Shadow Economy: Tak Pernah Tercatat, Tapi Nyata



Seorang kawan laporan riset terbaru mengenai shadow economy, sisi gelap perekonomian dunia yang tak pernah tercatat. Di Indonesia, jutaan orang menggantungkan hidup dari sektor yang tak terlihat, dan tak terlindungi.

***

Suatu siang yang lengang di Jakarta Timur. Di sebuah lorong sempit yang bahkan sepeda motor enggan singgah, terdengar dengung mesin jahit dari balik rumah petak. Di dalamnya, seorang ibu tiga anak tengah menyelesaikan pesanan seragam sekolah. Tak ada plang usaha, tak ada faktur pembelian, apalagi Nomor Pokok Wajib Pajak. Tapi dari situlah keluarganya bertahan hidup.

Namanya tak tercantum dalam data ekonomi makro. Tapi kerja kerasnya nyata. Ia menyulam harapan dari lembar-lembar kain, dari pesanan yang dibayar tunai, dari tangan-tangan tetangga yang percaya. Ia bagian dari denyut ekonomi Indonesia—yang tidak tercatat.

Dunia tempat ia berdiri adalah shadow economy, ekonomi bayangan. Istilah ini bukan sekadar jargon statistik. Ia menggambarkan semesta kegiatan ekonomi yang sah, tapi tidak pernah masuk radar resmi. Di dalamnya ada pedagang keliling, pekerja rumah tangga, pemilik warung kecil, hingga perusahaan yang diam-diam menutup sebagian buku catatannya.


Laporan terbaru Shadow Economy Exposed yang dirilis oleh Ernst & Young (EY), firma global di bidang audit dan kebijakan fiskal, memetakan betapa besarnya ekonomi yang tersembunyi ini. 

Berdasarkan analisis terhadap 131 negara, EY mencatat bahwa pada tahun 2023, sekitar 11,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dunia berasal dari aktivitas yang tak tercatat dalam sistem pajak. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, angkanya bahkan jauh lebih tinggi.

Namun angka itu hanya permukaan. Di bawahnya mengalir cerita-cerita yang tak terucap: tentang upah yang tak dilindungi, kerja yang tak dikenali, dan kontribusi yang tak pernah dihitung.

***

Ekonomi bayangan bukan sekadar soal menghindari pajak. Ia adalah wajah lain dari realitas sosial yang tak terjangkau oleh negara. Kadang, ia adalah bentuk perlawanan diam-diam terhadap sistem yang terlalu rumit. Tapi lebih sering, ia adalah satu-satunya jalan untuk tetap hidup.

Di negeri ini, menjadi formal bukan hal yang mudah. Mendaftarkan usaha berarti menyisihkan waktu, biaya, dan keberanian menghadapi birokrasi. Sementara di sisi lain, sistem perlindungan sosial belum hadir sepenuhnya untuk mereka yang paling rentan.

EY menyebut ekonomi bayangan sebagai penyumbang utama tax gap, selisih antara potensi penerimaan pajak dan yang benar-benar terkumpul. Tapi lebih dari itu, ia adalah cermin ketimpangan. Yang tak membayar pajak bisa tetap beroperasi. Yang taat justru memikul beban lebih berat. Dalam jangka panjang, ini bukan hanya melemahkan fiskal negara, tetapi juga menipiskan rasa keadilan.

Dan yang paling terluka adalah mereka yang menggantungkan hidup dari pekerjaan yang tak pernah diakui: para pekerja informal. Mereka bukan penghindar pajak. Mereka hanya tak tahu harus masuk lewat pintu yang mana.

***

Uang tunai menjadi bahasa yang umum dalam dunia ini. Ia bebas dari jejak, tanpa perlu laporan. Dalam banyak kasus, pembeli tak tahu bahwa transaksinya tak tercatat. Dalam kasus lain, keduanya—penjual dan pembeli—saling mengerti, bahwa ini adalah cara untuk bertahan.

EY membedakan antara passive dan committed shadow economy. Yang pertama terjadi karena sistem yang lemah. Yang kedua karena kesepakatan diam-diam yang merugikan negara. Di negara maju, yang pertama lebih lazim. Di negara berkembang, yang kedua mendominasi.

Indonesia, menurut laporan itu, memiliki tingkat informalitas tenaga kerja yang tinggi. Hampir separuh angkatan kerja bekerja tanpa kontrak. Tanpa jaminan hari tua. Tanpa perlindungan ketika krisis datang. Ketika pandemi melanda, jutaan orang kehilangan penghasilan tanpa bisa mengakses bantuan. Di sinilah rapuhnya sistem menjadi nyata: tak terlihat bukan berarti tak terdampak.

***

Namun laporan EY bukan hanya berisi kecemasan. Ia juga menyodorkan harapan. Harapan bahwa ekonomi bayangan bisa dikurangi, jika negara mampu menjangkau mereka dengan empati dan keseriusan. Jika kepercayaan dibangun. Jika proses formal dipermudah. Jika insentif ditawarkan bukan sebagai jebakan, tetapi sebagai jembatan.

Kepercayaan, kata EY, adalah fondasi kepatuhan pajak. Orang akan membayar jika mereka yakin uang itu kembali dalam bentuk sekolah yang layak, rumah sakit yang terjangkau, dan jalan yang aman. Tanpa itu, negara hanya akan menjadi penagih, bukan pelindung.

Teknologi juga bisa menjadi sekutu. E-faktur, kecerdasan buatan, dan sistem data lintas institusi dapat membantu memetakan ekonomi bayangan tanpa harus mengintimidasi. Tapi solusi digital hanya akan efektif jika manusiawi: menghormati konteks lokal, memahami keterbatasan infrastruktur, dan tidak mengorbankan yang lemah demi statistik yang rapi.

***

Di tengah arus global menuju ekonomi hijau dan digital, ekonomi bayangan tak bisa lagi dibiarkan sebagai kebiasaan yang dimaklumi. Ia bukan hanya masalah fiskal. Ia adalah masalah moral, sosial, dan keadilan. Laporan EY menjadi cermin bahwa pembangunan bukan soal membangun gedung dan jalan, tapi tentang mencatat setiap manusia dan pekerjaan yang mereka lakukan.

Dan bagi Indonesia, pertanyaannya kini bukan lagi sekadar bagaimana menaikkan pajak, tetapi apakah kita cukup peduli untuk melihat mereka yang selama ini hidup dalam bayangan?