Andai Tania Li Berkunjung ke Kampung Sekitar Food Estate


Hari itu, langit di atas kampung terasa kelabu, seolah enggan memutuskan antara cerah dan hujan. Tania Li melangkah pelan di antara rumah-rumah panggung yang berjejer rapat, dinding-dindingnya dari kayu yang sudah termakan usia. 

Di kejauhan, suara mesin-mesin berat dari proyek food estate menggema, seperti dentuman yang tak pernah berhenti mengingatkan siapa yang berkuasa di sini. Anak-anak berlarian di jalan tanah, sementara para ibu duduk di beranda, memandang ke arah ladang-ladang yang dulu adalah milik mereka, kini berubah menjadi hamparan monokultur yang seragam.

Tania berhenti di depan sebuah rumah kecil, di mana seorang lelaki tua duduk di tangga, tangannya memegang sebatang rokok yang nyaris habis. Matanya kosong, menatap ke arah lahan yang kini dikelilingi pagar kawat berduri. "Dulu, di sini kami menanam padi, jagung, sayur-sayuran," katanya, suaranya parau. "Sekarang, kami hanya bisa melihat dari jauh. Tanah itu bukan lagi milik kami."

Tania mengangguk pelan. Ia teringat pada kalimat dalam bukunya, “Tanah bukan sekadar sumber daya; ia adalah relasi. Ketika tanah diambil, yang hilang bukan hanya tanahnya, tetapi juga jaringan kehidupan yang menopang masyarakat.” (Land is not just a resource; it is a relation. When land is taken, it is not just the soil that is lost, but the web of life that sustains people.) 

Kata-kata itu terasa begitu nyata di sini, di kampung ini, di mana tanah bukan sekadar tanah, melainkan bagian dari identitas, sejarah, dan kehidupan mereka.

Seorang perempuan setengah baya mendekat, membawa dua gelas teh hangat. "Ini, Bu," katanya, menyodorkan gelas kepada Tania. "Kami sudah tidak punya banyak lagi untuk ditawarkan." 

Tania menerimanya dengan senyum kecil, lalu duduk di samping lelaki tua itu. Perempuan itu melanjutkan, "Mereka bilang ini untuk kebaikan kami, untuk kemajuan. Tapi kami tidak pernah ditanya apa yang kami butuhkan. Mereka hanya bilang, 'ini untuk negara, untuk pangan nasional.' Tapi kami? Kami hanya jadi penonton."

Tania mencatat setiap kata, seperti biasa. Ia tahu betul bahwa cerita-cerita semacam ini bukan hal baru. Tapi setiap kali mendengarnya, ia selalu tersentak oleh betapa miripnya pola-pola ini di mana pun: janji kemakmuran yang justru melahirkan kemiskinan, pembangunan yang mengorbankan yang paling rentan. "Apa yang kalian lakukan sekarang?" tanyanya, mencoba memahami bagaimana mereka bertahan.

Lelaki tua itu menghela napas. "Kami coba bertahan, Bu. Ada yang jadi buruh di proyek itu, tapi upahnya kecil. Ada yang coba cari kerja di kota, tapi tidak semua beruntung. Kami seperti terjepit. Tanah kami diambil, tapi kami tidak punya pilihan lain."

Perempuan itu menambahkan, "Kadang kami bertanya, untuk siapa semua ini? Kami dengar beras dari food estate ini diekspor, dijual ke luar negeri. Tapi kami di sini justru kesulitan makan. Apa ini yang disebut kemajuan?"

Tania terdiam sejenak. Ia teringat lagi pada tulisannya: “Pembangunan bukanlah proses yang netral. Ia adalah medan pertarungan, di mana kekuasaan beroperasi dengan cara yang seringkali memperdalam ketidaksetaraan.” (Development is not a neutral process. It is a terrain of struggle, where power operates in ways that often deepen inequality.) 

Di kampung ini, ia melihat dengan jelas bagaimana "pembangunan" justru memperlebar jurang antara yang kuat dan yang lemah, antara yang memiliki akses dan yang terpinggirkan.

Sebelum pergi, Tania berjanji akan membawa cerita mereka ke dunia yang lebih luas. "Suara kalian penting," katanya. "Mereka perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini." Tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa janji saja tidak cukup. 

Seperti yang ia tulis dalam bukunya, “Solidaritas bukan sekadar tentang mendengarkan; ia adalah tentang bertindak dengan cara yang menantang struktur kekuasaan." (Solidarity is not just about listening; it is about acting in ways that challenge the structures of power.)

Dan andai ia menoleh sekali lagi sebelum pergi, ia akan melihat lelaki tua itu masih duduk di tangga, matanya masih menatap ke arah lahan yang dulu adalah miliknya. Di langit, awan-awan masih bergantung, tak kunjung memutuskan antara cerah dan hujan. Seperti nasib mereka, yang terjebak di antara janji dan kenyataan.