David Beckham dan Gol-Gol Tanpa Garis Gawang


Dari stadion megah ke kamp pengungsian, Beckham membuktikan bahwa kemenangan sejati tidak selalu hadir dalam sorak sorai, tetapi dalam senyum anak-anak yang kembali punya masa depan.

Berikut kisah Beckham yang menjadi cover Majalah Time edisi The 100 Most Influential Leader in Philantrophy.

***

Sebuah ruangan di pusat kota London. Dindingnya dihiasi foto-foto dari seluruh dunia: anak-anak tersenyum di tenda pengungsian Suriah, relawan medis di Afrika Tengah, dan para perempuan muda yang lulus dari pelatihan menjahit di Bangladesh.

Di tengah ruangan itu, berdiri sosok yang tak asing—dengan potongan rambut rapi, lengan bertato, dan sorot mata yang tak lagi bicara soal trofi, tetapi soal harapan. David Beckham, mantan kapten timnas Inggris, kini mengemban peran baru: pejuang kemanusiaan global.

Dalam edisi perdana TIME100 Philanthropy, nama Beckham muncul sebagai salah satu dari 100 tokoh paling berpengaruh dalam bidang derma dan filantropi. Ia berdiri sejajar dengan nama-nama seperti Michael Bloomberg, Mark Suzman dari Gates Foundation, dan pemikir generasi baru seperti Marlene Engelhorn dan Dustin Moskovitz.

Tapi Beckham berbeda. Ia datang bukan dari dunia dana abadi atau ekosistem akademik, melainkan dari stadion-stadion yang penuh sorak. Ia membawa sesuatu yang lain: determinasi seorang atlet, dan tekad seorang ayah.“The competitive part of it is, I want to see wins,” ujar Beckham.

Itu bukan sekadar ucapan. Bagi Beckham, dunia filantropi bukan hanya tentang memberi; itu tentang menciptakan hasil nyata—angka yang membaik, kehidupan yang berubah, dan masa depan yang lebih layak.

Dari UNICEF ke Medan Krisis Global

Beckham telah menjadi Duta Besar UNICEF sejak 2005, setahun setelah ia mengantar Inggris ke perempat final Euro 2004. Pada awalnya, banyak yang skeptis—mengira kehadirannya hanya sebatas wajah tampan di poster kampanye. Namun waktu membuktikan sebaliknya. Beckham tak sekadar hadir; ia menyelami.

Ia mengunjungi negara-negara yang tak masuk radar media Barat: Sierra Leone, Nepal, El Salvador, dan Papua Nugini. Ia tidak hanya memberi pidato, tetapi duduk di lantai tanah, mendengarkan kisah-kisah anak-anak yang selamat dari konflik dan kekeringan.

Pada 2015, ia mendirikan 7: The David Beckham UNICEF Fund, dinamai dari nomor punggung legendarisnya, untuk mendukung program-program kesehatan anak, pendidikan perempuan, dan perlindungan korban kekerasan.

“Saya ingin anak-anak di tempat-tempat yang paling sulit sekalipun punya peluang yang sama seperti anak-anak saya sendiri,” kata Beckham dalam salah satu kunjungan ke Swaziland.

Melalui program 7 Fund, Beckham mendukung pelatihan psikososial bagi remaja perempuan korban pernikahan anak di Indonesia, pengadaan vaksin di Kongo, hingga akses pendidikan inklusif bagi anak-anak difabel di Balkan.

“From the Field to the Frontlines”

Apa yang membedakan Beckham dari selebritas lain yang juga terjun ke bidang kemanusiaan?

Barangkali, jawabannya adalah konsistensi dan keterlibatan langsung. Di tengah jadwal padatnya sebagai pemilik Inter Miami FC dan figur publik global, ia menyempatkan diri meninjau langsung laporan dampak dari setiap inisiatif yang didanainya.

Ia berbicara dengan tim lapangan, bertanya tentang anggaran, dan ingin tahu indikator keberhasilan. Ia bahkan mendorong agar laporan tahunan program UNICEF di zona krisis lebih berorientasi pada outcome daripada output.

Beckham tak ingin sekadar menjadi lambang, ia ingin menjadi bagian dari proses.

Pada 2023, saat gempa mengguncang Turki dan Suriah, Beckham menjadi salah satu donatur pribadi pertama yang menyalurkan bantuan logistik. Tahun berikutnya, ia meluncurkan kampanye “One Goal, One Future”, yang menggalang lebih dari $50 juta untuk mendanai proyek air bersih dan sanitasi di 18 negara Afrika dan Asia.

Di balik semua itu, ada juga semangat seorang ayah. “Saya melihat anak-anak saya tumbuh di lingkungan yang aman. Tapi saya tahu banyak orang tua di luar sana tidak seberuntung saya. Dan itu menyakitkan,” kata Beckham.

Filantropi sebagai Kompetisi yang Adil

Mungkin benar, semangat kompetitif tak pernah benar-benar hilang dari diri seorang atlet. Tapi pada Beckham, kompetisi itu tidak lagi soal skor di papan digital. Ini soal anak-anak yang bisa sekolah tanpa takut ditembak.

Ini soal gadis remaja yang bisa belajar tanpa dinikahkan dini. Ini soal air bersih yang mengalir di tempat yang sebelumnya hanya padang pasir. “Saya ingin melihat kemenangan—bukan untuk saya, tapi untuk mereka,” kata Beckham kepada Time.

Dalam dunia yang makin ragu pada lembaga formal dan makin curiga pada niat baik, kehadiran tokoh seperti Beckham membawa harapan. Ia membuktikan bahwa popularitas bisa menjadi kekuatan yang memanusiakan, bukan memisahkan. Bahwa ketenaran bisa dipakai untuk memperbaiki, bukan sekadar menampilkan diri.

Sebagaimana dulu ia menggiring bola menembus pertahanan lawan, kini ia menggiring atensi dunia pada yang terpinggirkan.

Dan ia masih ingin menang.