Entah apa yang di benak petinggi lembaga internasional di bawah payung PBB ketika meminta saya untuk jadi konsultan ahli di perbatasan Timor Leste. Dia pikir saya punya skill riset dan menulis, serta analisis yang bagus. Padahal, keahlian saya adalah membual dan melatih kucing.
Biar sudah menolak, saya tetap diajak ke sana. Saya pikir palingan cuma jalan-jalan dan menulis. Saat di pesawat, barulah saya diberitahu kalau ada tugas tambahan lain yakni menjadi mentor bagi peneliti asal Norwegia yang akan ikut turun ke lapangan. Lebih terkejut lagi ketika mendengar dia tak bisa bahasa Indonesia. Matilah saya.
Peneliti itu bernama Chelsea Nguyen. Ketika dia berbicara, saya serasa berada di film Harry Potter yang semua pemain beraksen British. Tapi saya masih bisa menangkap jelas semua kalimatnya. Biarpun bahasa Inggris saya sudah campur dengan aksen Buton Bugis Makassar, dia bisa paham.
Ayahnya berdarah Vietnam yang sudah jadi warga negara Norwegia. Ketika bertemu dengannya di Kefa, dia memperkenalkan diri sebagai ekonom yang memegang gelar master bidang ekonomi politik di London School of Economic (LSE) di Inggris. Bahkan dia kenal Anthony Giddens dan pernah diskusi. Hah?
Demi menutup rasa minder, saya bertanya mengapa namanya Chelsea, mengapa bukan Arsenal, klub yang meskipun jarang menang tapi saya idolakan. Mengapa pula namanya bukan Tottenham yang berhasil menembus final Champion League. Katanya, bapaknya adalah fans Chelsea, khususnya pemain Frank Lampard.
Kami berbincang tentang buku-buku. Bacaannya sangat berkelas. Dia seperti perpustakaan berjalan. Dia bisa menjelaskan banyak nama besar di bidang ekonomi politik. Saat saya menyebut buku White Man’s Burden, dengan cepat dia menyebut William Easterly penulis buku itu.
Menurut satu staf lembaga PBB, dia seorang pemikir dan penulis handal. Blognya berisi ratusan artikel dalam berbagai topik, khususnya ekonomi politik. Saya sempat mengintip blognya, tapi tak kuat baca. Semuanya berbahasa Inggris.
BACA: Cerita tentang Nahad Baunsele
Pengetahuan sebanyak itu bukan jaminan kalau dirinya menguasai banyak hal. Dia curhat kalau dirinya adalah tipe periset yang lebih banyak bekerja di belakang meja. Dia bisa memahami bagaimana data-data ekonomi bekerja, tapi dia akan sangat kesulitan ketika diminta mengeksplor kisah-kisah manusia.
“Yos bagaimana cara memulai wawancara? Bagaimana caramu melakukannya” dia bertanya. Saya bingung bagaimana menjawabnya. Selama ini saya tak pernah merasa melakukan wawancara. Malah saya menghindari kesan wawancara. Saya merasa sedang ngobrol lepas, banyak mendengar, kemudian banyak bertanya. Sesederhana itu.
Saat kami di lapangan, dia mengikuti ke manapun saya bergerak. Rasanya kikuk juga jika diikuti seseorang. Dia memosisikan dirinya seperti Anakin Skywalker yang mengikuti Master Obi Wan Kenobi. Dia menjadi padawan atau murid yang memperhatikan, menyimak, dan belajar.
Kendala saya hanya satu yakni harus kerja dua kali. Saya harus menerjemahkan semua kalimat informan ke dalam bahasa Inggris agar dia juga paham. Saya pun harus menerjemahkan pertanyannya ke informan. Saya menjalani dua peran, sebagai peneliti, sekaligus penerjemah.
Saya paham mengapa para peneliti asing seperti Ben Anderson mesti menguasai bahasa Indonesia dulu sebelum turun kapangan. Penguasaan bahasa membuat mereka fleksibel bergerak dan cepat memahami kalimat informan. Bahasa adalah gerbang budaya yang membuat seseorang bisa memahami ekspresi, mimik, hingga keyakinan yang diekspresikan dalam diksi atau pilihan kata.
Tapi saya kagum karena Chelsea adalah tipe yang sangat cepat belajar. Saat saya beritahu tentang kerja-kerja peneliti yang tak sekadar bilang “I’ve been there” tapi juga memahami realitas sesuai dengan pikiran warga lokal, dia cepat menyerap.
Saat di lapangan, dia tak ada rasa canggung ketika bertemu petani, makan bersama petani di ladang, hingga ikut mendaki bukit-bukti demi ke ladang petani di Timor Leste. Saya juga kagum, dia cukup cepat mengambil hati pemuka adat saat mencoba sirih yang selalu dibawa-bawa pemuka adat itu. Dia melakukan observasi partisipatoris dengan baik.
Pada saat kami bertemu korban kekerasan, saya bisa melihat dia terguncang ketika mendengar subyek bercerita. Dia beberapa kali tertegun saat mendengar tuturan mereka. Ini adalah pengalaman baru yang berkesan baginya. Dia belum pernah mendengar kenyataan semenggetarkan ini di negerinya.
Seusai wawancara, dia terharu. Dia memeluk semua ibu yang menjadi koban itu. Dia berbisik, ini adalah pengalaman luar biasa baginya. Baginya, pengalaman ini jauh lebih berkesan dari pengalaman berurusan dengan angka-angka. Dia menemukan keindahan riset humaniora sebagai jembatan hati yang membuat manusia saling memahami satu sama lain.
Saat senja mulai nampak di ufuk bumi loro sae, dia menemui saya kemudian berbisik: “Thanks for everything.” Saya terheran-heran. Saya merasa tidak melakukan apa-apa. Dia tetap tersenyum riang. Saya fokus memperhatikan pipinya yang kemerahan. Hmm.. Dia cantik.
9 komentar:
Luar biasa..
mantaf juga kisahx klu dijadikan film pendek hehee,,. ''thanks for every thing'' kerenn
Sebuah pengalaman menarik. Dengan menemani Chelsea ini, saya yakin akan menambah wawasan bung Yos (sapaan akrab dari Chelsea utk Yusran) terutama dalam hal bagaimana "membual" dan "melatih kucing" hehehe....
Krrennnn
biasa ji kasian
hahaha. menarik idenya.
amin. mudah2an wawasan selalu bertambah.
makasih om
Salam the Gunners bang
Posting Komentar