Bukan Salah Bahlil, Tapi Kampus, Juga Ekosistemnya
Seseorang berdiri di panggung, sorot lampu mengarah kepadanya. Nama itu: Bahlil Lahadalia. Ia seorang menteri, seorang pejabat, seorang tokoh. Juga seorang mahasiswa doktoral di universitas terkemuka negeri ini.
Sorak kritik datang bertubi-tubi. Syarat akademik, publikasi ilmiah, kelayakan. Ada yang berkata ia tak pantas, ada yang bertanya bagaimana ia bisa masuk, ada pula yang hanya menikmati keributan.
Seperti biasanya, kita lebih mudah menuding satu sosok ketimbang menelusuri jejak yang lebih panjang. Kesalahan, jika bisa ditumpahkan ke satu nama, akan terasa lebih sederhana.
Tapi, di dalam ruangan tempat keputusan dibuat, ada banyak tangan yang menandatangani berkas. Ada dosen yang menilai, ada panitia seleksi yang menyetujui, ada pimpinan fakultas yang mengesahkan.
Jadi, bagaimana mungkin seseorang bisa diterima tanpa memenuhi syarat? Bagaimana mungkin ia bisa lulus jika memang tak layak? Jika ada aturan yang lentur, siapa yang melenturkannya?
Atau jangan-jangan, kita terjebak pada sesat pikir. Mengira akademisi itu malaikat, dan politisi adalah setan. Padahal, di dunia nyata, batas keduanya sangat tipis. Malah bisa bertukar peran.
Bisa saja akademisi yang jadi setannya: menawarkan program, mematok harga setinggi langit, menjamin kelulusan, lalu meraup cuan dari sistem yang mudah diakali.
Kita tahu, di dunia akademik, hukum pasar kadang berlaku. Selalu ada yang menawarkan, selalu ada yang menyahut. Jika benar ada kelonggaran, maka pasti ada yang memberi dan ada yang menerima.
Tetapi, dalam cerita ini, hanya satu orang yang duduk di kursi pesakitan. Yang lain diam, atau lebih tepatnya, kita memilih untuk membiarkan mereka tetap diam.
Mungkin Bahlil sedang sial. Ia seorang figur publik, seorang ketua partai, seseorang yang mudah menjadi sasaran kritik. Tapi, di balik layar, berapa banyak kasus serupa yang tak terungkap? Berapa banyak yang menikmati kelonggaran tanpa pernah dipertanyakan? Berapa banyak gelar yang disematkan lebih karena nama daripada karena karya?
Universitas, kita tahu, seharusnya menjadi benteng pengetahuan. Tetapi, ada kalanya ia tunduk. Pada kuasa, pada relasi, pada kepentingan. Kita melihatnya, tetapi tak selalu ingin mengakuinya.
Bahwa di tempat di mana seharusnya kebajikan intelektual dijaga, ada hal-hal yang bisa dinegosiasikan.
Kita lupa bahwa universitas adalah ekosistem—yang memungkinkan atau menolak terjadinya pelanggaran. Di dalamnya, ada budaya yang dibiarkan tumbuh, aturan yang dilenturkan, dan keputusan yang tidak selalu mengikuti prinsip logika.
Hannah Arendt pernah menulis tentang banalitas kejahatan. Tentang bagaimana keburukan sering terjadi bukan karena niat jahat yang luar biasa, melainkan karena ketaatan yang membuta terhadap sistem yang ada.
Mungkin, itulah yang terjadi di sini. Sebuah prosedur yang dibiarkan lentur, sebuah budaya akademik yang terbiasa tunduk, sebuah komunitas yang memilih diam.
Lalu, jika memang ada kesalahan, di mana keadilannya?
Jika gelar Bahlil layak dipersoalkan, maka sistem yang meluluskan dia juga seharusnya dipertanyakan. Jika ada prosedur yang dilanggar, siapa yang melanggarnya? Jika ada standar yang diabaikan, siapa yang memutuskan demikian? Panitia seleksi, dosen pembimbing, penguji, pimpinan fakultas—apakah mereka akan tetap sunyi?
Kita sering berkata ingin menegakkan keadilan. Tetapi keadilan tak boleh tebang pilih. Jika kita mengejar kebenaran, maka ia tak boleh berhenti di satu orang. Jika ini kesalahan sistemik, maka sistem itulah yang harus dibuka, diperiksa, dan dipertanggungjawabkan.
Nietzsche pernah berkata, “Siapa yang bertarung melawan monster harus berhati-hati agar ia sendiri tak berubah menjadi monster.” Jika kita ingin menuntut keadilan, kita harus memastikan bahwa kita tak sedang menciptakan ketidakadilan yang baru.
Lalu, apa yang bisa kita pelajari dari semua ini?
Bahwa di negeri ini, akademia dan kekuasaan sering berkelindan. Bahwa gelar, dalam banyak hal, lebih bernilai sebagai simbol daripada sebagai hasil pergulatan intelektual.
Bahwa di balik dinding kampus, ada keputusan-keputusan yang lebih ditentukan oleh kepentingan daripada oleh keilmuan.
Barangkali, di sinilah letak tantangan kita. Bukan sekadar menghukum seseorang yang kebetulan tertangkap dalam arus kritik, melainkan menata ulang fondasi sebuah institusi agar tetap menjadi rumah bagi ilmu, bukan bagi kepentingan.
Seperti yang pernah dikatakan Michel Foucault, "Di mana ada kekuasaan, di situ ada perlawanan." Tapi, pertanyaannya: apakah kita cukup berani untuk melawan budaya yang sudah begitu mapan?