Membaca Pangeran dari Timur




Di saat banyak warga Jakarta tengah dilanda banjir, saya menerima paket buku berjudul Pangeran dari Timur. Buku ini adalah novel sejarah mengenai Raden Saleh, salah satu pelukis paling hebat di masa kolonial.

Sebagai penggemar fiksi sejarah, saya telah lama menunggu buku ini. Apalagi, saya juga seorang pelukis, meskipun yang menikmati karya saya hanya anak saya di rumah. Setelah membaca tetralogi Pulau Buru dan beberapa karya lain dari Pramoedya Ananta Toer, saya selalu berharap ada yang rutin menulis tentang masa silam, dari sisi yang tidak biasa.

Beruntung, saya bisa berinteraksi dengan karya-karya Iksaka Banu. Mulanya, saya mengoleksi bukunya Semua untuk Hindia. Selanjutnya saya membaca Sang Raja, terakhir Teh dan Pengkhianat. Iksaka adalah penulis yang dua kali mendapatkan Khatulistiwa Literary Award.

Lebih beruntung lagi, karena saya bisa berinteraksi dengannya di media sosial. Kami saling menyapa dan sesekali bercanda. Sayang, kami belum pernah bertemu. Dia bilang, saya sibuk. Padahal, saya cuma pura-pura sibuk. Setiap hari, saya hanya di rumah mengintip Facebook, sesekali kumpul bersama kawan untuk main domino.

Bagi saya, Iksaka Banu itu unik. Dia melihat sejarah tidak secara hitam putih. Dalam dua bukunya, dia mengurai kisah dari sudut pandang orang Belanda yang dicap nista oleh sejarah kita. Dia melihat peristiwa dari sudut berbeda. Siapa pun bisa berpotensi jahat, tanpa memandang warna kulit dan asal bangsanya.



Dia membentang sketsa watak manusia yang penuh warna. Ada manusia baik dan ada manusia jahat. Tergantung kita melihatnya dari sudut mana. Jika kita membebaskan diri dari segala prasangka, kita akan melihat dinamika. Selalu ada gejolak. Selalu ada kebaikan, juga kejahatan.

Kolonialisme dan rasisme memang tengik. Tapi keduanya bukan sesuatu yang bisa dilihat hitam putih. Keduanya tersimpan sebagai endapan pikiran dalam diri seseorang. Siapa pun bisa kolonialis dan rasis sepanjang hanya mengakui eksistensi dirinya, tanpa membuka ruang untuk mereka yang posisinya berbeda.

Atas dasar itu, saya tak henti mengagumi Mandela. Saat dia terpilih sebagai Presiden Afrika, setelah menjalani penahanan selama 27 tahun di Pulau Robben, Mandela tak lantas memusuhi, juga tidak membalas dendam pada orang kulit putih. Ia menawarkan permaafan, rekonsiliasi, dan menatap masa depan yang lebih cerah.

Ia mengatakan, "Yang kita lawan bukanlah kulit putih, melainkan sikap rasisme yang bisa bersarang di kepala siapa pun. Apa pun warna kulitnya.”

Yang dilawannya adalah sesuatu yang tumbuh bak parasit di kepala orang yang merasa memonopoli kebenaran. Ia menegaskan bahwa supremasi dan sikap merasa benar bisa tumbuh di mana-mana, dan menjangkiti siapa pun.

Saya pun terkenang Pramoedya. Kemerdekaan bukanlah hasil tempur di medan laga dengan senapan menyalak. Kemerdekaan bermula dari ide-ide kebebasan yang berkecambah pada pikiran yang terbuka dan peka dengan situasi terjajah. Kemerdekaan adalah akumulasi dari kerja banyak pihak, termasuk sejumlah kulit berwarna, kulit kuning, dan juga kulit putih yang menyemai ide-ide progresif.

Kini, di depan saya ada novel Pangeran dari Timur yang ditulis Iksaka Banu dan Kurnia Effendi. Saya membayangkan betapa menariknya menelusuri kisah Raden Saleh, seorang pelukis di masa kolonial yang karya-karyanya telah membius Eropa.



Saya membaui rasa sejarah yang kuat di novel ini, serta kisah seorang pelukis yang meletakkan banyak kode-kode nasionalisme serta pesan tersembunyi dalam lukisannya.

Bagian favorit saya adalah lembar pertama, di mana Iksana Banu menulis sesuatu dengan tulisan tangan. “Untuk rekan Yusran Darmawan. Sejarah adalah lukisan penuh warna.”

Setuju.

0 komentar:

Posting Komentar