Millenials Kill Everything

 


Buku yang ditulis Yuswohady ini terbit dua tahun lalu, sebelum masa pandemi. Tapi isinya tetap relevan, malah sangat relevan. Buku ini membahas apa saja benda, produk, ataupun kebiasaan yang kini hilang sejak kehadiran kaum milenial.

Kita ambil satu contoh tentang waktu kerja. Sejak era kapitalisme dimulai, manusia mengenal jam kerja, mulai pagi hingga sore, from 9 to 5. Tapi lihatlah hari ini.

Publikasi terbaru yang saya baca, banyak generasi muda di luar negeri yang memilih berhenti bekerja di satu kantor yang menerapkan jam kerja ketat. Bukan soal salary. Bukan pula soal pandemi. Mereka menginginkan fleksibilitas.

Di sini pun situasinya tak jauh beda.

Di masa sebelum pandemi, buku ini sudah melihat kalau work from home akan segera menjadi kenyataan. Banyak orang lebih suka jalan-jalan atau bekerja dari rumah, sembari mengerjakan tugas kantor.

Banyak orang siap menghadapi tantangan, namun tidak harus rutin datang bekerja di satu lokasi selama bertahun-tahun. Apalagi jika tempat yang didatangi itu terletak di jantung kota Jakarta, yang setiap saat disergap kemacetan. Orang lebih suka berkantor di warung kopi, rumah, dekat pantai, puncak bukit, lembah, atau di mana saja yang bisa bikin nyaman.

Hal lain yang juga menarik adalah definisi tentang ruang kerja. Dulu, kita beranggapan ruang kerja itu adalah ruang dengan banyak meja biro, kertas-kertas, serta pakaian formal. Sekarang ada trend ruang kerja yang serupa ruang bermain.

Lihat saja kantor-kantor di banyak gedung tinggi Jakarta. Suasananya dibikin kayak kafe atau ruang bermain. Ada tempat ngopi, makan gratis, serta meja bilyar. Anda bisa baring-baring di banyak sofa, sepanjang target hari itu terpenuhi, sepanjang pekerjaan beres.

Pakaian yang dikenakan pun santai. Orang hanya berpakaian formal pada momen tertentu saja. Malah, berpakaian mahal sudah mulai ditinggalkan. Orang-orang meniru Mark Zuckenberg dan Steve Jobs yang hanya pakai kaos sederhana ke mana-mana. Padahal duit mereka unlimitted. Tak terhitung.

Hal lain yang saya temukan relevan di buku ini adalah musik rock. Kemarin, seorang kawan di kantor memperlihatkan video editannya tentang musik rock. Saya lihat personilnya sudah tua. Musiknya pun tua. Serasa mendengar band Malaysia tahun 1980-an.

Buku ini memfatwakan musik rock kian dijauhi anak muda. Musik ini sudah dianggap jadul, kurang inovatif, hanya menekankan teriak-teriak. Anak muda lebih suka hip hop, lebih suka electronic digital music, lebih suka dance ala Korea.

Buku ini menyajikan daftar apa saja yang hilang. Mulai dari album foto, hingga sabun batang, SMS, agen perjalanan, hingga dapur. Bahkan banyak kebiasaan-kebiasaan yang hilang. Di antaranya adalah mabuk. Dulu, mabuk adalah gaya hidup bagi anak muda.

Ada semacam rasa gagah dan keren kala menjadi pemabuk. Mabuk identik dengan keberanian.

Sekarang, kita jarang menemukan anak muda mabuk. Sebab gaya hidup mabuk bisa merusak tubuh. Ada risiko kena liver, diabetes, hingga jantung. Anak muda mulai menghindari mabuk. Demikian pula minuman bersoda.

Sebagai peta jalan, banyak hal yang perlu mendapat perhatian bersama. Di antaranya, menikah bukan lagi pilihan mendesak bagi anak muda. Mereka lebih suka berkarier, berkarya, dan bertualang.

Saya yakin, buku serupa akan makin banyak muncul. Kita menjalani hari demi hari, tanpa menyadari ada banyak hal yang perlahan punah. Kita tak bisa menampik perubahan. Jika ingin survive, maka yang perlu kita lakukan adalah berselancar di atas ombak perubahan.

Dulu, Nokia pernah berjaya. Namun Nokia tidak melakukan inovasi hingga perlahan tergusur. Saat mengumumkan bangkrut, CEO Nokia, Stephen Elop, mengucapkan kalimat epik: "Kami tak melakukan kesalahan apa-apa. Tapi bagaimana kami bisa kalah?"

Saya ingat kalimat Charles Darwin, dalam evolusi, siapa yang kuat, maka akan bertahan. Hari ini, kalimat itu seyogyanya direvisi. Yang bisa bertahan bukan yang paling kuat, melainkan yang paling kreatif.

Itulah hukum rimba “jaman now.”


1 komentar:

Wakhid Syamsudin mengatakan...

Benar-benar pembunuhan oleh generasi milenial. Kalau mau tetap hidup harus ikuti permainan milenial.

Posting Komentar