan bersejarah”.
***
Presiden Prabowo Subianto menyambut delegasi Amerika dengan hangat. Senyum protokoler, jabat tangan resmi. Di balik semua itu, ditandatangani perjanjian yang akan memindahkan sebagian kedaulatan ke luar batas negeri.
Tak terdengar satu pun suara keberatan dari parlemen. Tak ada diskusi tentang hak-hak digital warga. Yang ada hanya kefasihan dalam menjelaskan bahwa ini untuk investasi, untuk kerja sama strategis, untuk masa depan.
Tapi masa depan yang seperti apa?
Data bukan lagi sekadar angka dalam spreadsheet. Ia adalah bayangan paling lengkap dari keberadaan manusia. Ia mencatat nafas dan kebiasaan, hasrat dan ketakutan, bahkan kebisuan yang paling dalam. Ia tahu siapa yang dicintai, kapan seseorang bangun tidur, ke mana kaki melangkah, apa yang ditulis lalu dihapus.
Maka, ketika data itu dipindahkan, bukan sekadar berkas yang berpindah. Yang berpindah adalah tubuh yang tak kasat mata. Adalah keberadaan yang paling rentan.
Shoshana Zuboff menyebut masa ini sebagai zaman surveillance capitalism. Sebuah kapitalisme yang tidak hanya menjual barang, tapi juga menjual kemungkinan perilaku. “Private human experience as free raw material,” tulisnya.
Manusia tak lagi dihadirkan sebagai warga, melainkan sebagai kumpulan kebiasaan yang bisa diprediksi dan dikomersialkan.
Dalam diam, Indonesia menyetujui semua itu. Bahkan lebih jauh: mendukung moratorium bea masuk atas produk digital di WTO, menghapus tarif atas “intangible goods”, dan menyelaraskan regulasi domestik agar sesuai dengan arsitektur global.
Tak ada yang diminta sebagai syarat. Semuanya diberikan tanpa negosiasi berarti. Di balik nama “reformasi perdagangan digital”, yang terjadi adalah transformasi menjadi pasar pasif yang tak punya kuasa atas infrastrukturnya sendiri.
Nick Couldry dan Ulises Mejias menyebut ini sebagai data colonialism. Penjajahan bukan lagi datang dengan kapal dan meriam, tapi dengan kabel optik dan pusat data.
“Data colonialism combines the predatory extractive practices of historical colonialism with the abstract quantification methods of computing.”
Dulu, yang dikuras adalah rempah. Kini, yang diekstrak adalah kesadaran.
Presiden Prabowo, yang selama kampanye mengangkat kemandirian nasional sebagai slogan, kini duduk tenang di antara para perunding asing. Realisme diplomatik barangkali memaksa untuk menyesuaikan diri. Tapi realisme tanpa prinsip tak lain hanyalah kepatuhan yang disulap jadi kebijakan.
Susan Strange, dalam gagasannya tentang structural power, mengingatkan: kekuasaan hari ini bukan lagi siapa yang memegang senjata, tapi siapa yang membuat aturan main. “The structural power to shape and determine the structures of the global political economy is the most important form of power.”
Dan kekuasaan itu sedang dipindahkan, pelan-pelan, tanpa gaduh, ke luar dari batas republik.
***
Dulu, pernah ada masa ketika seorang presiden bicara tentang Trisakti. Sukarno menyebutnya dengan penuh keyakinan: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya. Sebuah mimpi tentang republik yang tak sekadar merdeka, tapi punya sikap.
Kini, bahkan mimpi itu pun mulai kabur.
Trisakti tak hanya hilang, tapi dilucuti satu per satu, hingga nyaris tak menyisakan apa-apa kecuali slogan. Yang tersisa adalah kemerdekaan yang disewa-sewakan, kedaulatan yang dipotong-potong, dan kepribadian yang dibingkai oleh algoritma asing.
Bahkan dalam hal yang paling sunyi sekalipun: data pribadi, negara tak lagi berdiri sebagai pelindung.
Yuval Noah Harari pernah menyebut data sebagai mata uang paling berharga di abad modern. Dalam dunia yang makin terkoneksi, yang diperebutkan bukan lagi tanah atau emas, melainkan apa yang dipikirkan manusia sebelum ia sempat mengatakannya.
Dan ketika mata uang itu bisa dipindahkan ke luar negeri, tanpa disertai perlindungan memadai, maka yang hilang bukan sekadar informasi. Yang hilang adalah kendali atas diri sendiri. Barangkali kini perlu ditambahkan satu lagi pada Trisakti: berdaulat dalam data—sebelum semuanya menjadi terlalu terlambat.
***
Di suatu tempat, seorang anak lahir. Tangis pertamanya direkam oleh aplikasi. Nama pertamanya didaftarkan dalam sistem yang terhubung ke server jauh di negeri asing. Sejak hari itu, ia meninggalkan jejak digital, tanpa pernah tahu bahwa jejak itu tak lagi sepenuhnya miliknya.
Ia akan tumbuh, bermain, mencari, membeli, berbicara. Dan semua itu akan tercatat. Dikelola. Dibentuk kembali menjadi profil, lalu diperdagangkan. Kelak, ketika ia bertanya mengapa iklan mengenalnya lebih baik daripada ibunya sendiri, ia takkan tahu bahwa rahasianya telah lama dijual, oleh negaranya sendiri, atas nama kemajuan.
Di masa depan, mungkin ia akan bertanya: Siapa yang menjaga diriku, saat aku belum tahu bagaimana menjaga? Siapa yang menandatangani perjanjian itu, ketika aku belum bisa bicara?
Dan tak ada yang bisa menjawab.
Karena segala tentang dirinya, dari detak jantung pertamanya, lokasi langkah-langkah kecilnya, hingga bisik yang ditulis dalam kolom pencarian, telah tercatat rapi di tempat yang jauh.
Bukan di Jakarta. Bukan pula di Ibu Kota Nusantara. Datanya tersimpan dan diawasi... di Washington. Dan negara diam. Diam yang terlalu panjang, untuk kehilangan yang begitu dalam.