Sisi Lain PRAMOEDYA




Hari itu, akhir April 2006, saya sedang nongkrong di pojokan kantin Teksas di kampus UI bersama kawan-kawan antropers. Sahabat Diah Laksmi datang bawa kabar kalau Pramoedya Ananta Toer sedang sekarat. Dia divonis dokter hanya bisa bertahan sehari. Saya dan kawan-kawan terkejut.

Saya teringat cita-cita semasa di Makassar. Saya pernah bercita-cita agar suatu saat bisa makan malam dengan Pramoedya Ananta Toer, lalu mendengarnya bercerita. Saya yakin sekali, seorang penulis hebat pastilah pencerita hebat juga. Saya bayangkan, makan malam bersama Pram adalah hal paling romantis. Bahkan dia diam sekalipun pasti akan indah.

Sayang, ketika tiba di Jakarta dan menjadi jurnalis, saya malah terjebak dengan kesibukan. Apalagi awal-awal saya diminta jadi jurnalis infotainment. Setiap hari saya menguber Luna Maya, pedangdut Anissa Bahar, hingga penyanyi Angel Lelga.

Nanti setelah masuk UI, barulah saya ingat Pram. Sayang, saya terlambat. Ketika tiba di rumah Pram di kawasan Utan Kayu, Jakarta, dia sudah meninggal. Saya ingat dia dikelilingi banyak orang yang membacakan tahlil. Ada banyak orang mengaji di situ. Tapi, tak jauh dari situ, ada beberapa aktivis kiri yang berdatangan.

Saya bergabung dengan rombongan para jurnalis. Seorang kawan bercerita tadi ada seorang budayawan yakni Taufik Rahzen bercerita detik-detik Pram meninggal. Kata Taufik, Pram dikelilingi banyak anak cucunya yang semuanya mengaji. Saat Taufik bertanya siapa yang ajari mengaji, semua anak kecil itu menunjuk Pram. Hah?

Saya lupa nama teman jurnalis itu. Saya ingat dia bilang: “Sudah saatnya kita ubah cerita-cerita tentang Pram. Dia bukan atheis. Dia Islami. Buktinya, dia ngajarin anak cucunya mengaji. Indonesia harus tahu ini.”

Saya tak begitu tertarik dengan apa yang dibahasnya. Saya pikir, soal keyakinan adalah pilihan masing-masing. Anda mau peluk agama apa pun, silakan saja, sepanjang Anda tidak menyakiti orang lain. Selagi Anda baik, saya tidak peduli apa agama Anda. Saya pun akan jadi sahabat baik. Tapi selagi Anda jahat dan menyakiti saya, biarpun setiap hari kamu di rumah ibadah, saya tak akan sudi berteman.

Saya ingat Pram, yang pernah bilang bersikap adil sejak dalam pikiran. Bagi saya, apa pun pilihan ideologinya, dia tetap seorang penulis paling hebat yang lahir di rahim republik ini. Dia pun penulis yang nasibnya paling tragis. Puluhan tahun dipenjara tanpa ada keputusan pengadilan, buku-bukunya dilarang rezim hingga penghargaan terhadapnya pun diprotes ramai-ramai.

Tapi, dirinya tetap penulis yang sangat humanis. Kalimat-kalimatnya khas. Dia tidak menulis sesuatu yang picisan, tetapi sesuatu yang punya dampak bagi bangsanya. Dia menulis untuk sesuatu yang lebih besar mengenai bangsanya.

Dalam buku Bumi Manusia, dia menulis satu sosok dan satu periode yang diabaikan, padahal teramat penting dalam sejarah. Dia menulis tema kebangkitan nasional sebagai sesuatu yang muncul dari berbagai interaksi orang-orang serta semangat zaman yang membawa anak bangsa pada titik untuk merdeka. Di situ ada pergolakan ide-ide menjadi bahan bakar yang menyalakan semangat zaman.

Empat puluh hari setelah Pram meninggal, saya menghadiri diskusi yang diadakan di Bentara Budaya Kompas di Palmerah, Jakarta. Di rumah joglo yang posisinya tepat di seberang harian Kompas, saya mengikuti diskusi Pram yang dihadiri Goenawan Mohamad dan Taufik Rahzen.

Saat babakan pertanyaan, kawan jurnalis yang pernah mengajak saya berbincang, terlihat mengacungkan tangan. “Sudah waktunya kita melihat Pram dari sisi berbeda. Dia seorang Islamis. Dia ulama,” katanya.

Saya melihat mimik Taufik Rahzen yang tidak nyaman. Goenawan Mohamad menjawab dengan kalimat menohok. “Lantas, apa faedahnya jika kita memerangkap dia dalam satu kategori seperti itu? Bukannya itu malah mengecilkan Pram? Bukannya itu adalah sesuatu yang tidak diinginkan Pram sebagai seorang nasionalis yang berdiri di atas kaki semua golongan, khususnya anak bangsa yang tertindas?

Saya setuju dengan Goenawan. Sayang, saya tak bisa mengikuti diskusi itu sampai habis. Saya terima telepon dari redaktur untuk menguntit Luna Maya yang saat itu sedang bersama Ariel. Saya ingin cerita Luna Maya pada kesempatan lain.

Kini, saya memandang poster film Bumi Manusia, adaptasi dari novel yang ditulis Pram. Saya tak punya ekspektasi film ini akan sedahsyat novelnya. Bagi saya, novel dan film adalah dua hal berbeda. 

Yang saya tunggu dari film ini adalah diksi atau kalimat khas dari Pram yang menyentuh, menampar, juga menggedor ruang berpikir. Saya tunggu hadirnya sosok Minke yang diperankan Iqball, idola anak Indonesia “jaman now”. Saya tunggu bagaimana Annelies Mellema (kok saya selalu bayangkan Chelsea Islan yaa) seorang indo belanda yang jelita, dan ibunya Nyai Ontosoroh yang kharismatis.

Saya menunggu momen ketika Nyai Ontosoroh berkata: “Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”



2 komentar:

wijatnikaika mengatakan...

Saya pun entah mengapa membayangkan Annelies diperankan Chelsea Islan hehe

Yusran Darmawan mengatakan...

hehehe. kok sama yaa

Posting Komentar