Barangkali, buku Kita dan Mereka adalah buku paling ambisius yang saya baca di tahun ini, yang ditulis dalabahasa Indonesia. Spektrum yang dibahas sangat luas. Agustinus Wibowo membuat ringkasan dari berbagaiteori-teori besar mengenai nasionalisme, identitas, dan juga reproduksi sejarah.
Bagi mereka yang besar dalam tradisi ilmu sosial, atau minimal pernah membaca bukunya Peter L Berger yang judulnya The Social Construction of Reality, buku ini tidak terlalu mengejutkan. Demikian pula buat mereka yang pernah melakukan riset sosial dengan paradigma konstruksionis (apakah itu, saya pun tak paham).
Yang dibahas di sini adalah bagaimana manusia mengkonstruksi kenyataan, yang kemudian berujung pada batas-batas sosial, lalu mempengaruhi alur sejarah. Tapi yang menarik adalah Agustinus tidak berangkat dari pengalaman teoritik ketika menuliskan idenya.
Dia memulai dengan petualangan dan penjelajahan ke berbagai bangsa, bertemu banyak orang, mencatat setiap pengalaman. Sebagai pembaca karya Agustinus Wibowo, buku ini adalah keping puzzle yang melengkapi karya2nya.
Di buku sebelumnya, dia ibarat mengumpulkan ‘data mentah’ melalui perjalanan di berbagai negeri yang asing, dan di saat bersamaan, dia bertanya tentang identitasnya.
Kini, di buku yang cukup tebal dan melelahkan ini, Agustinus membuat semacam catatan pinggir atas apa yang disaksikan di perjalanan itu. Dia melakukan refleksi mendalam dan mendialogkan berbagai tema besar. Dia memakai logika induktif. Setiap kenyataan dikumpulkan, kemudian dianalisis dan dilihat ulang.
Dia melampaui prasangka dan kenyataan yang dipersepsikan orang banyak. Dia melihat identitas dan sejarah sebagai proses konstruksi yang terus berjalan dan belum selesai.
Di buku ini, saya temukan ‘pengalaman dekat’ sekaligus ‘pengalaman jauh’’. Pengalaman dekat adalah proses ketika dia bercerita mengenai keping-keping kenyataan yang disaksikannya, sedangkan pengalaman jauh adalah momen ketika dia menganalisis dan menjelaskan berbagai hal, membandingkan dengan kenyataan lain, lalu membuat simpulan-simpulan.
Cara kerja Agustinus serupa seorang periset yang sedang melakukan penelitian. Namn demi untuk tidak mengatakan buku ini sempurna, ada beberapa kerikil-kerikil yang cukup menganggu. Bagi yang membaca buku-buku Agustinus Wibowo, buku tidak terlalu menawarkan kebaruan atau perspektif yang berbeda. Semua yang dibahas, termasuk nama-nama, sudah pernah dibahas di buku-buku sebelumnya. Bedanya, buku ini ibarat summary atau kesimpulan dari buku sebelmnya. Selain itu, buku ini menyajikan banyak repetisi atau pengulangan.
Saya menangkap kesan kalau Agustinus menulis dengan style ala Jared Diamod, Karen Amstrong, dan Yuval Noah Harari. Banyak fakta sejarah yang justru bisa ditemukan di buku-buku yang ditulis Jared dan Harari.
Kita membaca ulang fakta sejarah yang dinarasikan kembali dengan cara yang tidak jauh berbeda. Jadinya, di beberapa bagian terasa garing. Bisa jadi, buku ini ditujukan kepada pembaca pemula, yang belum interaksi dengan banyak buku-buku mengenao sejarah dan peradaban.
Hal lain yang terasa hilang adalah “what next.”Setelah kita tahu berbagai konstruksi manusia atas kenyataan, lantas selanjutnya apa? Bagian akhir buku terasa ngambang. Agustinus memulai dengan menggugat kenyataan, namun di bagian akhir, dia mengajak kita untuk kembali ke dalam diri.
Rasanya ada banyak rongga yang harusnya dibahas tentang masa depan dunia dan kemanusiaan. Namun saya menduga kalau buku ini ibarat pintu gerbang untuk memasuki semesta berpikir manusia di berbagai negara, yang mengonstrksi konsep-konsep pembeda dengan yang lain, padahal sejatinya semua bangsa menjalani proses yang sama.
Tembok, batas, kulit, bangsa, cerita, tanah air, dan diri tidak lebih dari sesuatu yang dibangun manusia dan dipengaruhi faktar sejarah dan budaya. Apapun itu, ini buku ini amat pantas untuk dibaca dan dikoleksi.
Membaca buku ini ibarat bertamasya mengunjungi berbagai budaya dan peradaban manusia, kemudian masuk ke dalam pikiran manusia-manusia lain, lalu menemukan fakta-fakta betapa kita dan mereka sama membangun rumah berpikir yang sama.
Kita dan mereka adalah sesama sapiens yang suka membuat batas.
0 komentar:
Posting Komentar