ilustrasi |
Di Malaysia, rakyat mengibarkan bendera putih di depan rumah sebagai tanda permintaan bantuan di tengah kian merebaknya pandemi Covid-19. Di tanah air kita, para netizen bertanya, kapan Jokowi beserta Airlangga, Luhut, dan Erick Thohir mengibarkan bendera putih?
Negara-negara komunis dan kapitalis perlahan mulai keluar dari pandemi. Tapi kenapa negara kita yang memilih haluan Pancasila ini justru kian parah? Apa yang salah dengan kita?
Marilah kita jujur-jujuran. Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Ibu pertiwi sedang bersusah hati menyaksikan anak-anaknya gugur satu demi satu karena serangan pandemi. Ibu pertiwi kian bersusah hati melihat para nakes yang berjibaku di garis depan serangan. Mereka ikut menjadi korban. Satu demi satu.
Di sisi lain, kita menyaksikan kerja-kerja pemerintah, baik di pusat maupun daerah, yang kian tak tentu arah. Saat seorang menteri berkata, lonjakan kasus ini tidak diprediksi sebelumnya, maka segera terasa betapa abainya pemerintah kita pada sains. Jika ikuti jalan sains, semua kemungkinan sudah bisa diduga, sehingga antisipasi akan disiapkan.
Para ahli telah memprediksi adanya lonjakan begitu varian delta mulai mengganas di India. Jika pemerintah waspada, tentunya, saat itu akan segera bersiap. Oksigen mulai dipersiapkan di semua daerah. Rumah sakit darurat segera disiagakan. Tak boleh ada anak bangsa yang ditolak rumah sakit dan meninggal dengan tragis di rumah saat isolasi mandiri.
Sepertinya, lebih mudah menyalahkan masyarakat yang tidak patuh prokes, tidak melaksanakan 3M yakni memakai masker, mencuci tangan, dan menghindari kerumunan. Tapi, kita juga harus mengakui kalau pemerintah pun lalai menjalankan kewajibannya yakni 3T yakni test, tracing, dan treatment. Rupanya, 3M dan 3T itu sama-sama tidak jalan. Sama-sama timpang.
Jalan yang kita pilih adalah sinergi ekonomi dan kesehatan. Energi kita separuh untuk kesehatan, separuhnya untuk ekonomi. Rumus ini tidak berlaku saat varian delta datang, dan berkembang lebih cepat. Pergerakan ekonomi ibarat memantik api di atas bensin. Ekonomi tumbuh pelan, tapi kasus penularan kian tak terkendali.
Padahal, di negara-negara lain, baik haluannya kapitalis maupun komunis, ekonomi dan kesehatan tak mungkin jalan seiring. Kesehatan adalah prioritas utama, setelah itu barulah ekonomi. Selamatkan rakyat dahulu, barulah kita bisa bicara tentang pemulihan. Jalan ini dipilih oleh semua negara. Kita ingin tampak beda. Makanya pilih solusi keseimbangan.
Sayangnya, keseimbangan itu hanya ilusi. Negara-negara yang menyatakan perang total, kini mulai membangun ekonomi dengan lebih dahsyat. Di Eropa, pemerintahnya mulai menyilakan warga untuk beraktivitas tanpa masker, setelah setahun sebelumnya perang total. Lihat saja di ajang Piala Eropa, warga memenuhi stadion, tanpa masker.
Yang membedakan kita dengan mereka adalah kualitas leadership dan sense of crisis. Jika leadership adalah kemampuan untuk menggerakkan semua pihak, maka kita benar-benar sedang mengalami krisis.
Perintah dari seorang presiden tidak selalu ditaati di level bawah. Banyak gubernur dan bupati kepala daerah bisa saja punya kebijakan berbeda. Sementara, perintah seorang gubernur dan bupati juga bisa ditolak oleh seorang warga biasa, yang ilmu medisnya hanya didapat dari WhatsApp.
Baik pemerintah pusat maupun daerah, semua setali tiga uang. Semua punya andil pada kian naiknya jumlah penderita. Semua punya saham pada memburuknya situasi.
Situasi sekarang mengingatkan pada masa kolonial, saat flu spanyol menjadi wabah di negeri ini. Sebagaimana dicatat Ravando dalam buku Perang Melawan Influenza, Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial 1918-1919, relasi antara pemerintah pusat dan daerah juga tidak berjalan harmonis. Kita bisa berkilah, itu di zaman kolonial, zaman penjajahan.
Namun, setelah puluhan tahun republik ini berdiri, daya tahannya melawan virus masih sama dengan birokrasi pemerintahan di masa kolonial. Tak ada transformasi. Dari dulu hingga sekarang, pemerintah tidak punya koordinasi yang efektif.
Tak hanya situasi birokrasi. Jumlah kematian dulu dan sekarang juga sama-sama tinggi. Belajar dari flu spanyol, angka kematian kian meninggi saat memasuki gelombang kedua. Sejarawan Colin Brown yang meneliti flu spanyol di Hindia Belanda (Indonesia) menyebut angka kematian yakni 1,5 juta jiwa. Angka ini masuk dalam laporan pemerintah kolonial.
Pernyataan ini dibantah sejarawan Profesor Siddhart Chandra dari Michigan State University, yang juga meneliti flu spanyol di Indonesia pada arsip-arsip laporan tahunan Departemen Kesehatan Pemerintahan Hindia Belanda (BGD). Siddhart menyebut penduduk yang tewas akibat flu spanyol berkisar 4,26 juta hingga 4,37 juta jiwa. Jumlah terbesar ada di Jawa dan Madura.
Dari era kolonial hingga era republik, problem kita satu; selalu melangkah di lubang yang sama. Kita gagal membangun satu sistem pelayanan kesehatan yang tangguh menghadapi pandemi. Kita belum menjadikan ilmu pengetahuan sebagai fundasi membangun sistem. Pendekatan kita serupa pemadam kebakaran. Saat ada api, barulah bergerak. Kita tidak menata bangunan sistem sosial kita untuk menghadapi banyak wabah.
Jika kita tak ingin mengalami dampak seperti flu spanyol, apa yang harus dilakukan?
Pertama, benahi tata kelola pemerintahan. Perbaiki hubungan antar pemerintah pusat dan daerah, juga hubungan antar lembaga negara. Semua harus bertempur di sisi yang sama, yakni melawan Covid. Bukan masanya mencari siapa salah dan siapa benar, siapa kalah dan siapa menang, siapa bodoh dan siapa pintar. Semua energi terbaik dikerahkan agar kita segera keluar dari krisis pandemi.
Pemerintah harus menemukan solusi. Aparat negara harus bergerak seiring untuk memutus mata rantai penyebaran wabah, sembari tetap menjaga nyala optimisme semua anak bangsa. Negara harus hadir bersama rakyatnya
Kedua, semua anak bangsa tidak berniat jadi pahlawan di momentum krisis ini. Pilpres tahun 2024 masih jauh. Ketimbang sibuk menyalahkan organ pemerintah lainnya, lebih baik segera bekerja dan menyisir apa yang perlu dilakukan.
Lihat saja, semua mau cari panggung. Mulai dari menteri yang sibuk promosi obat cacing, menteri yang sibuk nonton sinetron di tengah pandemi, menteri yang malah sibuk ke luar negeri, hingga kepala daerah yang datang ke kuburan. Padahal, publik butuh harapan di tengah situasi yang kian mengkhawatirkan. Publik butuh peta jalan ke mana bahtera republik akan bergerak.
Kerjalah dengan ikhlas demi ibu pertiwi yang sehat. Perkuat tracing, perbanyak vaksin, benahi penyaluran bansos. Jika kerja Anda bagus, Ibu Pertiwi pasti akan mencatatnya. Jika buruk, tak perlu sibuk menyalahkan yang lain. Kerjakan apa yang bisa dikerjakan.
Kegagalan kita mengelola pandemi selalu berpangkal pada banyaknya orang di sekitar kita yang ingin tampil dan disorot publik. Informasi dan pencitraan terus mengalir sehingga publik mengira semuanya sudah diatasi. Padahal, semuanya ibarat karpet yang menutupi lantai yang penuh lubang.
Ketiga, perlunya memperkuat kembali solidaritas warga. Selama ribuan tahun tanah air berdiri. Silih berganti namanya, mulai dari kerajaan hingga NKRI, satu hal yang selalu ada dan melekat pada bangsa ini adalah ketangguhan masyarakat.
Kita punya solidaritas kuat terhadap manusia lain di sekitar kita. Saatnya membangkitkan semua solidaritas itu agar bangsa ini tidak jatuh. Saatnya bekerja bersama, saling membantu, dan saling membentengi diri dan komunitas agar covid segera berlalu.
Tentunya, kita tak perlu kibarkan bendera putih sebagai tanda kalah. Kita harus terus bertempur demi menjaga anak bangsa kita agar terhindar berbagai bencana. Kita ingin memperkuat Ibu Pertiwi agar tidak bersusah hati, agar air matanya tidak berlinang. Kita ingin sama bernyanyi:
Kulihat ibu pertiwi
Kami datang berbakti
Lihatlah, putra-putrimu
Menggembirakan ibu
Ibu, kami tetap cinta
Putramu yang setia
Menjaga harta pusaka
Untuk nusa dan bangsa
8 komentar:
Mudah-mudahan tulis dibaca para pemangku kepentingan.
Suplemen baik untuk imun pengetahuan. Bagaimana menyikapi atau menghadapi wabah.
Keren...
Mantap
Bagaikan mata air di Padang pasir, panjang umur perjuangan bang Yusran
Keren Kak
Keren Kak
Tulisan-tulisan seperti ini patut diapresiasi dan diviralkan ketimbang berita saling mencaci, saling menyalahkan. Terima kasih banyak mas Yusran, tulisan sungguh mencerahkan dan memberi solusi di pandemi. Tuhan memberkati mas Yusran.
Posting Komentar