Memori di Ujung Lidah

 

sepiring parende

IBU itu menghidangkan semangkuk olahan ikan yang disebut parende. Melihat isi mangkuk, lalu membaui kuah panas itu, lidah dan ludah bergejolak. Persis seperti minyak goreng dalam kuali yang sudah dipanaskan, dan siap menyambut ikan yang akan digoreng.

Ada banyak memori yang tersimpan di ujung lidah kita. Makanya, sejauh-jauhnya kita merantau, bahkan seberapa banyaknya kuliner yang pernah kita cecap, tetap saja ada rasa tertentu yang terekam di lidah kita.

Di titik ini, kuliner bukan cuma soal rasa enak dan tidak enak, sebab yang namanya rasa selalu subyektif. Di ujung lidah kita, ada kode-kode kebudayaan, yang menjadi panduan bagi kita untuk menilai enak dan tidak enaknya sesuatu.

Bagi saya yang lahir dan besar di pesisir laut, kuliner yang terenak adalah olahan sea food. Rasa nikmatnya sukar dilukiskan. Tapi bagi seseorang yang lahir dan besar di Puncak, Bogor, maka olahan sayuran dan dedaunan terasa lebih nikmat di lidah. Ini soal budaya.

Kuliner juga selalu terkait lokasi, juga suasana. Pernah saya membaca catatan Profesor Rhenald Kasali tentang kuliner. Katanya, dia sudah mencoba berbagai menu di hotel berbintang di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Entah kenapa, dia tidak menemukan ada menu kuliner Nusantara yang sangat enak dan nikmat di situ.

Dia mencontohkan sate. Di semua restoran dan hotel berbintang, rasa sate selalu hambar. Menurutnya, sate ternikmat adalah sate yang dinikmati di warung pinggir jalan, di mana penjualnya mengipas-ngipas sate di atas bara api, yang asapnya masuk ke dalam warung.

Rasanya semakin nikmat saat Anda memakannya dengan satu kaki naik ke atas kursi, di tengah suasana panas, sehingga keringat menetes-netes.

Pernah pula saya ikuti tuturan budayawan Sulsel Ishak Ngeljaratan. Menurutnya, konro ternikmat adalah konro yang ada di warung kecil di Lapangan Karebosi.

Saat Anda makan, ada banyak anjing yang menunggu Anda di jarak lima meter. Ketika satu tulang selesai dicicipi, langsung dilempar ke anjing yang menyambut dengan bersahutan. Baginya, itu konro ternikmat.

Hari ini kita sulit mengalami rasa nikmat yang digambarkan Ishak Ngeljaratan. Karebosi sudah jadi arena modern, yang di bawahnya ada mal perbelanjaan. Karebosi sudah dipagari. Bukan lagi Karebosi dahulu yang dipenuhi aktivitas warga, mulai dari penjual obat, pemain catur, pengangguran, pedagang asongan, hingga maling amatiran.

Di sini, di kota Baubau, yang dahulu menjadi pusat dari Kesultanan Buton, kota kecil yang dahulu selalu disinggahi kapal-kapal besar yang menyusuri jalur rempah ke timur, kota kecil yang dicatat dalam diari Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen dan Piter Both, saya menatap semangkuk parende.

Di warung kecil di pinggir laut, saya merasakan angin sepoi-sepoi, hembusan angin timur yang semilir. Di sebelah sana, ada suara-suara nelayan yang begitu perahunya sandar langsung disebur para pedagang kecil.

Hidung saya membaui satu rasa unik yang akrab dengan diri sejak pertama mengenal dunia. Saya ingat almarhum bapak yang suka kuliner ini. Saya ingat masa kecil yang sering bolos ke sekolah gara2 main di laut. Saya ingat ombak-ombak dan tarian samudera. Saya ingat tawa riang kanak-kanak yang menyelam koin.

Semuanya berpadu menjadi satu memori yang mengiringi acara makan parende hari ini. Saya menatap mangkuk sembari menyendok dan menghirup aromanya.

Hmm... Yummy!


1 komentar:

Rush mengatakan...

Di Makassar masakan ikan kuah disebut Palumara, di tanah Luwu ada yang menyebutnya Parende. Parende Buton memang selalu bikin kangen kampung. Saya beruntung menikah dengan sesama orang Buton, jadi tidak sulit menikmati rasa parende..

Posting Komentar