Beranda
/ Jejak Jepang di Sawah Kita
Jejak Jepang di Sawah Kita
persawahan |
DI banyak desa-desa kita, sawah-sawah
nampak hijau dan tanaman padi berbaris dengan rapi. Siapa sangka, di balik
keindahan sawah-sawah kita yang tertata itu, terdapat cerita tentang kontribusi
bangsa Jepang saat menjajah bangsa kita. Inilah berbagai kisah menarik yang
ditemukan oleh sejarawan Jepang Aiko Kurasawa.
***
SEBUT saja nama pria itu adalah Kenji. Ia
seorang insinyur pertanian Jepang yang didatangkan ke Jawa pada tahun 1942. Ia
bertugas untuk menjalankan misi penting yakni meningkatkan produksi pertanian
di Jawa demi menyuplai kebutuhan Jepang pada perang Pasifik.
Jepang datang ke Jawa dengan membawa
pasukan sebanyak 10.000 hingga 15.000 tentara. Sebagian besar pasukan itu lalu
dibawa ke front pertempuran di Pasifik. Pertempuran itu membutuhkan logistik
yang cukup besar. Mesti ada upaya agar para prajurit mendapatkan pakan yang
cukup, sekaligus bisa menggenjot ekonomi daerah jajahan.
Demi tujuan perang itu, Jepang datang ke
Indonesia sembari membawa janji-janji tentang kemerdekaan. Demi angan-angan
kemerdekaan, Jepang mendapatkan simpati anak negeri. Jepang lalu masuk ke
desa-desa demi melakukan ekspoitasi ekonomi, serta menopang kebutuhan perang.
Tak hanya tentara, Jepang juga mendatangkan sejumlah insinyur untuk menata
pertanian.
Kenji bertugas sebagai zosan shidokan atau pengawas peningkatan
produksi, Ia bertugas di karasidenan Pekalongan. Sebagai insinyur, ia bekerja
dnegan patokan ilmiah, melakukan riset, dan merekomendasikan sejumah program.
“Tugas saya adalah meningkatkan produksi beras dan mendidik masyarakat untuk
bertani dengan benar,” katanya.
Kisah Kenji ini saya temukan dalam buku Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di
Pedesaan 1942-1945, yang ditulis Aiko Kurasawa, terbitan Komunitas Bambu,
tahun 2015. Buku ini sebelumnya menjadi disertasi di Cornell University yang
berjudul Mobilization and Control: A Study of Social Change in Rural Java 1942
– 1945.
Di mata saya, buku ini sangat menarik
sebab selama ini literatur tentang Jepang hanya mengisahkan tentang kekejaman
tentara itu di masa perang. Ternyata, terdapat sisi lain dari perang, yakni
sejauh mana transformasi terjadi di pedesaan, yang kemudian mengubah tatanan
kelembagaan, serta dinamika kelembagaan warga desa.
Mulanya, negeri Sakura itu merasa frustasi
melihat rendahnya produksi beras di Jawa. Mereka berambisi untuk memindahkan
ilmu pertanian ke para petani Jawa. Yang dilakukan pertama adalah mendatangkan
ahli pertanian yang bertugas untuk melakukan alih teknologi kepada petani.
Jepang lalu mendidik dan melatih para perantara atau penyebar pengetahuan
mengenai teknk pertanian.
Mereka membangun Noji Shinkeyo (Stasiun Percobaan Pertanian) di Bogor. Beberapa
insinyur dan peneliti Jepang lalu merekomendasikan untuk mengganti bibit padi
yang dipakai petani pada masa itu. Sebab bibit padi itu dianggap tidak bisa
menghasilkan produksi yang besar. Insinyur Jepang menggantinya dengan beras
horai dari Taiwan.
Kenji dan para insinyur lain lalu
merancang inovasi teknik. Salah satunya adalah teknik penanaman dengan
garis-garis lurus pada jarak tanam tertentu. Teknik ini disebut larikan. Sebelum perang, para petani
Jawa menanam padi secara acak dan tidak mengikuti garis lurus. Jepang melihat
cara menanam itu mempengaruhi rendahnya produktivitas padi. Mereka
memerintahkan agar petani mengikuti cara petani Jepang, yakni mengikuti daris
lurus.
![]() |
buku karya Aiko Kurasawa |
![]() |
propaganda bangsa Jepang |
![]() |
pamflet propaganda |
Setelah melalui serangkaian percobaan yang
dilakukan para insinyur negeri matahari terbit itu, didapatkanlah jarak tanam
yang ideal adalah 20 centimeter antar padi. Untuk menjaga agar jaraknya sama,
maka petani diminta memegang tali panjang dengan simpul pada setiap jarak 20
cm. Petani lain diminta menanam padi pada setiap simpul tersebut. Jepang juga
meminta agar petani tidak menanam bibit lebih dalam dari 2 cm.
Yang menarik, Kenji dan para insinyur
Jepang itu memberikan contoh pada para petani melalui sepetak tanah percobaan
yang disebut shikenden. Tanah ini
disediakan di setiap desa, yang kemudian menjadi patokan bagi petani untuk
menanam padinya. Mulanya, petani keberatan karena penanaman yang mengikuti
garis lurus ini membutuhkan banyak tenaga kerja dan lebih menyusahkan. Lantas,
bagaimanakah cara mempengaruhi warga desa?
Cara yang ditempuh adalah memaksimalkan
segala bentuk propaganda serta menggelar kampanye secara massif. Selain
memanfaatkan sejumlah tokoh nasionalis, Jepang menggunakan segala media
indoktrinasi, mulai dari film, radio, surat kabar, serta memanfaatkan sjeumlah
kiai di desa-desa. Semua mesin propaganda itu digerakkan untuk mendapatkan
tenaga warga desa secara gratis untuk program seperti romusha, perekrutan
tentara, serta kebijakan agar petani menyerahkan hasil panen kepada bangsa
Jepang.
Masa penjajahan yang singkat itu akhirnya
menyisakan trauma dan kengerian, sebab di dalamnya terdapat banyak nestapa dan
kesedihan, khususnya pada program seperti kerja paksa (romusha), perekrutan perempuan yang menjadi pemuas hasrat seksual
(kerap disebut jugun ianfu), dan
tekanan dari kenpetai atau tentara
yang bertugaS sebagai pengawas warga desa.
Buku ini membuka mata saya atas banyak
hal. Pertama, tenyata penjajahan tak selalu berisikan cerita sedih tentang pertempuran
dan nestapa kehilangan keluarga. Ternyata, peperangan juga menyimpan sisi lain,
khususnya proses saling belajar, alih pengetahuan, serta proses perubahan di
masyarakat. Salah satu jejak yang tersisa dari kehadiran Jepang adalah berbagai
inovasi pada sektor pertanian.
Kedua, dalam waktu yang relatif singkat,
Jepang mengubah kelembagaan masyarakat desa sehingga mengikuti model dari
Jepang pada periode agraris. Kita bisa melihat itu pada lahirnya struktur Rukun
Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) yang di Jepang disebut sebagai tonarigumi, yang merupakan unit gabungan
dari beebrapa rumah. Kelembagaan ini sengaja dibentuk untuk memaksimalkan kontrol
dan mobilisasi dari Jepang demi mendukun perang. Para pemimpin nasional dan
ulama digerakkan untuk menggiring kesadaran rakyat agar terus menjadi pendukung
Jepang.
![]() |
padi yang berbaris rapi |
Ketiga, dalam situasi penuh indoktrinasi
dan tekanan, maka perlawanan bisa muncul. Itu terlihat ketika beberapa kiai di
Pesantren Sukamanah, Tasikmalaya, menyatakan perlawanan kepada Jepang. Para
ulama itu tak sudi dipimpin oleh rezim yang terus menindas dan menyengsarakan
rakyat.
***
SAYANG sekali, kehadiran Kenji dan
insinyur lain gagal meningkatkan produktivitas sektor pertanian di Jawa. Aiko
Kurasawa mencatat, para insinyur itu diberi target, namun tidak diberikan waktu
yang cukup untuk melakukan riset lapangan. “Saya kesulitan ketika diberi
target. Saya belum mengenali pertanian jawa dengan baik. Tiba-tiba diminta
mengajari penduduk yang bertahun-tahun menjadi petani. Waktu saya lebih banyak
habis untuk memancing,” katanya.
Bogor, 14 April 2015