Yang Lucu-Lucu Saat Demonstrasi

 


Siapa bilang demonstrasi mahasiswa selalu serius-serius? Ada banyak hal-hal lucu di setiap demonstrasi mahasiswa. Mulai dari kutipan saat orasi “Safety Matches Polar Bear” yang diterjemahkan sebagai puisi revolusi, hingga rencana aksi yang lucu-lucu.

Apa sajakah?

***

Malam itu, di satu pondokan sekitar kampus Unhas, banyak mahasiswa berkumpul merencanakan demontrasi. Di situ, semua kalangan berkumpul. Ada para fungsionaris lembaga kemahasiswaan, ada penggiat kajian, hingga seniman kampus.

Rencananya, mahasiswa akan turun untuk memprotes kebijakan pemerintah yang memiskinkan rakyat. Saat membahas bagaimana agenda aksi, berbagai masukan lucu-lucu mulai terdengar dari berbagai penjuru.

“Karena kita akan bahas mengenai kemiskinan, bagaimana kalau kita arak kawan kita Agus dalam keadaan tidak pakai baju. Kita ikat di kayu. Kebetulan, Agus kan kurus, kita jadikan dia sebagai simbol penderitaan rakyat. Gimana kawan-kawan?”

Kawan yang bernama Agus malah tak marah. Dia tertawa ngakak. Dia punya ide lebih gila lagi. “Gimana kalau kita bikin aksi simbolik, Kita bikin tiang gantungan, trus kita pura-pura gantung kawan Hambali. Ini juga simbol penderitaan rakyat,” katanya.

Seorang kawan bernama Adi punya usulan lain. Dia mengusulkan agar demonstran membawa bunga mawar, yang nantinya akan diberikan kepada masyarakat yang terjebak kemacetan. Bisa juga diberikan ke polisi. Semua setuju.

Diam-diam Adi sudah punya rencana. Dia hanya akan memberikan bunga kepada cewek yang ditemuinya di jalan. Tak sekadar bunga, dia juga berencana memasukkan nama dan nomor teleponnya di situ. Hmm. Cerdik juga.

Demonstrasi sering ditafsir dengan berbagai cara. Para akademisi menyebutnya sebagai manifestasi dari suara rakyat. Penguasa melihatnya sebagai ancaman. Oposisi melihatnya sebagai kendaraan untuk ditunggangi.

Namun mahasiswa justru punya pandangan lain. Bagi sebagian mahasiswa, demonstrasi bukan sekadar beramai-ramai datang untuk menyampaikan sikap. Demonstrasi adalah arena untuk show, tampil heroik di depan lawan jenis.

Demi show itu, banyak orang menyiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Ada mahasiswa yang sengaja memanjangkan rambut keriting biar terlihat garang saat aksi. Ada juga yang merasa bangga sekali saat fotonya yang sedang meloncati api di ban terbakar menjadi headline media-media lokal.

Sejumlah mahasiswa berusaha tampil orasi dengan gaya heroik, penuh dengan kutipan. Tapi kalau sering melihat mereka orasi, barulah disadari kalau semua kalimatnya ibarat pita kaset yang selalu diulang di berbagai demonstrasi.

Seorang kawan butuh berhari-hari, hanya untuk menghafal puisi dari Rendra, Wiji Thukul, hingga kalimat-kalimat hebat dari Bung Karno. Giliran diminta orasi, semua puisi dan kata-kata heroik itu malah kelupaan. Yang teringat hanya kalimat dari Wiji Thukul, yakni: “Hanya ada satu kata: LAWAN!”

Ada lagi seorang kawan yang mengaku suka baca buku kiri. Saat orasi, dia selalu mengeluarkan kutipan dari Vladimir Illych Ulyanov atau Lenin. Semua terkesima dan kagum.

Kata-kata andalan itu dikeluarkan saat diskusi ilmiah. Dia terpojok saat ada seorang kawan yang suka baca buku tiba-tiba bertanya: “Apa bisa saya diberitahu di buku mana kutipan itu diambil?”

Rupanya dia cuma karang-karang, sekadar untuk membuat kagum saat orasi. Persis sama dengan seorang demonstran yang saat orasi menyebut Safety Matches Polar Bear dengan nada cepat, kemudian mengaku itu adalah puisi Yunani yang bermakna “Bangkitlah untuk revolusi.”

Bagi sebagian besar mahasiswa, demo yang sekadar jalan kaki ke kantor dewan kemudian orasi dan pulang adalah demo yang kurang seru. Mahasiswa merasa makin gagah dan heroik saat ada konfrontasi dengan aparat. Makin seru jika ada tembakan gas air mata.


Saya masih ingat persis, seorang kawan tak habis-habisnya menceritakan pengalamannya terkena gas air mata saat berdemonstrasi di Bandara Hasanuddin, saat reformasi lalu.

Pengalaman itu begitu membekas dalam dirinya. Dia bercerita dengan gagah seolah dia berdiri di barisan paling depan melawan aparat. Padahal, seingat saya yang juga ikut aksi itu, dia lebih banyak di barisan belakang. Saya malah lupa apa dia pernah ikut.

Ada pula tipe mahasiswa yang bisa mengambil kesempatan dalam kesempitan. Saat aksi, dia lebih banyak di sisi mahasiswi manis yang kebetulan ikut. Dia memberi tutorial tentang aksi. Dia siap siaga. Jika ada konflik, maka dia akan melindungi mahasiswi. Di tengah kesempitan, dia sempat-sempatnya mengeluarkan jala asmara.

Saya suka senyum-senyum sendiri jika mengenang masa-masa ikut aksi dan demonstrasi. Hari ini, mereka yang dulunya suka orasi itu sudah menyebar ke mana-mana. Malah, jauh lebih banyak yang kini hidup nyaman di ketiak penguasa. Banyak yang sudah jadi pejabat, sembari mengenang masa-masa perlawanan dahulu.

Mereka yang dahulu demonstran itu kini menjadi politisi, pejabat, juga pengusaha yang dulu sering jadi sasaran kritik. Mereka hidup nyaman dengan berlimpah fasilitas. Mereka dengan bangga menyandang label mantan aktivis, atau eksponen tertentu demi posisi politik.

Mungkin demikianlah tabiat kehidupan. Ada saat melawan dalam gelora yang dibakar oleh sikap narsis pada satu zaman. Ada pula saat di mana duduk manis sebagai pihak yang dulu didemo.

Bahkan mereka yang hari ini berdemonstrasi, kelak akan menjadi mereka yang sedang dihujatnya. Demonstrasi memang ibarat panggung. Setelah ada nama, saatnya mengejar kekuasaan. Setelah itu, kembali berperilaku sama.

Entahlah.

 


5 komentar:

Jai mengatakan...

Reflektif Dari sisi yg berbeda

Wakhid Syamsudin mengatakan...

Wah baru tahu hal seperti ini. Maklum saya belum pernah ikut demo mahasiswa.

Unknown mengatakan...

Hahaha...bener banget.malu. Sy jadi inget masa2 itu pengen ngetawaim diri sendiri...

andrew mengatakan...

Ternyata kelakuan mahasiswa di sela2 Demo, dari jaman Reformasi 1998 sampai sekarang, sama saja, mengingatkan saya pada kelakuan diri sendiri dulu hahahaha

dsky mengatakan...

Polanya sudah terbentuk seperti itu. Ironisnya, mereka tidak bosan dan malu dengan repetisi semacam itu yang membuat seolah manusia hanya mempunyai kapasitas otak sekecil itu. Entahlah. Mantap tulisannya prof.

Posting Komentar