Sesobek Refleksi di Rumah BUNG HATTA




Bapak itu menatap saya lekat-lekat. Dia tersenyum saat melihat saya mengeluarkan kamera dan memotret di depan rumah Bung Hatta, di Bukittinggi. Dia menyilakan saya untuk masuk ke dalam, kemudian menemani saya berkeliling.

Di pintu depan, dia menunjukkan buku Alam Pikiran Yunani yang ditulis Bung Hatta. Saya mengambil buku itu dan memuka lembaran-lembarannya. Saya pernah membacanya beberapa tahun silam. Saya butuh mengingat-ingat beberapa bagian.

Dalam hati saya menggumam, Indonesia yang begini luas dan indah hanya akan menjadi imajinasi jika saja tidak ada generasi seperti Bung Hatta. Dia telah memberikan persembahan yang amat berharga yakni tanah air dan bumi Indonesia.

Bukittinggi menjadi saksi sejarah kelahiran Hatta. Rumah lama Hatta yang dibuat tahun 1860 telah lama rubuh. Rumah itu kemudian dibangun ulang dengan konstruksi yang sama persis. Di situ, kita bisa merasakan suasana batin Hatta saat mulai bertunas, tumbuh dalam keluarga Minang yang kental dengan tradisi, lalu mulai belajar. Di situ, kita bisa merasakan bagaimana pikiran Hatta mulai memikirkan Indonesia.

Saya kembali memandang buku yang pernah dijadikan sebagai mahar kawin saat Hatta untuk menikah dengan Rahmi. Saya membayangkan Hatta yang sedang ditahan di Digul, Papua. Di situ, dia bekerja di satu ruangan lebih 10 jam sehari. Dia menulis filsafat Yunani sebagai jalan terang bagi seluruh anak bangsa.

Dia menghabiskan lembar demi lembar demi menuliskan ulang semua aliran filsafat --yang memusingkan itu-- ke dalam bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh rakyat kebanyakan. Dia menyiapkan buku ini sebagai pengantar ke jalan filsafat, jalan yang disebutnya meluaskan pandangan serta mempertajam pikiran.

“Filosofi berguna untuk penerangkan pikiran dan penetapan hati. Ia membawa kita ke dalam alam pikiran, alam nurani semata-mata. Dan oleh karena itu melepaskan kita daripada pengaruh tempat dan waktu. Dalam pergaulan hidup, yang begitu menindas akan rohani, sebagai di tanah pembuangan Digul, keamanan perasaan itu perlu ada,” tulisnya.

Batin saya bergetar saat membaca catatannya. Dalam huru-hara pergerakan dan pekik revolusi yang menggema di seluruh negeri serta terisolasi di tengah belukar pengasingannya, Hatta menuliskan bait demi bait kalimat yang terang-benderang.

rumah tampak depan
salah satu ruangan
Belukar Digul menjadi saksi dari pergulatan gagasan-gagasan dan pemikiran yang tertoreh di sepanjang kisah-kisah besar peradaban manusia. Hatta melakukan sintesis dan refleksi secara aktif atas semua gagasan itu. Sebagai jalan terang, filsafat bisa digunakan untuk menukik ke dalam jantung sebuah bangsa dan masyarakat, menemukan ide lalu memantik proses yang menggerakkan masyarakat untuk beringsut ke arah yang lebih baik.

Dia tidak menulis di antara ribuan referensi yang bertabur. Dia tidak menghabiskan waktu untuk studi literatur dan menyiapkan bahan-bahan yang memadai seperti para pemimpin di masa kini yang hendak menempuh ujian doktor.

Sebagaimana halnya Pramoedya Ananta Toer yang menulis karya besarnya di tengah tahanan Pulau Buru dalam kondisi serba memprihatinkan, Hatta juga menuliskan gagasannya dalam keterbatasan, namun tetap jernih dan benderang.

Masa itu adalah masa gemilang dalam sejarah pertumbuhan intelektualitas negeri ini. Para pemimpin bangsa dan aktivis pergerakan adalah sosok-sosok yang menemukan pencerahan melalui perjalanan intelektual, lalu menuliskan lembar-lembar pemikiran demi mencerdaskan rakyat.

Intelektualitas menjelma menjadi pergerakan sosial. Sungguh mencengangkan sebab pada masa yang memprihatinkan ini, Sukarno sanggup menulis studi tentang Islam dan modernisasi di Ende, Flores, Sjahrir yang menulis tesis tentang demokrasi kita, serta si jenius Tan Malaka yang mempersiapkan naskah Materialisme, Dialektika, dan Logika (Madilog) sebagai suluh penerang bagi rakyat.

kamar Bung Hatta
Melalui karya-karya itu, kita bisa menyelami semangat masing-masing, merasakan pergulatan pemikiran serta kerikil-kerikil yang meresahkan mereka.

Membaca karya Hatta kita tidak menemukan sebuah semangat menyala-nyala atau permainan yang tak terduga-duga. Hatta bukanlah seorang Sukarno yang tulisan-tulisannya menggugah dan menggelorakan semangat.

Tulisan Hatta serupa air mengalir tenang dan jernih, penuh dengan perhitungan yang hati-hati dan efisien. Tulisan Hatta ibarat permainan bola yang sabar dan tidak tergesa-gesa untuk mencetak kemenangan. Kita tidak banyak menemui kejutan-kejutan, namun permainan yang efektif dan terjaga ke jantung pertahanan musuh.

Hatta serba taat asas, penuh disiplin dalam mengemukakan gagasan. Hatta adalah sosok yang dingin, tipe seorang intelektual yang menarik diri dari satu realitas sosial, demi menuliskan realitas itu secara jujur dan obyektif.

Akan tetapi, lebih dari sekedar intelektual yang berumah di atas angin, ia tetap menceburkan dirinya dalam aktivitas pergerakan, menyelami langsung pergolakan dan diplomasi atas nama bangsa, mengikhlaskan dirinya sebagai pendamping Sukarno yang setia mengiringi proses menuju kemerdekaan. Dia adalah manusia luar biasa yang pernah dilahirkan dari rahim republik ini.

Jalan Sunyi Hatta

Buku Alam Pikiran Yunani juga menyingkap jalan sunyi yang dijalani Hatta. Dalam buku itu, dia banyak menyinggung dua sosok yang amat berpengaruh yakni filsuf Heraclitus dan Socrates.

Heraclitus tersohor dengan pemikirannya tentang penta rei yakni segala sesuatu senantiasa berubah. Hatta pun selalu menginginkan perubahan dalam segala aspek kehidupan. Terlahir dari sebuah keluarga Minangkabau yang taat beragama, Hatta menginginkan pembebasan dari tatanan feodal dan memasuki abad modern sebagai bangsa yang merdeka.



Lepas dari pendidikan agama di Sumatra, ia melanglangbuana ke Belanda demi mereguk pengetahuan pada khasanah perpustakaan dunia, mengambil saripati pengetahuan, dan melakukan sintesa gagasan dengan soal kebangsaan.

Ia adalah titik tengah tengah atau hasil dari pendidikan keislaman di alam Minangkabau, dan pendidikan modern yang didapatnya di Eropa. Ia juga titik tengah dari keinginan menjadi sufi yang mendalami agama Islam, serta panggilan untuk menjadi patriot buat bangsanya.

Pantas saja, sebagaimana pernah dikatakan Ignas Kleden, kisah Hatta adalah kisah pergulatan dua pemikiran serta pengambilan posisi yang senantiasa berada di tengah dari dua kutub pemikiran.

Di tengah kutub tersebut, ia lalu menyusun syair tentang kemerdekaan, syair pembebasan sebuah bangsa. Pribadinya adalah kombinasi dua hal yang dianggap banyak orang bertentangan; di satu sisi sebagai sufi yang kesunyian, dan di sisi lain sebagai pemimpin bangsa yang hiruk-pikuk. Dua peran itu bisa dijalaninya dengan baik selama bertahun-tahun.

Di saat banyak intelektual memilih posisi menghamba pada kolonialisme, ia menginginkan perubahan, sebagaimana Heraclitus. Bahkan pada tahun 1928, saat diseret dalam satu pengadilan di Den Haag, Belanda, ia mengucapkan satu pleidoi yang menggugah, serupa belati yang mengiris di jantung kolonial. “Saya yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa suatu saat bangsa Indonesia akan merdeka.”

Demi garis perubahan itu, ia memilih jalan sebagaimana filsuf idolanya Socrates yang rela melepaskan nyawa demi kebenaran. Hatta memilih jalan Socrates sebagai jalan sunyi kaum intelektual yang bergegas ke arah perubahan.

Dari filsuf Yunani itu, ia belajar bagaimana keteguhan dalam mempertahankan sesuatu yang diyakininya sebagai kebenaran. Ia memilih jalan ketenangan, penderitaan dan kesengsaraan sebagaimana yang pernah dialami para nabi dan rasul sekian abad silam. Pada titik ini ia adalah kombinasi yang tepat untuk Sukarno demi bangsa. Keduanya adalah perpaduan antara karisma dan rasionalitas. Mereka ibarat dua sisi mata koin yang saling melengkapi.

Jika Sukarno memaknai perubahan sebagai revolusi menjebol dan membangun, maka Hatta melihat revolusi dari manusianya. Maka seorang pemimpin adalah seseorang yang punya keberanian untuk menderita dan menahan rasa sakit.

"Tanda revolusioner, bukan bermata gelap, melainkan beriman, berani menanggung siksa dengan sabar hati, sambil tidak melupakan asas dan tujuan sekejap mata juga,” kata Hatta.

Jika Socrates mempertaruhkan kebenaran dengan meminum racun di atas altar, Hatta pun mempertaruhkan kebenaran dengan menjadikan dirinya sebagai seorang pemimpin pergerakan yang mengisi lembaran hidupnya dari penjara ke penjara.

Bahkan di saat Indonesia merdeka dan menduduki tampuk wakil presiden, ia juga setia dengan prinsipnya di jalur kebenaran dan mengkritik para sahabat yang dinilainya menyimpang dari tujuan revolusi.

Ia mengkritik Bung Karno yang mulai menunjukkan karakter sebagai pemimpin yang dominan dalam banyak hal. Pandangan hidup sebagai sufi serta daya tahan dalam penderitaan telah mengusik nuraninya untuk tidak berlama-lama di kursi kekuasaan ketika kekuasaan menjadi panglima yang langgeng.

Hingga akhirnya, ia memilih mundur dari jalur politik karena keteguhan memegang teguh prinsip dan etika moral yang diyakininya.

Seperti halnya Socrates yang meminum racun, Hatta memilih jalan sunyi sebagai seorang warga negara biasa yang menuliskan semua kontribusinya dalam buku teks berharga, buku-buku yang pernah dicatat Tempo sebagai karya terbaik yang pernah dilahirkan seorang anak bangsa.

*** 

“Nak, di sini Hatta selalu tidur. Kita bisa lihat sepedanya,” kata bapak itu yang seketika menghentikan lamunan saya. Dia tahu kalau saya sesaat merenung, entah memikirkan apa.

Saya tersenyum lalu mengikuti langkah kakinya. Di luar sana, angin sepoi-sepoi sedang berhembus.



2 komentar:

Alfiandri Andri mengatakan...

Haruskah kita terlebih dahulu terpenjara untuk melahirkan karya-karya agung bang?

Akhmad Dani mengatakan...

Membaca tulisan2 Bung Yus ibarat menemukan oase pengetahuan yg dalam.

Posting Komentar