Membaca NAGABUMI 3




Di tahun 2009, saya terpesona membaca cerita silat Nagabumi 1: Jurus Tanpa Bentuk yang ditulis Seno Gumira Ajidarma. Ada rasa dahaga yang terpuaskan atas kian langkanya genre cerita-cerita silat di tanah air. Setahun berikutnya, saya lanjut membaca Nagabumi II: Buddha, Pedang, dan Penyamun Terbang.

Sejak era pengarang Asmaraman S Kho Ping Hoo hingga eranya Bastian Tito yang menulis Wiro Sableng, saya selalu menyukai cerita para pendekar yang menemukan kesempurnaannya dalam setiap pertarungan. Mereka mengarungi dunia persilatan dan bertemu dengan berbagai tokoh dan karakter.

Setiap pendekar punya motif dan tujuan. Ada yang hendak merebut supremasi sebagai pendekar tak terkalahkan. Ada pula yang bertarung karena bayaran. Dalam kisah Nagabumi, saya menyukai sosok Pendekar Tanpa Nama yang selalu dikejar para pendekar karena dirinya tak pernah kalah.

Sosok ini mengingatkan saya pada Kenshin Himura, sosok dalam kisah Samurai X, yang sengaja menyepi di desa demi melarikan diri dari masa lalunya sebagai pembantai para pendekar. Justru ketika dia bersembunyi, dia akan terus dicari mereka yang ingin menjadi sosok tak terkalahkan.

Bedanya, Pendekar Tanpa Nama selalu bisa menyedot kemampuan lawannya. Jurus Tanpa Bentuk yang dikuasainya memberinya kemampuan untuk menyerap semua ilmu silat dari lawannya. Dia tidak bisa digolongkan sebagai putih dan hitam. Bahkan silat golongan hitam, termasuk ilmu racun pun, dikuasainya.

Yang menarik buat saya, kisah Nagabumi ini bukan sekadar fiksi silat. Tapi di situ juga ada sejarah dan filsafat. Sosok Pendekar Tanpa Nama adalah alter ego dari pengarang untuk menghamparkan berbagai kisah dan jalinan hikmah. Kita seakan berkelana mengikuti perjalanan sang pendekar, mengunjungi beragam budaya dan peristiwa sejarah, serta mereguk nikmatnya filsafat dan seni dalam setiap episodenya.



Kini, di meja saya sudah ada buku Nagabumi 3: Hidup dan Mati di Chang’an. Buku ini terbit delapan tahun setelah buku keduanya terbit. Lama penasaran dan menunggu, saya lalu menemui pengarangnya hanya untuk menanyakan kapan Nagabumi 3 terbit. Hikmahnya, saya jadi kenal dan punya foto bersama sastrawan idola saya ini.

Saya penasaran sebab dalam buku Nagabumi 2, Pendekar Tanpa Nama bertarung di Kamboja. Kini, dia sudah mencapai Negeri Atap Langit dan bersua para pendekar dunia kangouw atau kungfu. Saya membayangkan, betapa beratnya tantangan yang dihadapi di negeri yang melahirkan banyak bela diri.

Saya ingin segera menuntaskannya. Tapi melihat jumlah halamannya yang lebih 1.000, lebih tebal dari Mushashi yang ditulis Eiji Yoshikawa, saya harus sabar dan tabah saat membacanya. Namun, membaca buku bagus itu ibarat menikmati es krim. Nikmatnya makin terasa saat dijilat pelan-pelan sampai habis. Iya kan?


0 komentar:

Posting Komentar