RETNO yang Mengaku Bukan Siapa-Siapa


DI masa sekolah menengah, dia menjadi saksi bagaimana ibunya pindah dari rumah kontrakan satu ke rumah kontrakan lain. Retno Marsudi selalu berkaca-kaca setiap mengingat peristiwa ketika dia dan keluarganya dipaksa pindah dari rumah kontrakan.

Bapaknya hanya seorang karyawan swasta. Ibunya Retno Werdiningsih, bekerja di satu SMA, sembari mengelola bisnis katering. Mereka bukan keluarga berpunya. Selalu dalam keterbatasan.

Retno masih ingat persis bagaimana ibunya menabung dalam bentuk emas. Setiap ada anaknya yang hendak sekolah, emas akan dijual. Setiap ada rezeki, pasti akan dibelikan emas lagi. 

Beruntung, Retno mendapat beasiswa untuk kuliah di Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada (UGM). Di sini, dia menjadi sosok yang rajin kuliah, rajin ke perpustakaan, dan rajin ibadah. Hngga akhirnya lulus program ikatan dinas dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu). 

Dalam buku Saya Bukan Siapa-Siapa: Rekam Jejak Retno Marsudi, saya menemukan bahwa Retno bukanlah sosok yang ditempa aktivisme. Dia tipe orang yang kerjanya belajar dan belajar. Buktinya, dia lulus setelah belajar selama 3,5 tahun, dan langsung bekerja.

Da sosok pembelajar dan pekerja keras. Dia tahu keterbatasan keluarganya sehingga dia menempa dirinya untuk terus menaikkan kualitas. Dia meyakini, kualitas akan membawa dirinya melenting di tengah mayoritas.

Di Kemenlu, kariernya juga melejit. Dia mengakui, kementerian ini tadinya identik dengan nepotisme. Banyak yang masuk karena titipan pejabat. Banyak yang tidak berkualitas, sementara harus menyandang amanah yang tidak ringan sebab membawa nama bangsa ke pentas dunia.

Lagi-lagi, kualitas diri inilah yang membawanya mengangkasa. Kariernya terus melejit. Di usia 42 tahun, dia sudah diangkat menjadi Duta Besar RI untuk Norwegia dan Islandia. Hingga akhirnya takdir menyiapkan jalan agar dirinya menjadi perempuan pertama di republik ini yang jadi Menteri Luar Negeri.

Padahal, sebagaimana diakuinya sendiri, dia bukan siapa-siapa. Dia bukan titipan orang lain. Dia bukan petugas partai. Dia pribadi yang mengasah dirinya, pekerja keras, dan punya kapasitas yang membuatnya melenting.

Saya cukup menikmati buku ini. Saya suka membaca buku mengenai figur atau sosok. Saya percaya, semua orang memiliki jalan pedang masiing-masing. Saya percaya, semua tokoh penting pasti memiliki awal yang sama dengan orang lain, namun terus mengasah diri dan berkembang, hingga akhirnya menggapai level yang terlihat susah didaki. 

Saya percaya, di balik orang hebat, selalu ada pribadi dan tunas yang terus tumbuh dan berkembang, hingga jadi pohon rindang, dengan dahan menggapai mega-mega.

Di mata saya, Retno berbeda dengan menteri lain, khususnya menteri dari jalur partai politik. Dia terlihat tak pernah sesumbar. Dia tak pernah bicara tinggi. Kalimatnya tertata. Dia selalu fokus pada substansi mengenai pekerjaannya.

Retno membuka mata semua anak bangsa, bahwa perempuan bisa melenting dan mencapai karier tertinggi. 

Sayang sekali, dia sudah jarang di layar kaca. padahal, setiap kali dia muncul, saya selalu menggumam bait-bait pengharapan agar kelak anak perempuan saya sepertinya. Kepada semesta, saya berbisik agar kelak Ara dan Anna bisa seperti Retno Marsudi. 

Semoga.


0 komentar:

Posting Komentar