Geliat Literasi di Wakatobi




Di Pulau Wanci, Wakatobi, saya kembali bertemu anak muda inspiratif ini. Dia dipanggil Muizt Bhojest. Hari-harinya tak lepas dari kamera. Dia fotografer, tapi belakangan ini mulai menekuni film dokumenter.

Lima tahun lalu, saya bertemu dengannya saat saya datang bersama peneliti IPB yang mengerjakan proyek dari Kementerian Desa. Saya memberikan coaching clinic terkait penulisan. Dia salah satu peserta paling aktif. Saat itu kami membuat buku berjudul Wakatobi: Catatan Para Penyaksi.

Hasrat belajarnya tak pernah surut. Ketika saya tinggalkan Wakatobi, dia terus perdalam kemampuannya menulis skenario. Dia menulis tentang seorang lelaki Suku Bajo yang mencari aksara.

Suku Bajo adalah suku penjelajah lautan yang kemudian menetap di beberapa pesisir laut. Mereka tak bisa jauh dari lautan. Di beberapa daerah, pemerintah hendak mendaratkan orang Bajo. Kebijakan ini jelas ditentang sama orang Bajo sendiri sebab menjauhkan mereka dari lautan.

Bojes memotret sekeping kenyataan tentang anak muda Bajo. Dia membuat cerita tentang lelaki Bajo yang hendak mencari aksara. Anak muda itu mencari guru yang bisa mengajarnya baca tulis. Kata Bojes, masih banyak orang Bajo yang belum bisa membaca dan menulis.

Mereka butuh kemampuan baca tulis agar bisa bernegosiasi dengan pemerintah, agar bisa terkoneksi dengan dunia luar. Saya teringat Butet Manurung yang memberikan keterampilan baca tulis bagi anak-anak Suku Anak Dalam di Jambi.

Bojes membuat film dokumenter tentang anak muda itu. Kisah Mustari Mencari Aksara itu mengangkat perjalanan seorang anak Bajo untuk mencari guru yang mengenalkannya pada aksara. Karyanya kemudian diikutkan lomba di tingkat nasional. Ketekunannya berbuah.

"Saya tidak menyangka, karya itu terpilih sebagai juara dua nasional," katanya saat saya temui di Wakatobi.

buku yang kami buat di Wakatobi

Bojes diundang ke Makassar untuk mendapatkan penghargaan atas karya filmnya. Dia memakai pakaian khas tokoh adat di Wakatobi. Dia bangga karena mengharumkan gugusan pulau indah itu ke pentas nasional. (silakan cek filmnya di Youtube)

Kini dia aktif berjuang untuk literasi. Dia ingin membuat buku mengenai cerita rakyat Wakatobi. Dia pun ingin membuat pameran foto hasil perjalanannya di wilayah yang disebut sebagai surga nyata bawah laut itu.

Saya tidak menyangka Rumah Kita, yang pernah saya dirikan di Wakatobi, kini terus berkembang. Anggotanya terus menuai prestasi di bidang-bidang kreatif. Selain Bojes, saya juga bertemu Guntur yang kini menjadi salah satu fotografer bawah laut terbaik yang pernah saya kenal.

Mereka adalah asa di gugusan pulau indah ini. Mereka punya andil untuk menggemakan Wakatobi ke pentas global sebagai destinasi wisata yang pantas dibanggakan. Sepuluh tahun lalu, Wakatobi belum sehebat ini.

Berkat kerja banyak orang, termasuk mereka dan penggiat sektor kreatif, kabar tentang pulau ini menggaung ke mana-mana.

“Sperma yang dulu kau tanam di sini sudah mulai besar. Sering-seringlah ke sini,” kata Guntur, sahabat Bojes. Yang dia maksudkan adalah Rumah Kita, di mana saya punya andil untuk mendirikan dan melatih mereka.

Saya tersenyum kecut. Saya tahu dia bermaksud menyindir saya yang pernah datang sebagai orang pusat membawa program di masyarakat lokal kemudian menghilang.

Saya lalu diam sambil memandang seorang nelayan yang baru saja pulang dari melaut. Hei, dia bersama anaknya yang cantik. Sesaat saya melupakan Bojes.


1 komentar:

Anonim mengatakan...

Sya suka dengan tulisan2 diblok ini. Berkarya terus. Semoga sya bisa menulis seperti anda pak.

Posting Komentar