Shinzo Abe dan Jepang yang Sedang Tidak Baik-Baik Saja

Shinzo Abe, mantan PM Jepang


Dunia sedang tidak baik-baik saja. Di Russia, Vladimir Putin mengancam semua negara G7 yang hendak coba mengalahkan Russia. Di Inggris, PM Boris Johnson mengundurkan diri. Di Perancis, Emannuel Macron kehilangan mayoritas suara di parlemen. Di Kanada, Trudeau menghadapi skandal.

Di Belanda, Mark Rutte menghadapi demonstrasi dan pemogokan petani. Di Jerman, Olaf Sholz menghadai protes warganya yang sebentar lagi memasuki musim dingin. Di Kanada, Trudeau menghadapi banyak skandal. Di Amerika Serikat, Biden sedang jadi bahan kecaman warganya akibat inflasi dan gas naik.

Di Jepang, mantan Perdana Menteri Shinzo Abe tertembak.

Apa yang sebenarnya sedang terjadi di dunia yang dahulu damai dan tenang ini?

***

Dia sedang berpidato di Nara. Sejurus kemudian, Shinzo Abe, Perdana Menteri Jepang terlama, tiba-tiba tertembak. Dia disebut tidak sadarkan diri. Laporan awal menyebutkan, terdengar suara tembakan sebelum Abe tumbang ke tanah.

Abe berada di Nara untuk menyampaikan pidato kampanye menjelang pemilihan majelis tinggi pada Minggu (10/7/2022). Penyiar publik Jepang NHK melaporkan, darah tampak keluar dari dada Abe.

Kantor berita NHK menambahkan, seorang pria telah ditahan tetapi tidak memberikan rincian lebih lanjut. Seorang reporter NHK di tempat kejadian mengatakan mendengar dua tembakan berturut-turut saat Abe berpidato.

Reuters melaporkan, Abe saat ini dilarikan ke rumah sakit. Kondisinya saat ini tidak sadarkan diri dan mengalami pendarahan. Kyodo News mencatat, Abe tidak sadarkan diri dan tampaknya mengalami henti jantung. Abe merupakan mantan perdana menteri dengan masa jabatan terlama sampai dia mengundurkan diri pada 2020.

Kita sering melihat Jepang sebagai negara yang baik-baik saja. Padahal negara itu sedang tidak baik-baik saja. Ekonomi Jepang tengah jatuh. Mata uang Yen terperosok hingga titik terendah sejak tahun 1998.

Penduduk Jepang terlihat tenang, namun sesungguhnya sedang cemas. Ekonomi negara itu tengah goyang. Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah negeri Matahari Terbit itu sedang berada dalam ancaman perang, serta krisis energi.

Semuanya bermula saat Jepang ikut memberi sanksi ekonomi kepada Russia. Sebagai negara yang bertetangga dengan Russia, Jepang khawatir akan kemitraan Russia dan Cina. Jika tak segera bergabung dengan Amerika Serikat, maka negara itu setiap saat bisa diserbu Cina dan Korea Utara.

BACA: Langkah Catur Vladimir Putin


Russia agak telat memberi respon pada sanksi yang diberikan Jepang. Setelah memasukkan Jepang sebagai negara yang tidak bersahabat, Russia memperkuat militer di Kepulauan Kuril, yang diklaim Jepang sebagai miliknya, namun dirampas Russia sewaktu Perang Dunia kedua. Tak hanya itu, Russia menempatkan rudal pertahanan udara.

Kepulauan Kuril terletak di sisi selatan semenanjung Kamchatka, berada di dekat pangkalan strategis Russia yang menampung armada kapal selam nuklirnya dan peluncur peluru kendali dan rudal balistik.  Penempatan persenjataan kapal selam nuklir Russia itu mengharuskan Russia untuk melaksanakan program militerisasi Kepulauan Kuril dan Pulau Sakhalin yang posisinya di utara Jepang.

Semasa menjadi PM Jepang, Shinzo Abe ingin menarik Russia sebagai penyeimbang di segitiga Jepang-Cina-Russia. Namun penerusnya PM Fumio Kishida menilai strategi pendahulunya tidak lagi dapat dipertahankan.

Secara teknis, Jepang dan Russia masih berperang. Meskipun Jepang menyerah kepada Sekutu pada September 1945, mengakhiri Perang Dunia II, Moskow dan Tokyo tidak pernah menandatangani perjanjian damai resmi.

Hubungan Russia dan Jepang memang pasang surut. Dunia akrab dengan serangan mendadak Jepang di Pearl Harbor. Sebagian besar mungkin tidak akan tahu tentang serangan Jepang serupa 36 tahun sebelumnya pada 8 Februari 1904 di Armada Pasifik Russia yang berbasis di Port Arthur yang memicu Perang Russia-Jepang.

Itu juga merupakan serangan tanpa deklarasi perang resmi. Tokyo merasa dikuatkan oleh Aliansi Anglo-Jepang tahun 1902, yang mewajibkan  salah satu kekuatan untuk memberikan bantuan militer jika ada yang berperang. Aliansi itu ditujukan untuk melawan Prancis dan Russia.

Di bulan Maret 2022, Moskow menangguhkan negosiasi perjanjian damai dengan Tokyo, setelah Jepang menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Russia. Perdana Menteri Kishida menyebut keputusan Moskow “sangat tidak masuk akal dan sama sekali tidak dapat diterima.”

Wakil Perdana Menteri Russia dan Utusan Presiden untuk Distrik Federal Timur Jauh Yury Trutnev mengatakan bulan lalu bahwa Moskow akan mencabut hak Jepang untuk menangkap ikan di perairan dekat Kepulauan Kuril.

Pekan lalu, Presiden Vladimir Putin mengeluarkan dekrit yang tampaknya merupakan langkah menuju nasionalisasi kepemilikan saham asing di proyek minyak dan gas raksasa Sakhalin-2 di mana Mitsui dan Mitsubishi memegang 22,5% saham. Keputusan lima halaman itu mengatakan terserah Russia untuk memutuskan apakah pemegang saham asing harus tetap berada di konsorsium.

Sementara itu, dukungan Tokyo untuk proposal AS pada KTT G7 baru-baru ini yang menganjurkan pembatasan harga minyak Russia telah membuat Moskow meradang.

Pada hari Selasa, mantan presiden Russia Dmitry Medvedev dengan tegas memperingatkan bahwa Jepang akan dikeluarkan dari proyek Sakhalin-2 dan pasokan minyak dan gas Russia akan terputus jika mendukung langkah AS.

Medvedev memperkirakan bahwa jika ada batasan harga yang dikenakan pada minyak Russia, harga pasar akan menyentuh suatu tempat antara $300-$400 per barel!  

Sakhalin-2 sangat penting bagi Jepang untuk memenuhi kebutuhan energinya. Sakhalin-2 sendiri memenuhi sekitar 8% dari kebutuhan gas Jepang dan untuk menggantikannya, Tokyo harus membeli dari pasar di mana persaingan untuk pengiriman LNG secara global saat ini sangat ketat dan harganya sekitar 6 kali lipat dari harga gas Russia.

Selain itu, masuknya Jepang akan memperketat pasar LNG karena harus bersaing dengan Eropa.

Jepang bergantung pada impor untuk memenuhi 90% kebutuhan minyak dan gasnya. Mata uang Jepang telah jatuh ke level terendah dalam 20 tahun, mengakibatkan tagihan impor melonjak 70% dalam yen.

Ini memang menjadi salah satu krisis energi paling serius yang pernah dialami Jepang, dan bisa sangat merugikan perekonomian.

Dalam sebuah studi baru-baru ini, Economist Intelligence Unit memperkirakan bahwa yen akan terus terdepresiasi terhadap dolar AS hingga tahun 2022, yang akan “membatasi pertumbuhan ekonomi Jepang tahun ini melalui inflasi yang lebih kuat, pengeluaran konsumen yang lebih lemah, dan investasi bisnis yang tertunda.”

Saat Russia memperketat sekrupnya di Jepang, Kishida mungkin telah menggigit lebih dari apa yang bisa dia kunyah.

Tentu saja, ketangkasan Moskow menggunakan minyak dan gas sebagai alat geopolitik tidak perlu diragukan lagi. Dekrit Kremlin tentang Sakhalin-2 dapat dimaksudkan, setidaknya sebagian, sebagai peringatan bahwa mengasingkan Russia dapat merusak kepentingan vital jangka panjang Jepang.

***

Dalam situasi tertekan karena ancaman perang dan krisis energi, masyarakat Jepang dalam posisi serba dilematis.

Protes dan rasa tidak puas diarahkan pada politisi yang telah membuat kebijakan public, dan berdampak pada kehidupan masyarakat. Tentunya, lebih baik jika dunia dalam keadaan damai dan tanpa ada  perang, tanpa ada embargo ekonomi, tanpa ada yang saling menghancurkan.

Persis kata John Lennon: “Imagine all the people. Living as the one.”





1 komentar:

Anonim mengatakan...

penhalasan yg sangat kren

Posting Komentar