Buat KAMU yang Gagal Masuk PTN Favorit




Buat kamu yang gagal masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) favorit, jangan berkecil hati. PTN hanya memberi kamu satu tepukan dada kebanggaan, menjejalkanmu mitos-mitos tentang kebesaran dan kehebatan. Tapi percayalah, itu bukanlah segala-galanya. Malah bisa jadi bullshit!

Di Amerika Serikat, saya mengenal seorang kawan yang ketika menyebut kampusnya maka pertanyaan yang muncul adalah “Yang mana yaa? Kok saya baru dengar?” Tapi kawan itu punya mental tahan banting. Dia jauh melejit dari siapa pun. Dia bisa tampil di banyak konferensi besar dan selalu terpilih sebagai “the best paper.”

Saya juga mengenal seorang kawan asal Aceh. Dia tadinya ingin masuk kampus top di Jawa. Apa daya, dia tak diterima. Mulanya dia bersedih. Dia membayangkan masa depannya akan suram. Dengan sedih dia menerima fakta hanya diterima di kampus Islam kecil di Aceh. 

Tapi dia tidak mau kalah begitu saja. Dia mengasah dirinya dengan tekun hingga ketika lulus, dia diterima dalam program beasiswa ke luar negeri untuk kaum marginal. Dia melanjutkan master di satu kampus top di Amerika Serikat. Dia lanjut hingga meraih gelar doktor. Sebentar lagi dia akan melekatkan kata PhD di belakang kartu namanya sebagai seorang associate professor di satu kampus di luar negeri.

Kalau saja dia percaya dengan mitos hebatnya PTN, mungkin dia tidak akan sampai sejauh itu. Kuliah di kampus luar Jawa, pada perguruan tinggi yang biasa saja, tidak membuatnya kalah. Justru dia tertantang untuk membuktikan sampai mana batas pencapaiannya. Dia belajar dalam keterbatasan, tapi justru itu menjadi pelecut semangat yang luar biasa.

Percayalah, jika punya kesempatan ke luar negeri, coba cek kampus-kampus mana saja mahasiswa Indonesia berasal. Banyak di antaranya dari kampus-kampus tidak terkenal. Bukan PTN hebat. Lantas apa yang membawa mereka ke sana? Sebab mereka punya prestasi, daya survival, serta bisa punya semangat tahan banting untuk mencari beasiswa dan peluang-peluang baru. Mereka kreatif dan punya seribu cara menghadapi tantangan. 

Di luar negeri, semua kampus Indonesia dihitung medioker. Anda semua punya kesempatan yang sama untuk berkompetisi. Selagi Anda punya kemampuan, serta kapasitas, maka semua jalan sukses akan terbentang bagi Anda. 

Bukan nama kampus yang menentukan masa depan Anda, tapi semuanya ada di tanganmu. Pilih mana, menyerah karena gagal masuk kampus besar atau memelihara semangat baja demi menjemput peluang besar di masa depan?

Kampus besar hanya mitos. Bukan segala-galanya. Semuanya akan berpulang pada sejauh mana kemampuanmu menghadapi tantangan-tantangan baru, sejauh mana kemampuan yang kamu miliki untuk bertahan di semua situasi. Di era ini, Anda tak perlu bangga diajari dosen A yang hebat di kampus PTN. Sebab Anda bisa langsung berguru pada banyak profesor hebat di luar negeri yang rekaman kuliahnya beredar di Youtube.

Saya punya cerita lain. Seorang teman lulus dari satu kampus paling top di Jakarta. Ketika bekerja, dia selalu membanggakan kampusnya. Giliran dikasih pekerjaan, dia paling banyak membuat alasan. Dia selalu bilang, kalau di kampus, kami buatnya begini, bukan begitu. 

Dia tidak tahu bahwa semua manajer HRD lebih membutuhkan seseorang yang mau belajar, menyerap hal baru, dan selalu melakukan inovasi ketika bekerja. Andai dia baca buku Thank You for Being late yang ditulis Thomas L Friedman, dia akan mendapati fakta kalau 99 persen perusahaan selalu melatih ulang karyawannya karena pengetahuan dari kampus tak bisa diandalkan.

Dia gagal mencapai banyak target. Malah orang-orang dari kampus biasa justru jauh lebih melejit. Sebab mereka datang tanpa membawa kebanggaaan. Mereka datang sebagai pribadi yang siap bekerja keras dan membuktikan kalau mereka layak diterima. Juga ada motivasi ingin karier yang sepadan dengan gaji agar terus menanjak.

Orang-orang dari kampus biasa ini tertantang untuk membuktikan bahwa kampus hanya persinggahan, bukan sebagai cara untuk menghakimi kapasitas seseorang. Anda boleh saja bangga karena datang dari kampus besar. Namun di dunia kerja, you’re nothing. Kerja-kerjamu yang akan membuktikan seberapa layak Anda dinilai. Jika Anda hebat, buktikan dengan kerja yang juga hebat.

Nah, di era yang saling terhubung ini apakah perlu belajar di perguruan tinggi?

Saya masih punya cerita. Di Jakarta, saya kenal dengan seorang kawan. Dia mengelola usaha pelatihan. Dia sering mempekerjakan para profesor dan doktor untuk tampil memberi materi di pelatihannya. Dia sangat pede ketika bertemu orang baru dan presentasi. 

Saya tidak pernah bertanya latar pendidikannya. Suatu hari dia mengundang Prof Effendy Gazali, pakar komunikasi dari UI. Kebetulan saya juga ikut hadir. Saat makan siang, Effendy bertanya kawan itu kuliah di mana. Saya membayangkan dia akan menyebut kampus besar. Jawabannya, dia tidak pernah kuliah. Pendidikannya hanya SMA. Hah? Kok bisa begitu pede?

Kawan itu bercerita tentang kehidupan yang tidak mudah. Dia meniti karier dari officeboy, kemudian pesuruh di kantor. Tapi dia gunakan semua indra dan nalarnya untuk menangkap semua pembicaraan di situ. Dia ikuti semua materi pelatihan dan gunakan kesempatan untuk diskusi dengan paar. Dia melangkah tanpa beban. Dia tidak takut dibilang bodoh karena memang dia tidak sekolah. 

Kini, dia kelola lembaga pelatihan. Dia mempekerjakan para profesor dan doktor dan digaji 5-10 juta rupiah sekali membawakan materi. Para profesor itu girang bukan main dengan gaji segitu sekali ngomong. Para profesor itu tidak tahu kalau kawan yang tidak punya sekolah itu bisa memanen sampai 100 juta rupiah sekali pelatihan.  

suasana di satu coworking space

Pertemuan dengannya membuat saya banyak merenung. Di kafe-kafe ataupun coworking space, saya melihat banyak anak muda yang setiap hari nongkrong. Tapi mereka tak sekadar nongkrong. Mereka mengelola sektor ekonomi kreatif berbasis digital. Mereka mengelola e-commerce, menjadi youtuber, dan menjadi konten kreator yang tak punya kantor, tapi setiap saat bisa menghasilkan dollar.

Pernah, saya ngobrol dengan Yoan, seorang cewek manis berambut pirang di satu coworking space. Dia tidak tertarik kuliah, tidak juga berniat dapat gelar. Dia hanya lulusan SMA. Pernah, dia hampir lanjut kuliah, tapi setelah membaca pengumuman kalau perusahaan sekelas Google dan IBM tidak pernah melihat ijazah, dia mengurungkan niatnya.

Dia mengasah kapasitasnya dengan mengambil kelas-kelas singkat dan pembelajaran online. Dia memegang tiga sertifikat keahlian dari Google. Kini, dia jadi rebutan banyak korporasi besar. Hebatnya, dia menolak semua tawaran itu. Dia memilih bekerja dari kafe-kafe, sesekali ke Bali untuk berlibur sekaligus bekerja. Sesekali ada di daerah terpencil di Indonesia.

Sebagai orang yang pernah lulus dengan nilai sangat bagus di kampus-kampus besar yakni Unhas, UI, dan Ohio University, saya makin banyak belajar saat melihat banyak hal di sekitar. Dunia sedang bergerak maju. Pikiran pun harus terus bergerak. 

Jangan berbangga hati hanya karena kampus besar dan jaringan alumni yang selalu rajin menggelar arisan setiap tahun. Berbanggalah karena Anda punya kapasitas dan skill yang membuat Anda akan selalu dibutuhkan. 

Temukanlah passion atau sesuatu yang Anda sukai, kemudian kejar dengan sepenuh hati. Penentu masa depan bukanlah kampus atau dari mana Anda berasal, melainkan sejauh mana upaya menemukan emas berlian di dasar diri, yakni kemampuan untuk selalu belajar, menyerap hal baik di sekitar, dan melakukan hal-hal yang kamu sukai hingga kelak menjadi karier yang melejitkan dirimu pada level yang tidak pernah diduga.

Masih percaya dengan mitos kampus PTN?




16 komentar:

Topik Irawan mengatakan...

Keren banget tulisannya...termotivasi untuk mencari passion meski nggak sekolah tinggi dan favorit pula.

Yusran Darmawan mengatakan...

siapp bang. ayo kita kejar mimpi

erwan_saripudin mengatakan...

Mantap nilainya di unhas ui dan ohio kak... Selamat

maryvanz mengatakan...

Ter❤😭😭 sukses terus Pak timur-angin 🙏🙏

maryvanz mengatakan...

Ter❤💪 😭😭
Sukses terus Pak timur-angin 🙏🙏

Yusran Darmawan mengatakan...

amin. makasih om.

Yusran Darmawan mengatakan...

kok berulang yaa

maryvanz mengatakan...

tersend dan belum muncul eh rupanya harus diapprove dulu sama yg punya blog wkwkwk akibat jarang komen di blog Pak. hehe

Unknown mengatakan...

Sukses selalu tulisan yg menginspirasi

mazmur mengatakan...

Suka banget sama kata "Bukan nama kampus yang menentukan masa depan anda" , Karena masa depan kita, ada di tangan kita sendiri.

Yusran Darmawan mengatakan...

thanks atas komennya yaa

mpi's stories mengatakan...

Wah selalu menginspirasi. Sudah 2 tahun ini, saya mengikuti blog Mas Yusran.

Oh iya, sekarang saya juga sedang ngejar mimpi, ingin jadi jurnalis. Kalo mas Yusran buka pelatihan atau komunitas menulis, infoin ya, hehe....

Semangat mengudarakan inspirasi. Salam dari Rafli, mahasiswa semester 5...

Hajja Aqtham mengatakan...

Tulisannya ngena banget sama kita sang pemburu kampus impian. Tulisan kak Yusran sangat memotivasi saya bahkan membuat saya menggumpal air mata pada ujung kantung mata saya. Entah apa yang membuat saya hampir menangis dan merasakan ketersinggungan yang hebat. Membaca tulisan kak yusran membuat saya malu pada diri saya saat ini. Luarbiasa kak

Bara Indonesia mengatakan...

👍👍👍

Inang Rama mengatakan...

Kereeee, aku sukaaaaa selalu tukisanmu abang Tampan😂😂😂😂

topiknugroho.com mengatakan...

Wah wah bener sekali nama kampus cuma embel embel doang kalau jaman now

Posting Komentar