Membaca Hujan di Bulan Juni




"Seperti apa mencintai dengan sederhana?" tanya Najwa Shihab kepada Sapardi Joko Damono. Najwa bertanya tentang puisi "Aku Ingin" yang dahulu banyak dikutip para cowok ketika ingin nembak cewek, sering ditemukan di undangan pernikahan.

Penyair yang pernah menjadi Dekan Fakultas Sastra UI itu tertawa. Dia menjawab singkat, "Jangan percaya sama Sapardi." Penyair Joko Pinurbo punya komentar lain. "Mencintai dengan sederhana itu adalah mencintai yang paling tidak sederhana."

Sapardi akhirnya mau bercerita. Di suatu hari di bulan Juni, dia menyaksikan hujan turun mengguyur. Tangannya lalu bergerak untuk menulis puisi. Dia tak butuh waktu lama. Dia hanya butuh 15 menit untuk menuliskan dua puisi yang kemudian abadi dan melegenda. Dia menulis Aku Ingin dan Hujan Bulan Juni.

Saya menyaksikan penggalan dialog ini di Youtube, di sela-sela melihat berita demonstrasi dan penjarahan di negeri banyak sudut dunia. Saya ingat puisi Sapardi yang serupa embun selalu membasuh nurani.

Puisi Sapardi menjadi lebih indah ketika diubah menjadi musikalisasi dan dinyanyikan Ari dan Reda. Hari ini, awal bulan Juni, di tengah-tengah amarah dan murka serta nyinyir warga kerajaan medsos, saya mendaras puisi Sapardi yang dinyanyikan Ari dan Reda.


Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu



2 komentar:

Anonim mengatakan...

Good inspired 👍👍

Anonim mengatakan...

like it pak,

Posting Komentar