Prabowo dan para pendukungnya di Museum Proklamasi |
TAK ada yang berubah dari pria itu. Prabowo Subianto masih dengan baju yang sama dikenakannya tahun 2009, tahun 2014, juga tahun 2019, saat menyatakan maju di palagan pemilihan presiden.
Dia juga masih berhadapan dengan mikrofon klasik, yang dulu digunakan Bung Karno saat berpidato. Suaranya pun masih mengguntur, meskipun mulai serak karena dekapan usia.
Minggu, 13 Agustus 2023, dia menerima pernyataan dukungan sebagai calon presiden dari Partai Golkar dan PAN. Kini, dia menjadi dirigen dari koalisi besar bersama dua partai lainnya, yakni Gerindra dan PKB.
Di media sosial Twitter, seorang relawan Ganjar langsung menulis cuitan kalau situasi kemarin mengingatkannya pada situasi tahun 2014, saat Jokowi-Kalla dikepung koalisi besar. Saat itu, Jokowi menang pilpres. Partai di koalisi besar itu perlahan memilih bergabung dengan pemerintah.
Relawan itu lupa, kalau situasi hari ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi di tahun 2014. Kali ini, Prabowo lebih full power. Bukan karena dukungan koalisi besar, tetapi dukungan dari Presiden Jokowi, sosok yang dahulu mengalahkannya.
Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi ikut hadir sewaktu partainya mendeklarasikan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden. Dalam banyak kesempatan, Jokowi selalu hadir dalam momen partai bersama Ganjar.
Namun publik melihat kalau dia mengerahkan infrastruktur politik yang bergabung ke pemerintah untuk mendukung Prabowo. Di tambah lagi, Prabowo menyebut nama Jokowi saat menerima pernyataan dukungan dari PAN dan PKB.
”Kita di sini juga tidak malu-malu mengatakan bahwa kita adalah bagian dari tim pemerintahan yang dipimpin oleh Bapak Joko Widodo. Kita bagian daripada Tim Jokowi yang harus kita berani mengatakan berhasil dalam membawa bangsa dan negara ini sampai sekarang,” kata Prabowo.
Di atas kertas, orang hanya melihat pilpres ini sebagai pertarungan antara koalisi pemerintah, dalam hal ini Ganjar dan Prabowo, versus Anies Baswedan sebagai figur dari koalisi perubahan.
Namun, pertarungan sesungguhnya adalah Jokowi versus Megawati. Keduanya adalah king maker yang sedang mengarahan bidak catur untuk memenangkan calon yang diusungnya.
Betul, Jokowi lahir dari rahim PDIP dan berhasil menang pilpres berkat dukungan partai banteng. Namun suara yang diraupnya berasal dari banyak kalangan, bukan hanya partai banteng. Kekuatan Jokowi adalah memiliki barisan relawan yang kuat dan mulitan sehingga bisa membawa dirinya di titik sekarang.
Peristiwa kemarin ibarat menabuh genderang pilpres sekaligus penanda dari kian berjaraknya hubungan antara Jokowi dan Megawati. Dalam berbagai forum, keduanya terlihat akur. Megawati selalu dominan, hingga dengan entengnya menyebut Jokowi sebagai petugas partai.
Prabowo Subianto |
Namun situasi pilpres 2024 memperlihatkan sisi lain dari Presiden Jokowi. Saya menduga, Jokowi membelah kekuatannya menjadi dua.
Satu bagian dirinya adalah petugas partai yang tunduk pada semua keputusan partai, termasuk dalam mencalonkan presiden. Satunya lagi, Jokowi sebagai king maker yang ingin memastikan para kontestan yang bertarung di Pemilu 2024 adalah all jokowi’s man.
Jokowi ingin memastikan siapapun yang menang akan melanjutkan program dan agenda pembangunannya. Dia ingin legacy-nya sebagai pemimpin tetap berjalan sehingga Indonesia bisa menggapai banyak kemajuan yang diidam-idamkannya.
Dengan mengamati berbagai peristiwa politik, terlihat jelas Jokowi ingin perlahan keluar dari bayang-bayang Mega. Setelah lengser, dia ingin tetap signifikan dalan percaturan politik di tanah air. Itu bisa terjadi jika dirinya memiliki parpol yang bisa dia kendalikan, bisa mendukung agenda-agenda politik dinastinya, serta bisa memastikan agenda-agenda pembangunannya akan berjalan.
Jokowi berbeda dengan presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono, yang ketika lengser masih memiliki partai yang cukup besar sehingga perannya tetap signifikan dalam percaturan politik nasional. Di PDIP, Jokowi bukanlah pengendali.
Di semua acara PDIP, bintangnya adalah Mega, sementara Jokowi hanyalah tamu yang tak punya kuasa menentukan apapun, termasuk dukungan pada Ganjar. Dia tunduk patuh dan tegak lurus pada semua kebijakan Megawati. Untuk berkomunikasi dengan Ganjar, dia harus melalui Megawati sebagai pemilik partai.
Di saat bersamaan, Prabowo Subianto menawarkan kesetiaan serta tegak lurus pada Jokowi. Untuk berkomunikasi dengan Prabowo, Jokowi tak perlu melalui figur lain. Dia bisa saja setiap saat memanggil Prabowo. Di kalangan lingkar inti Jokowi, Prabowo adalah sosok yang bisa dipegang kata-katanya. Dia bukan politisi yang gampang berubah.
Prabowo menawarkan kemewahan yang tak diterima Jokowi di partai asalnya. Bahkan jika Prabowo melenggang sebagai presiden, Jokowi bisa menguasai Gerindra. Situasi Gerindra juga sedang tidak baik-baik saja. Jika suatu saat Prabowo meninggalkan partai itu, maka dipastikan akan terjadi konflik antara klan Djojohadikusumo melawan figur baru yang mencuat, misalnya Dasco. Jokowi bisa menjadi pengendali yang menjadi titik simpul pertemuan semua kelompok.
Namun, kita juga bisa melihatnya dari sisi lain. Jika politik kita adalah drama dan para politisi adalah aktor yang sedang memainkan perannya masing-masing, maka kita bisa menafsir kalau Jokowi memainkan politik dua kaki untuk meloloskan kedua figur yang mendukungnya.
Saya menduga, Jokowi menerapkan strategi politik dua kaki agar Prabowo dan Ganjar lolos di putaran pertama dan berhadapan langsung di putaran kedua. Selama berbulan-bulan, berbagai jajak pendapat yang kredibel menunjukkan bahwa tidak satu pun dari tiga kandidat utama—Prabowo, Ganjar, atau Anies—akan menjadi pesaing dominan yang menyapu lebih dari 50 persen suara nasional.
Dengan menggembar-gemborkan Ganjar dan Prabowo sebagai calon penerus, Jokowi mungkin berharap keduanya akan dengan mudah melaju ke putaran kedua. Anies Baswedan, yang mencalonkan diri sebagai kandidat perubahan dan kurang disukai Jokowi, diperkirakan akan kalah dalam pertarungan tiga arah.
Mengingat popularitasnya, dukungan Jokowi terhadap Ganjar atau Prabowo tentu akan memengaruhi hasil pilpres 2024. Dua lembaga survei terkemuka, LSI dan SMRC, baru-baru ini melaporkan penerimaan publik terhadap Jokowi telah mencapai 82 persen.
Dengan strategi dua kaki itu, Ganjar dan Prabowo sama-sama lolos di putaran kedua. Namun peluang terbesar untuk menang tentunya ada di tangan Prabowo. Sebab pemilih Anies akan bedol desa mendukung Prabowo.
Jika kader partai banteng kalah di pilpres, Jokowi akan tetap signifikan dalam politik Indonesia. Namun dia akan dicap sebagai kader yang tidak setia, membangkang, juga dianggap ‘Malin Kundang’ yang dibahas dalam berbagai perbincangan di partai itu.
Entah, takdir mana yang dipilihnya.
1 komentar:
Mantap Analisisnya Bang
Posting Komentar