"Silicon Valley" di Gowa-Tallo


 Jalur rempah itu hanya menyisakan nestapa. Demikian sejarawan itu berkisah saat kami bertemu di Jakarta. Dia merujuk pada kedatangan bangsa-bangsa asing ke Nusantara di abad ke-16 dan abad ke-17 yang hendak mencari rempah-rempah di Maluku. 

Tak sekadar berdagang, muncul hasrat untuk menguasai wilayah demi memonopoli rantai pasok perdagangan komoditas. Negeri-negeri dicaplok, dibikin bertikai. Setelah itu, korporasi besar seperti VOC bisa menguasai semua rantai pasok perdagangan. Kota-kota di Eropa pesta pora.

Saya ingat bab favorit di buku Why Nations Fail yang ditulis ekonom terkemuka Amerika Serikat, Daron Acemoglu dan James Robinson. Bab itu menjelaskan tentang kejayaan Maluku yang kemudian porak-poranda akibat kedatangan bangsa asing. 

Di abad itu, Maluku punya komoditas yang paling dicari. Namun, kerajaan-kerajaan lokal tidak bisa mengelola semua komoditas itu untuk membangun kerajaan yang makmur sebagaimana Kerajaan Inggris atau Kerajaan Belanda di sana. Di Maluku, Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore tidak menjadi kerajaan besar dan kuat. 

Kata Acemoglu, ada kegagalan untuk membangun satu sistem politik yang inklusif. Maluku serupa bola yang diperebutkan korporasi asing, hingga akhirnya menyisakan kesengsaraan dan kepedihan bagi warga yang dilanda kemiskinan.

Acemoglu memaparkan, institusi politik-ekonomi suatu negaralah yang menjadi penentu. Negara yang institusi politik-ekonominya bersifat inklusif, cenderung berpotensi untuk menjadi negara kaya. 

Sementara negara yang institusi politik-ekonominya bersifat ekstraktif, cenderung tinggal menunggu waktu untuk terseret ke dalam jurang kemiskinan, instabilitas politik, dan menjadi negara gagal. 

Namun, ketika menelusuri beberapa cerita di abad itu, saya menemukan kisah berbeda pada Kerajaan Gowa-Tallo. Pada saat kerajaan lain di timur hanya mengizinkan bangsa asing untuk mengeruk sumber daya lalu menjualnya, atau sekadar persinggahan, Gowa-Tallo menjadi negeri yang punya visi besar.

Para penguasa Gowa menjadikan Pelabuhan Makassar seperti Singapura di masa kini. Mereka membangun pelabuhan, juga pergudangan. Penguasa Gowa mengerahkan armada semut untuk mengumpulkan komoditas di Maluku, lalu menyimpannya di gudang-gudang di Makassar, kemudian mempersilakan semua korporasi internasional untuk berdagang di Makassar. Tak perlu belanja ke Maluku.

Di abad ke-17, Makassar menjelma seperti Silicon Valley yang sangat inklusif. Makassar menyediakan platform bisnis di mana semua orang bisa datang dan tinggal bersama. Makassar persis Google yang menjadi rumah bagi semua aplikasi, dan tumbuh bersama. Demi memperluas pengaruh, penguasa Gowa dan Tallo menyebarkan ideologi Islam ke negara-negara sekitarnya.

Apa yang kita kenal dengan konsep bisnis sebagai platform, serta hackathon dalam bisnis Start-Up sudah dilakukan di abad ke-17 di mana Makassar menjadi penyedia coworking space bagi semua pebisnis.

Setelah Malaka jatuh, juga kemunduran Jawa, Makassar menjadi kota dunia serta transit bagi semua perdagangan komoditas. Perekonomian berkembang pesat di bawah arahan Sultan Alauddin yang mengikuti penguasa sebelumnya dalam menerapkan prinsip mare libirum. 

“Dalam pandangan kami bumi diciptakan untuk masing-masing kita dan laut diciptakan untuk semua. Jika anda melarang kami berlayar di laut, itu sama saja mengambil roti dari mulut kami,” kata Sultan Alauddin.

Saking majunya, Makassar mulai mengintip dunia sains. Makassar menjadi tempat paling ambisius di Nusantara dalam menjangkau ilmu pengetahuan. Berbagai kitab ditransliterasi dalam bahasa Makassar, termasuk kitab pembuatan mesiu dari Andreas Moyona. Teleskop Galileo didatangkan. Bahkan dibangun menara untuk memantau bintang, yang dalam bahasa lokal disebut Maccini Sombala.

Kian besarnya Makassar memantik persaingan dengan korporasi dagang VOC. Para petinggi VOC ingin monopoli, sementara penguasa Makassar berprinsip untuk membangun platform bagi bisnis. Dua hal yang diminta VOC ditolak yakni monopoli perdagangan di kawasan timur, dan blokade kapal dagang yang singgah ke Makassar.

Konflik pun pecah. Namun orang-orang Makassar telah mempersembahkan satu perang yang dicatat Anthony Reid sebagai perang paling mengerikan yang pernah dihadapi VOC.  Benteng Somba Opu jatuh. 

Sultan Hasanuddin, penguasa Makassar, dipaksa menandatangani Perjanjian Bungaya yang serupa MoU akuisisi saham. Beberapa poin penting yang amat merugikan di situ adalah: (1) VOC berhak monopoli perdagangan, (2) Semua bangsa asing diusir dari Somba Opu, (3) Gowa-Tallo mengganti biaya perang, (4) beberapa wilayah Gowa diserahkan kepada VOC.

Pelabuhan jatuh. Makassar porak-poranda. Hilanglah satu lapis peradaban dan kejayaan emas perdagangan dalam sejarah kita. Yang tersisa adlah nestapa kolonialisme dan monopoli bangsa asing.

Di abad ini, kita hanya bisa mengenang.



1 komentar:

Unknown mengatakan...

Tulisan anda begitu menarik,
Buton bangga memiliki orang sperti anda.

Posting Komentar