Berita yang Serupa Racun bagi Tubuh

Rolf Dobelli saat tampil di TED

Nasihatnya ditunggu para manajer dan pengusaha sejak bukunya yang berjudul The Art of Thinking Clearly menjadi buku bisnis terlaris di Eropa. Dalam buku terbarunya, dia menyarankan semua orang agar berhenti membaca berita jika ingin hidup lebih tenang dan damai. 

Bagi pria asal Swiss bernama Rolf Dobelli, berita serupa racun bagi tubuh. “News is bad for your health.” Berita bisa memicu ketakutan dan agresi. Membaca berita bisa menghilangkan kreativitas, juga berpikir mendalam. “Saatnya Anda berhenti mengikuti berita,” katanya.

Saya membayangkan kalimat Rolf Dobelli akan dibenci para pekerja media, juga para penggiat medsos. Dia pertama menuliskan kalimat itu dalam bukunya yang terbit tahun 2013. Di tahun itu, dia pun menulis artikel di The Guardian berjudul “News is bad for you – and giving up reading it will make you happier. (Baca artikel itu DI SINI)

Seiring waktu, banyak yang menentang pernyataannya, namun banyak juga yang mendukungnya. Banyak yang sepakat dan menemukan bahagianya saat berhenti mengonsumsi berita. 

Sebagai pleidoi atas protes beberapa kalangan, Dobelli menulis buku berjudul Stop Reading the News: How to Cope the Information Overload and Think More Clearly. Buku ini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul Stop Membaca Berita: Manifesto untuk Hidup yang Lebih Bahagia, Tenang, dan Bijaksana.

Saya membaca buku ini dengan sedikit kesal. Sebagai pembelajar ilmu komunikasi, dan juga mantan jurnalis, buku ini adalah kampanye untuk memusuhi kerja-kerja para jurnalis. Tapi semakin banyak membaca, semakin saya mengakui kalau dia benar.

Menurutnya, setiap hari kita diterpa dengan ribuan informasi. Mulai dari bencana alam, pandemi, perceraian artis, dan banyak hal. Sejak dua abad lalu, kita menciptakan pengetahuan beracun yang disebutnya berita.

Berita itu seperti gula bagi tubuh. Terasa manis, mudah dicerna, dan dalam jangka panjang bisa merusak. Gula bisa menimbulkan berbagai penyakit, tanpa kita sadari. Berita pun demikian. Dia merujuk hasil riset dari American Psychological Association, setengah dari orang dewasa menderita gejala stres akibat konsumsi berita. 

Sejak ada smart phone, kita tak bisa lepas dari berita. Satu dari 10 orang Amerika selalu mengecek berita internasional sekali dalam sejam. Bahkan di media sosial, bisa lebih 30 menit. Dobelli mengutip pendapat Profesor Graham Davey dari Sussex University, kebiasaan itu mengakibatkan dampak merugikan bagi kesehatan mental.

Kita jadi lebih mudah cemas. Kadang-kadang perasaan itu membuat kita kewalahan dan tidak mampu bertindak. Gara-gara berita, kita kehilangan kemampuan alamiah kita untuk keluar dari masalah. Banyak konsumsi berita bikin kita seolah pintar dan paham, padahal faktanya kita hanya terombang-ambing dari satu fakta ke fakta lain.

Dobelli, yang meraih gelar doktor filsafat dengan disertasi mengenai Deconstruction of Economic Discourse ini, memutuskan untuk berhenti mengikuti berita. Dia hentikan langganan koran, serta berhenti menonton televisi. Bahkan aplikasi berita di HP ikut dihilangkannya. Dia melakukan diet informasi.

Minggu pertama terasa berat. Dia selalu tergoda untuk tahu perkembangan informasi. Tapi setelah itu, dia memiliki pandangan baru. Pikirannya lebih jernih, pandangan lebih berharga, keputusan-keputusannya lebih baik. Dia pun punya banyak waktu luang. Agar tidak ketinggalan informasi, dia hanya sesekali membuka medsos. Dia membatasinya, misalnya hanya sejam per hari.

buku baru Rolf Dobelli

Ada tiga alasan utama mengapa perlu menjaga jarak dengan berita:

Pertama, otak kita bereaksi secara tidak seimbang kepada tipe informasi yang berbeda. Kita mudah bereaksi dengan informasi yang memalukan, mengejutkan, berisik, dan cepat berubah. Pengelola media kita mengemas hal sederhana menjadi sesuatu yang mengejutkan.

Pihak produsen berita sangat pandai mengambil sisi yang mengejutkan otak kita. Mereka tahu persis bagaimana membuat makan malam kita terganggu. Kita gampang tersentak menghadapi fakta yang sensasional.

Di sisi lain, otak kita tidak bereaksi jika melihat hal yang abstrak, kompleks, dan mendalam. Padahal, hal seperti ini sangat relevan dengan kehidupan kita sehari-hari. Padahal, kita bisa menemukan kebijaksanaan dan kedalaman hanya dengan memahami bagaimana sesuatu bekerja.

Akibat mengonsumsi berita, kita berjalan dengan peta kejiwaan yang terganggu mengenai risiko dan ancaman yang sebenarnya kita hadapi.

Kedua, berita tidak selalu relevan. Hitung saja, dalam dua belas bulan terakhir, seseorang bisa mengonsumsi 10.000 potongan berita. Dalam sehari bisa lebih dari 30 berita atau informasi.

Rolf Dobelli bertanya ke banyak orang, coba sebutkan satu saja berita yang bisa membantu Anda untuk mengambil keputusan yang lebih baik untuk hidup, karier, atau bisnis, dibandingkan dengan tidak mengetahui berita tersebut.

Tidak seorang pun yang mampu menjawab lebih dari dua berita berharga. Kantor berita menegaskan informasinya bisa membuat Anda mengalami keuntungan kompetitif, tapi yang terjadi adalah kerugian kompetitif. 

Buktinya, perusahaan media selalu megap-megap dan para jurnalisnya tidak kaya-kaya amat. Profesi jurnalis menjadi profesi yang rentan. Istilahnya prekariat. Mereka menjadi buruh yang setiap saat bisa diberhentikan. Banyak yang hanya menjadikannya sebagai lompatan karier.

Ketiga, berita membuang-buang waktu. Setengah populasi manusia menghabiskan waktu untuk membaca kejadian-kejadian. Secara global, itu adalah kehilangan produktivitas.

Misalnya, seorang teroris beraksi. Media menyajikan peristiwa itu tiap hari dengan mengutip analisis para pakar. Kemudian satu miliar manusia menyaksikannya dalam sejam. Nah satu miliar orang dikalikan satu jam perhatian teralih karena tidak bekerja. Jika dihitung, betapa banyaknya waktu yang tidak produktif.

Rolf Dobelli menganjurkan untuk abaikan berita. Bacalah buku-buku yang berkualitas. Ikuti artikel mendalam dengan argumentasi yang kuat. Sebab tidak ada yang mengalahkan buku dalam membantu kita untuk membuat keputusan besar dalam hidup kita.

Tentu saja, saya tak selalu sepakat dengan Rolf Dobelli. Namun dalam situasi dunia yang sedang mengalami pandemi, pendapatnya patut direnungkan. Semakin banyak mengonsumsi informasi, tingkat stres bisa bertambah, dan imunitas kita juga berkurang.

Buku ini serupa kumpulan esai yang isinya adalah ajakan bagi semua orang untuk berhenti mengonsumsi berita. Kalimat-kalimat di buku ini sederhana, tapi menggugah. Saya pun mengakui kalau berita membuat saya kehilangan fokus. Setiap hari saya habiskan untuk meng-update informasi yang sebenarnya tidak membawa makna apa-apa bagi diri saya. Pekerjaan utama malah terbengkalai gara-gara sibuk mengikuti berita, kadang-kadang debat kusir di medsos.

Berkat buku ini, saya mengurangi interaksi dengan berita, juga mulai mengurangi waktu memandang smart phone. Saya pun makin peka untuk tidak membaca informasi yang diawali kata-kata sebarkan, bahaya, waspada, ancaman, gagal, juga kata-kata hinaan dan kecaman. Selain berpotensi hoaks, tak ada gunanya cemas membaca info demikian.

Di beberapa bagian, saya temukan informasi kalau Dobelli banyak belajar pada Stoikisme atau filsafat Stoa di Romawi. Penganut aliran ini percaya kalau ada hal-hal yang bisa kita kendalikan, ada pula yang tidak. Tidak ada gunanya berpayah-payah memikirkan hal yang tidak bisa kita kendalikan.

Penganut aliran ini selalu mengalir, dan tidak gampang terganggu hanya karena satu kepingan informasi. Mereka melihat apa yang urgen dan apa yang tidak. Mereka berpikir ngapain pula kita terganggu hanya karena ada peristiwa di ujung sana. 

Seusai membaca buku ini, saya mengetik nama Rolf Dobelli di Twitter. Saya ingin mem-follow dan menjadi temannya. Di profilnya, ada kalimat: “Friend, I am off Facebook and Twitter while I write my next book.”



2 komentar:

Muna Makkadafi mengatakan...

Dan untuk mengetahui sedikit banyak tentang Stoikisme buku 'filosofi teras'nya henry manampiring cukup membantu, bang.

bustanul arif mengatakan...

Sepakat. Berita lebih banyak meracuni kita.

Posting Komentar