Kisah MOANA yang Mengingatkan pada “The Voyage to Marege”


Moana bukan lagi bocah lugu yang melakukan perjalanan bersama Maui. Kini, tiga tahun setelah film pertamanya, Moana sudah menjadi gadis yang tangguh dan pemberani, yang berkarib dengan samudera. Dia seorang way finder atau penunjuk jalan.

Saat dirinya bingung mengapa penduduk pulau itu tak berniat menjelajahi lautan, tiba-tiba saja dia didatangi oleh leluhurnya Tautai Vasa yang menyuruhnya berlayar ke Pulau Motufetu.

Maka dimulailah petualangan Moana bersama sejumlah kru, juga masih bersama ayam Hei Hei (entah berapa usia ayam ini), dan babi pink (kok sejak film pertama belum dipotong yaa). Moana kembali bertemu Maui lalu menghadapi Nalo, Dewa Badai.

Pihak Disney yang membuat Moana 2 sebelumnya melakukan riset mendalam untuk pembuatan film ini. Disney menurunkan sejumlah antropolog untuk menelusuri legenda, mitologi, serta kebiasaan-kebiasaan maritim orang Polinesia.

Polinesia adalah wilayah Oseania, yang mencakup lebih 1.000 pulau-pulau di sepanjang Samudera Pasifik. Orang Polinesia punya tradisi berlayar yang kuat dan memanfaatkan bintang sebagai alat navigasi di malam hari. Kemampuan ini juga dimiliki para pelaut Bugis Makassar.

Menonton film Moana 2 serasa membaca ulang bab demi bab buku The Voyage to Marege yang ditulis Campbell McKnight, akademisi dari Australian National University, mengenai perjalanan nenek moyang Makassar dalam mencari teripang di Marege (Australia).  

Bahkan 70 tahun sebelum James Cook menemukan Australia, orang-orang Makassar lebih dulu hilir mudik di tanah Marage itu, berlayar hingga Selandia Baru dan gugusan Kepulauan Pasifik. 

Orang-orang Makassar sejak lama menelusuri perairan di kawasan Pasifik, yang menjadi rumah Moana, bertarung nyawa di samudera dengan perahu layar sederhana, serta menebar jejak-jejak peradaban di pesisir utara Australia.

Dalam buku The Voyage to Marege, yang pertama terbit tahun 1976, Campbell McKnight menggunakan dokumen, bukti arkeologis, bukti etnografi, dan wawancara dengan para lelaki tua Makassar yang pernah melakukan pelayaran demi mencari teripang di Marege.

Macknight berpendapat, setidaknya pada periode 1750–1800an, para pelaut asal Makassar berlayar dalam rute panjang dan berbahaya menuju Marege. Setiap tahun tak kurang dari seribu pelaut Bugis singgah di pesisir itu sekitar Desember sampai Maret selama musim angin barat.

Dalam film Moana 2, Moana berlayar dengan perahu sederhana, tanpa menggunakan kompas magnetik. Dia menentukan arah melalui panduan rasi bintang, serta memahami angin dan pergerakan laut. Persis yang dilakukan para nakhoda Bugis Makassar yang berlayar dengan menggunakan panduan alam semesta.

Jika kita membaca buku Bugis Navigation, yang ditulis Gene Ammarell, terhampar selaksa pengetahuan orang Bugis Makassar dalam membaca bintang. Para nakhoda Bugis Makassar pandai membaca rasi bintang. Jika berlayar ke tanah Marege (Australia), mereka mengikuti panduan dari rasi bintang Tanra Bajoe (Awan Magellan Besar dan Kecil). 

Saat musim barat, para nakhoda Bugis Makassar mengandalkan rasi bintang yang disebut bintoeng balue’ (Centauri Alfa dan Beta) yang disebut-sebut muncul di tenggara, melintas garis bujur tepat di titik selatan, dan terbenam di barat daya.

Untuk menuju timur, mereka mengandalkan bintoeng timoro (Aquilae Alfa Altair). Ini bintang paling terang di langit dan nyaris di sisi seberang langit dari pajjekoe (orion). Para nakhoda juga mengenal bintoeng bawi, sering juga disebut wari-warie (Venus). Ini adalah dua rasi bintang terpisah, satu muncul di malam hari, satu terbit sebelum dini hari. 

Bagi warga desa, kemunculan bintang Venus adalah penanda munculnya banyak babi hutan yang akan menyerang tanaman.

Para nakhoda Bugis Makassar meyakini, bintang-bintang senantiasa bergerak melintasi langit, dan bisa pergerakan ini tidak dipertimbangkan, kapal akan berbelok, melenceng dari jalur sebenarnya. 

Mereka juga membaca arah, sebagaimana manusia modern memahami Google Map. Mereka paham arah selatan (maniang), juga barat (orai), timur (ulau), dan utara (manorang).

Dalam kisah Moana, perahu yang digunakan adalah perahu layar tunggal, yang kemudinya di belakang berupa kayu yang melintang ke dalam laut. Ini mirip dengan perahu padewakang, yang digunakan pelaut Bugis. Perahu ini unik dan punya layar yang juga dipakai di Polinesia. 

Keunikannya adalah layar tanjaq berbentuk segi empat. Menurut sejumlah peneliti, perahu phinisi yang masyhur itu adalah evolusi dari perahu padewakang, yang layarnya persis relief perahu di Candi Borobudur.

Bagi saya yang lahir dan besar di kawasan Timur, menyaksikan Moana serasa perjalanan ke kampung halaman yang punya lautan biru kehijau-hijauan. Yang menarik, film ini juga menyajikan banyak mitos dan fantasi bangsa Polinesia di Samoa. 

Sejak dahulu, bangsa ini dikenal sebagai Vikings of the Sunrise, sebab kemampuannya dalam menjelajahi lautan sejak masa prasejarah. Yang menarik, banyak peneliti menyebutkan nenek moyang bangsa ini datang dari Asia Tenggara sejak 2000 tahun lalu.

Pantasan, banyak unsur budaya yang mirip dengan apa yang ada di tanah Nusantara. Mulai rumahnya yang serupa honai (rumah khas di Papua), pakaian-pakaian, juga bahasa.

Saya menyukai kutipan Moana: “This is a call from the ancestors to sail to new skies and reconnect our people across the entire ocean.” Ini adalah panggilan dari nenek moyang untuk berlayar ke langit baru dan menghubungkan manusia lintas benua.”

Kalimat ini akan sempurna jika diikuti kutipan heroik dari pelaut Makassar: “Kualleangi tallanga na toalia.” Lebih baik tenggelam daripada surut ke pantai.



0 komentar:

Posting Komentar