Bukan Superman yang Pahlawan, Melainkan LEX LUTHOR
Seorang lelaki berdiri di puncak gedung pencakar langit. Dia tak bersayap, tak bermata laser, tak bisa menembus awan. Namun dia menatap langit dengan keteguhan yang tak bisa diukur oleh teleskop.
Di atas sana, sesosok dewa melayang, Superman, menjaga bumi sebagaimana mitos lama menjaga ketakutan manusia. Tapi lelaki itu tidak sedang menyembah. Dia sedang berpikir.
Namanya Lex Luthor.
Dalam semesta yang dihuni oleh makhluk setengah dewa, manusia seperti Lex terlihat fana. Tapi justru dari kefanaan itulah muncul perlawanan. Jika Superman adalah karunia dari langit, tubuh baja yang tak mengenal luka, maka Lex adalah gema dari bumi. Rapuh, terbatas, namun bersenjata pikiran.
Dia hadir bukan sebagai penjahat. Dia hadir sebagai pertanyaan.
Kita tumbuh dengan keyakinan bahwa Superman adalah pahlawan. Dia datang dari planet yang jauh, menyelamatkan kota dengan napas dingin dan mata panas. Tapi dalam kemegahan itu, tersembunyi paradoks. Adakah makhluk yang terlalu kuat masih bisa disebut manusiawi?
Superman tidak perlu belajar untuk menjadi luar biasa. Dia lahir seperti itu. Dia adalah hasil dari genetika, dari gravitasi planet lain. Sedangkan Lex harus menciptakan keajaiban dengan imajinasi, algoritma, dan otak yang tak pernah tidur.
Lex menolak tunduk pada mitos. Dia menolak tunduk pada kekuatan yang datang tanpa perjuangan. Dalam dirinya, kita mendengar gema Immanuel Kant. Sapere aude! Beranilah berpikir sendiri. Dan Lex menjawab panggilan itu dengan teknologi, dengan simulasi, dengan kecerdasan buatan, dengan ciptaan.
Dalam film yang dibesut James Gunn, suasana itu terasa lebih muram dan reflektif. Ketika kekuatan militer menyerang warga sipil dari seberang pagar, Superman menjadi lambang keraguan moral. Tapi Lex sudah bergerak. Dia merancang sistem, membangun semesta alternatif, menciptakan skema yang hanya bisa lahir dari pikiran yang terus menolak tunduk.
Dia bukan manusia biasa. Tapi justru karena itulah dia mewakili manusia.
Lex tidak mulia. Dia manipulatif. Dia obsesif. Tapi dia juga adalah Prometheus dalam zaman algoritma. Dia mencuri api dari langit, bukan untuk menyembah, tetapi untuk menantang. Dia menolak dunia yang memaksa manusia menggantungkan harapan pada keajaiban. Dia percaya bahwa manusia hanya akan tumbuh jika dia bertanggung jawab atas penderitaannya sendiri.
Seperti yang ditulis Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus: “The struggle itself toward the heights is enough to fill a man's heart. One must imagine Sisyphus happy.”
Lex adalah Sisyphus yang lain. Dia tahu bebannya berat, melawan makhluk yang tak bisa dikalahkan. Tapi dia terus mendorong batu itu. Bukan karena dia akan menang, tapi karena dia tak sudi berhenti. Dia tahu bahwa dalam dunia yang tidak adil, keberadaan yang merdeka, yang menolak tunduk, sudah cukup menjadi pemberontakan.
Dan seperti Camus menulis pula “The only way to deal with an unfree world is to become so absolutely free that your very existence is an act of rebellion.”
Dalam dunia yang dijaga oleh dewa dari luar angkasa, Lex menjelma menjadi kebebasan itu sendiri. Dia tidak memohon keselamatan. Dia menciptakan jalannya sendiri, meskipun berdarah, meskipun sunyi.
Maka, siapa sesungguhnya pahlawan dalam kisah ini?
Bukan Superman. Bukan Clark Kent yang menyamar dengan kacamata, menyelamatkan dunia sebelum makan siang, lalu pulang sebagai jurnalis idealis. Dia terlalu sempurna untuk gagal, terlalu kuat untuk merasakan ketidakberdayaan, terlalu cepat untuk pernah benar-benar kehilangan apa pun.
Dia hadir bukan karena perjuangan, melainkan karena takdir. Dan dalam ketakterjamahan itulah, dia berhenti menjadi cermin bagi manusia. Dia menjadi ikon, bukan pelajaran.
Yang heroik adalah Lex Luthor, manusia yang menolak didewakan dan menolak menyembah. Dia bangkit bukan karena dipanggil oleh langit, tapi karena gelisah oleh bumi. Dia bukan bagian dari mukjizat. Dia bagian dari kegigihan.
Dalam dunia yang terlalu lama menunggu penyelamat dari langit, Lex memilih menjadi penyelamat dari bawah. Dari tanah, dari laboratorium, dari ruang gelap tempat ide-ide dibakar oleh ambisi dan rasa takut.
Lex Luthor tidak mengenal takdir yang berpihak. Tidak ada cahaya suci yang turun padanya. Yang dia punya hanya keraguan, luka, dan kecerdasan. Tapi justru dari situ dia tumbuh. Dia tidak berlari lebih cepat dari peluru, tapi dia memikirkan jalur peluru itu, kecepatan, arah, hingga sudut pantulnya.
Dia tidak bisa menghentikan meteorit dengan tubuhnya, tapi dia bisa membangun mesin yang memprediksi lintasan bencana sebelum terjadi. Pahlawan sejati, barangkali, bukan yang melayang di angkasa, tapi yang tetap berdiri di bumi, meski dunia tak pernah memberinya sayap.
Dalam dirinya, kita melihat bentuk lain dari keberanian. Keberanian untuk tidak ditaklukkan oleh inferioritas. Keberanian untuk tidak menerima bahwa manusia akan selalu menjadi penonton dalam panggung para dewa.
Lex menolak menjadi figuran. Dia ingin menulis ulang naskahnya sendiri. Dan dalam setiap tindakan itu, dalam setiap algoritma yang dia rancang, dalam setiap dunia alternatif yang dia bangun di dalam pikirannya, dia sedang mengatakan satu hal. Bahwa manusia masih mungkin melawan, bahkan ketika tahu dia akan kalah.
Dia bukan pahlawan karena menang. Dia pahlawan karena berpikir, karena berusaha, karena tidak menyerah pada garis keturunan atau bintang-bintang di langit.
Dalam sejarah panjang fiksi, sangat sedikit tokoh yang begitu manusiawi, sekaligus begitu tragis, seperti Lex Luthor. Dia adalah cermin yang retak, tapi justru karena retak, dia memantulkan banyak sisi. Dan dalam pantulan-pantulan itu, kita melihat diri kita sendiri. Tidak sempurna, tapi bersikeras untuk tetap memilih.
Dia berdiri, menatap langit. Bukan untuk memohon. Tapi untuk berkata
“Saya di sini. Dan saya berpikir.”