Membaca Kepunahan Keenam

 


Ini buku yang muram. Isinya adalah sejarah kekalahan dari spesies yang bukannya tidak bisa beradaptasi dengan bumi, tapi perlahan tersingkir dan punah oleh spesies manusia. Ini kisah tentang kian tingginya laju kepunahan berbagai hewan sejak era pertama bumi terbentuk.

Dulu, banyak spesies punah karena asteroid atau gunung meletus dalam skala besar. Kini, semua kepunahan itu disebabkan manusia, spesies yang merasa dirinya paling hebat sehingga merasa punya kuasa dewa untuk mengatur alam semesta.

Di bab-bab awal buku ini, saya membaca tentang punahnya spesies katak emas, badak Sumatra, hingga berbagai jenis hewan laut. Seperenam burung telah punah. Demikian pula sepertiga hiu, sepertiga moluska air tawar. Kepunahan terjadi di mana-mana, dengan laju yang kian mengkhawatirkan.

Kita memang tidak banyak melakukan refleksi diri. Saya ingat Bupati Subang yang di awal pandemi Covid memerintahkan stafnya untuk membasmi semua kelelawar. Padahal, kelelawar itu justru menampung virus Covid dalam tubuhnya. Ketika dia dibasmi, maka virus itu pindah ke tubuh manusia.

Elizabeth Kolbert menulis kepunahan itu serupa membuat catatan perjalanan, dari satu lokasi ke lokasi lain, dari satu laboratorium ke laboratorium lain. Alam semesta digambarkan sebagai sejarah perebutan ruang demi keseimbangan. Tapi manusia memasuki arena dan membawa ideologi penaklukan. Hewan liar tersingkir. Semua hutan dirambah dan menjadi perkebunan.

Kini, kita manusia menerima karma saat virus-virus ganas pindah dari hewan ke tubuh kita. Hari ini Covid menyerang, besok-besok berbagai jenis virus yang dahulu nyaman di tubuh hewan liar akan menyerang kita semua. Saat itu, kita kembali menjadi manusia sebagai makhluk biologi yang juga rentan sebagaimana hewan lain.

Dengan menggunakan perspektif dari para ahli geologi, botani, biologi laut, buku ini kaya data dan kisah-kisah penjelajahan ilmiah dari mereka yang berusaha menyelamatkan spesies dan keanekaragaman. Amat wajar jika buku ini memenangkan Pulitzer.

Seusai membaca beberapa bab, saya sempat tertegun. Benar kata Gandhi, bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua manusia, tapi tidak pernah cukup untuk segelintir manusia yang serakah. Kita lahir dalam setting sejarah di mana kita ingin sekaya-kayanya, sehebat-hebatnya, semakmur-makmurnya, lalu mulailah kita menguasai lahan dan menyingkirkan semua makhluk di dalamnya.

Seorang teman yang mengutip kitab berkata, manusia adalah penguasa di alam. Iya benar. Tapi itu bukan alasan untuk serakus-rakusnya menguasai alam dan tidak menyisakan ruang hidup untuk hewan lain. Hasrat itu membunuh kita semua.



1 komentar:

Unknown mengatakan...

luar biasa tulisan ini, mengingatkan kita semua tentang alam yang diciptakan Tuhan untuksemua mahluknya bukan saja untuk manusian, apalagi manusia serakah.

Posting Komentar