“Pettite Historie” HMI Cabang Makassar Timur



Tulisan ini adalah catatan editor yang saya buat untuk buku Dari Tamalanrea untuk Indonesia. Buku ini dibuat oleh para alumni dan warga HMI Cabang Makassar Timur. Selamat membaca!
***

Sosiolog Charles Wright Mills dalam buku Sociological Imagination menyebut tiga hal yang menjadi dasar untuk memahami satu masyarakat, yakni biografi, sejarah, dan struktur sosial. Ketiga aspek ini saling berkaitan erat, saling meresap, dan saling berpotongan di banyak titik. Setiap tindakan individu adalah produk sejarah yang dipengaruhi struktur masyarakat. Makanya, setiap tindakan harus selalu ditempatkan dalam satu konteks sosial, yang kemudian diurai secara perlahan, dan dipahami maknanya.

Biografi bisa ditafsirkan sebagai himpunan pengalaman-pengalaman seseorang, sejarah adalah himpunan peristiwa yang belangsung pada satu masa, sedangkan struktur sosial adalah kondisi masyarakat yang mengalami proses objektivasi. Jika demikian halnya, bagaimanakah memahami gerak sejarah dari anak-anak muda di Makassar pasca-reformasi? Apakah pengalaman berharga yang bisa dipetik saat dengan menyaksikan lintasan sejarah anak-anak muda yang kesemuanya merupakan warga HMI Makassar Timur? 

Berikut petikan “Petite Historie” atau sejarah kecil di sebelah timur Makassar.

***

HARI itu, pekik reformasi berkumandang ke udara. Jenderal Besar Soeharto baru saja turun dari kekuasaannya, namun aksi-aksi mahasiswa masih tumbuh secara sporadis di banyak daerah. Suhu politik belum stabil. Pemerintahan baru yang dipimpin BJ Habibie, yang kemudian digantikan Gus Dur, belum bisa mengendalikan penuh kekuasaan yang digenggamnya. Kerusuhan demi kerusuhan berlangsung di banyak daerah sehingga menyita energi pemerintah.

Kota Makassar masih dicekam trauma setelah kerusuhan menjalar lalu menghanguskan banyak rumah dan toko milik warga keturunan. Indonesia sedang dipenuh konflik etnik yang serupa jamur tumbuh di mana-mana. Tak hanya Makassar, Ambon juga diremuk oleh perang dia kelompok agama, konflik antar agama juga berkecamuk di Poso. Di Sampit, jalan-jalan dipenuhi darah yang mengucur-ngucur.

Indonesia sedang berada di titik paling genting dalam sejarah. Reformasi tak sekadar menjebol apa yang selaa ini tabu dibahas, tapi juga menyebabkan struktur ambrol hingga banjir melebar ke mana-mana. Reformasi telah membuka banyak diskusi yang sebelumnya tabu untu dibahas. Segala hal dipertanyakan. Indonesia seolah belum memiliki peta konsensus hendak membawa bangsa ini ke mana. Semua ideologi  dan kekuatan sosial tampil ke permukaan dan hendak merebut dominasi wacana.

Dalam situasi itu, saya terdaftar sebagai mahasiswa baru di Universitas Hasanuddin, Ujungpandang. Saya menyaksikan bagaimana mahasiswa laksana air bah setiap hari membanjiri jalan-jalan raya dengan semangat perlawanan. Saya melihat dinamika yang terus berubah. Mahasiswa generasi itu setiap saat mengeluarkan pekik perlawanan kepada rezim yang dianggap sebagai biang korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Masih hangat dalam benak saya, suatu hari di tahun 1998, mahasiswa Unhas datang dengan berbagai truk dan bus menduduki Bandara Hasanuddin. Mahasiswa menggelar aksi di landasan pacu sehingga melumpuhkan bandara. Tuntutannya adalah reformasi, namun beberapa orator berteriak-teriak meminta otoritas bandara agar menyediakan pesawat yang akan membawa mahasiswa menuju Jakarta demi menggelar aksi di gedung DPR RI. Aksi ini bubar setelah aparat melempar gas air mata. Mahasiswa berhamburan kembali ke kampus. Semuanya terasa heroik.

Pergolakan tak hanya dilakukan mahasiswa Unhas, tapi seluruh mahasiswa di Makassar. Pergolakan itu dipicu oleh naiknya harga-harga kebutuhan pokok, kian mahalnya ongkos kendaraan akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), serta makin sulitnya kehidupan rakyat. Segala persoalan masyarakat menjadi bensin yang dengan segera dipantik oleh mahasiswa.

Mahasiswa menghangatkan bara perlawanan melalui berbagai organisasi kemahasiswaan. Pengkaderan dianggap sebagai ujung tombak yang bisa melahirkan mahasiswa kritis yang bakal memiliki ketapel untuk menghantam rezim.  

Pada masa itu, berbagai organisasi hadir di dalam kampus. Semua organisasi itu, baik berhaluan kiri maupun kanan, berebut mahasiswa yang akan dilatih menjadi kader organisasi. Semua menawarkan pengkaderan serta semangat perlawanan pada rezim pemerintahan yang otoriter. Mahasiswa ibarat bahan bakar bagi api perlawanan yang menyala-nyala di mana-mana. 

Di lembaga intra kampus, mahasiswa diperkenalkan dengan semangat perlawanan kepada rezim. Saya mengalami saat-saat bagaimana para aktivis mahasiswa menularkan kegelisahan kepada semua mahasiswa baru agar ikut gelisah memikirkan bangsa. 

Bahkan mahasiswa senior menantang nyali para mahasiswa baru untuk seorang diri menggelar aksi di jalan-jalan. Pada masa itu, hari-hari bergerak cepat. Mahasiswa tak sekadar fokus kuliah, akan tetapi terus-menerus berkonsolidasi demi merespon isu secara bersama-sama.

Di ajang penerimaan mahasiswa baru, para mahasiswa diperkenalkan dengan materi pergerakan mahasiswa. Beberapa peristiwa besar terkait mahasiswa dikemukakan dengan harapan agar memantik semangat. 

Mulai dari kebangkitan nasional di tahun 1908, sumpah pemuda tahun 1928, hingga proklamasi, lalu runtuhnya Orde Lama. Semua peristiwa sejarah yang dimotori mahasiswa diangkat ke permukaan. Tak cukup sampai di situ, sumpah mahasiswa kembali dibacakan. Saya masih ingat susunannya;

Sumpah Mahasiswa Indonesia
Kami mahasiswa Indonesia
Mengaku bertana air Satu
Tanah Air tanpa penindasan
Kami mahasiswa Indonesia berbangsa satu
Bangsa yang menjunjung tinggi keadilan
Kami mahasiswa Indonesia
Berbahasa satu
Bahasa kebenaran.

Saking seringnya mengikuti aksi dan demonstrasi itu, saya mengenal banyak aktivis dan pemimpin organisasi kemahasiswaan. Pada masa itu, mereka selalu memulai aksi-aksi demonstrasi. Seringkali mereka bersitegang dengan birokrat kampus. 

Para aktivis ingin mahasiswa ikut demonstrasi, sementara birokrat ingin mahasiswa belajar di kelas.Para aktivis benar-benar menjadi kerikil yang berdiam di sepatu para pejabat kampus. Mereka menyegel ruang perkuliahan dengan lidi yang dimasukkan ke lubang kunci agar mahasiswa tidak bisa kuliah. Saat mahasiswa bergerombol, mulailah mereka melempar ajakan untuk ikut aksi.

Seorang kawan membisikkan fakta bahwa hampir semua semua aktivis dan pemimpin pergerakan mahasiswa itu berasal dari rahim organisasi yang sama yakni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Saya mengetahuinya saat rapat-rapat aksi, di mana mereka selalu menyebut-nyebut nama organisasi itu. 

Rupanya, di sela-sela aksi demonstrasi, mereka tak lelah menggelar pengkaderan yang sifatnya lintas fakultas, bertemu mahasiswa di berbagai fakultas, menemukan kesamaan gagasan untuk menyikapi Indonesia yang saat itu sedang sakit. Pada masa itu, Unhas tak punya lembaga kemahasiswaan di level universitas. Praktis, HMI menjadi ruang-ruang egaliter yang menjembatani dialog semua aktivis.

Tak hanya para aktivis di lembaga formal, bahkan di sejumlah organisasi berhaluan kiri pun, para aktivisnya justru memulai pengalaman berorganisasi dari lembaga HMI. Para aktivis kiri memulai pengalaman bermahasiswa dari HMI, mengalami pencerahan, hingga melancarkan kritik pada lembaga ini. Tak hanya kiri, bahkan para aktivis kanan, para aktivis berbagai organisasi Islam, juga memulainya dari HMI. 

Sepakat atau tidak sepakat, pengkaderan di organisasi hijau hitam adalah model pengkaderan terbaik, yang kemudian diikuti oleh semua lembaga kemahasiswaan. Saya tidak memungkiri fakta bahwa organisasi mahasiswa ini bukan satu-satunya mata air bagi pergerakan mahasiswa. Namun saya berani mengatakan bahwa HMI adalah lembaga paling produktif melahirkan kader aktivis dan intelektual. Bermula dari lembaga ini, semuanya menyebar ke mana-mana.

Ruang diskusi HMI menjadi arena yang mempertemukan semua pihak. Para aktivis bertemu dan memperbarui semangat mereka dalam berbagai forum diskusi itu. Mereka berkumpul dan bersama merasakan gelora dan bara perlawanan pada rezim. 

Mereka ingin mereguk manisnya dunia kemahasiswaan, dunia pengembaraan demi mencari keping demi keping pengetahuan, kemudian kembali ke jantung realitas yang menggiriskan demi mengubahnya menjadi realitas membahagiakan.

HMI serupa oksigen yang berada di mana-mana, namun tak bisa dilihat fisiknya. Dia mewarnai semua organisasi kemahasiswaan, menentukan hendak ke mana organisasi mahasiswa, menjadi nyawa bagi semua proses pengkaderan. 

Indikatornya sederhana. Perhatikan semua pengkaderan lembaga kemahasiswaan. Bisa dipastikan, mereka mengadopsi pendekatan HMI dalam pengkaderan, termasuk materi-materi pergerakan kemahasiswaan.

Dalam diri saya berhembus kuat rasa penasaran, apa sebenarnya yang terjadi di tubuh HMI? Mengapa organisasi ini justru paling banyak melahirkan para pemikir, aktivis, hingga para intelektual di kampus-kampus? Apakah ada sesuatu yang spesial di tubuh HMI?

***

BERKAT ajakan seorang kawan, saya memutuskan untuk ikut pengkaderan HMI. Pada mulanya, saya membayangkan pengkaderan HMI serupa pesantren kilat di kampung halaman. Barangkali, mahasiswa akan tinggal di mushalla, lalu setiap hari menerima materi keagamaan yang dipadatkan selama periode latihan. Mungkin saja akan ada baiat di tengah malam, yang diikuti tangis pertobatan atas segala dosa.

Saya tertarik untuk bergabung di HMI bukan saja karena mengenal banyak aktivisnya. Saya tertarik karena lembaga ini paling inklusif dalam menerima siapapun yang hendak mengikuti pengkaderannya. Kader HMI tidaklah eksklusif, dengan hanya berdiam di mushalla. 

Tidak pula mengekang diri hanya mengikuti kegiatan yang diadakan organisasi itu. Kader HMI punya pergaulan luas yang lintas fakultas dan lintas universitas. Mereka memiliki bahasa yang sama yakni semangat keislaman yang lalu dibumikan dalam berbagai ladang amal kehidupan. 

Saya memutuskan untuk mengikuti basic training di HMI Cabang Ujungpandang yang beralamat di Jalan Bottolempangang. Meskipun letaknya cukup jauh dari kampus Unhas, saya tetap memaksakan diri untuk datang, sebab saya berharap bisa mendapatkan hal baru di pengkaderan itu. 

Saya penasaran dengan organisasi ini karena pengkaderannya bersifat egaliter sehingga mengizinkan siapapun ikut pengkaderan. HMI tak pernah memandang latar belakang seseorang, tingkat keislaman, hingga pemahaman seseorang terhadap agama. Bahkan seseorang yang beragama lain dan ingin ikut pengkaderan HMI juga dipersilakan. Yang penting siap mengikuti aturan dalam pengkaderan serta siap untuk didebat dan mendebat.

Di hari pertama, saya datang dengan niat setengah hati. Dua orang memperkenalkan diri sebagai Master of Training dan Vice of Master. Mereka mengelola pelatihan itu selama beberapa hari. Saat mereka menjelaskan metode pelatihan, saya tertarik dengan kekayaan kosa-kata serta kemampuan mereka menjelaskan metode pedagogi sebagai landasan pengkaderan. 

Mereka mengajak kami untuk membuat kontrak belajar, sesuatu yang tak pernah didapatkan di bangku perkuliahan. Di ruang kuliah, saya hanya datang, duduk, diam, dan mendengarkan. Di HMI, semuanya didiskusikan dari nol. Sanksi pun dibahas, yang tak hanya mengikat para peserta, tapi juga mengikat para pemateri.

Lama setelah menjalani pengkaderan, barulah saya menyadari bahwa ruang pembelajaran di HMI didesain serupa pembelajaan yang diidam-idamkan filsuf Paolo Freire (1921-1997). Di pelatihan itu, tak ada yang disebut the banking concept of education atau pendidikan yang menempatkan peserta sebagai gelas kosong untuk deposit pengetahuan. 

Justru yang dikembangkan adalah problem posing education di mana semua peserta sama-sama menghadapi masalah, lalu mengurainya, kemudian berusaha memahami persoalan tersebut. 

Para peserta pengkaderan datang sebagai subyek yang berkesadaran, yang berniat untuk mendialogkan pengetahuannya. Pengetahuan lahir melalui interaksi dalam keadaan yang egaliter atau setara. Pengetahuan dan pemahaman lahir melalui interaksi dinamis dan proses membenturkannya dengan banyak aspek. 

Dalam situasi terdesak, seseorang akan mengeluarkan semua argumentasi dan pengetahuannya demi mempertahankan apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Pengkaderan HMI selalu mengakomodasi lalu lintas percakapan tersebut.

Di pengkaderan HMI, semua orang punya hak yang sama untuk bercerita dan mendebat pemateri. Saya merasakan pembelajaran yang beda jauh dengan pembelajaran masa kuliah yang cenderung monoton, kaku, dan membuat peserta didik takut untuk memberikan komentar sebab ada otoritas pengetahuan di situ. 

Di ruang-ruang kuliah, perbedaan pendapat seringkali tabu. Mahasiswa hanya datang ke kampus dan duduk mendengarkan arahan dosen. Memang, tak smeua demikian. Tapi kebanyakan masih mempertahankan pola-pola lama itu. Banyak cerita tentang mahasiswa yang tidak bisa lulus kuliah hanya karena berbantah-bantahan dengan dosennya.

Di pengkaderan HMI, semuanya berada pada posisi sejajar, sebab sama-sama pencari kebenaran. Debat-debat dikemas sebagai cara untuk mencapai pengetahuan. Semakin liar dan semakin gila gagasan, semakin disukai sebab membuka banyak ruang untuk diperdebatkan. Semakin banyak referensi, maka debat itu menjadi semakin bermutu.

Materi-materi dalam pengkaderan HMI disusun serupa perjalanan panjang. Sebelum perjalanan panjang itu, para peserta diperkenalkan dahulu dengan materi Kerangka Berpikir Ilmiah. Materi ini memberikan piranti mengenai cara berpikir, logika, hingga epistemologi. Materi ini ibarat pedang yang kelak akan digunakan dalam petualangan selanjutnya. 

Pengetahuan tentang logika dan filsafat itu akan kami pakai saat mendebat pemateri demi melumpuhkan argumentasi mereka. Tak disangka, para pemateri pun punya jurus logika yang lebih dalam dari pengetahuan kami.

Saat materi inti yakni Nilai Identitas Kader (NIK), semua perangkat epistemologis itu menjadi senjata yang digunakan untuk berdebat dan bertarung kata. Para pemateri menjadikan dirinya sebagai sparring partner yang sama-sama mencari pengetahuan. 

Mereka menantang peserta untuk berkomentar sebanyak apapun, mengeluarkan semua argumentasi, lalu mendebatnya dalam satu forum yang dialogis. Di lembaga ini, tak ada sesuatu yang dogmatik. Segala sesuatu dipertanyakan hingga ke akar-akarnya. Melalui ajang menggali pengetahuan itu, saya selalu dibenturkan dengan kenyataan betapa selama ini saya sedikitnya pengetahuan saya. Betapa saya hanyalah pasir di pesisir pantai, yang masih amat jauh dari kedalaman lautan sana.

Materi Dialog Kebenaran, Dasar-Dasar Kepercayaan, dan Esensi Ajaran Islam adalah materi-materi yang saya rasakan paling menantang. Seorang pemateri seringkali menjadi outsider yang didatangkan ke ruang pengkaderan untuk berdebat. 

Ia akan menjadi seseorang yang skeptis dan meragukan segala informasi yang kami berikan tentang agama yang kami yakini. Dalam sinisme itu, ia menggelitik semua pengetahuan kami sehingga dikeluarkan sebanyak-banyaknya. Materi ini ibarat menaroh mercon ke dalam kepala saya yang segera meledak lalu membuat saya merasakan kekosongan pengetahuan, lalu membuka diri untuk terus belajar.

Materi selanjutnya semakin menantang. Mulai dari Kemerdekaan Manusia dan Keharusan Universal yang mendiskusikan makna dilema posisi manusia yang terombang-ambing di antara pahaman deterministik dan free will di aras filosofis, kemudian materi Individu dan Masyarakat yang mendiskusikan filsafat individu dan filsafat sosial. 

Saya juga menyukai materi Keadilan Ekonomi yang mendiskusikan filsafat manusia dan percabangannya dalam isme-isme ekonomi, Islam Iptek yang membuat kami berkenala hingga horison sains, melihat ufuk dan senjakala pengetahuan, au mencari di manakah posisi Islam di tengah sians yang kian membuat dunia berkembang, tapi juga di tubir kehancuran.

Di sini pula, saya menemukan wacana keislaman yang berbeda dengan apa yang saya terima di kampung halaman. Sebelumnya, saya dipaksa menerima agama begitu saja tanpa mempertanyakannya secara kritis. 

Agama saya persepsi sebagai sesuatu yang dogmatik dan diterima begitu saja, tanpa didalami. Mempertanyakan banyak hal dalam agama bisa membawa saya pada kesesatan. Tapi di HMI, kesesatan sekalipun didialogkan dengan berbagai pendekatan. Semua kebenaran diuji dengan penalaran yang dituangkan dalam diskusi-diskusi mendalam.

Di pelatihan lembaga ini, saya menemukan banyak nama besar yang telah mengisi wacana intelektual keislaman sejak berabad silam. Ternyata, wacana keislaman hari ini dipengaruhi oleh berbagai faktor penting semisal sejarah, politik, budaya, dan bagaimana perspektif seseorang mengenali agama. Pemahaman atas agama tidak selalu dilihat dari sisi doktrin. 

Pemahaman itu harus ditautkan dengan aspek sosial, budaya, dan politik yang di sepanjang sejarah telah berkontribusi pada pemahaman keagamaan. Yang juga penting adalah bagaimana melihatnya dari sisi filosofis.

Dari sekian nama besar itu, nama yang patut disebut di sini adalah Nurcholish Madjid (1939-2005). Sosok inilah yang meletakkan dasar semua materi dalam pengkaderan HMI. Cak Nur, demikian ia disapa, adalah salah satu intelektual Muslim terkemuka Indonesia. 

Ia berlatar pesantren namun mendalami studi-studi keislaman di University of Chicago, Amerika Serikat. Materi-materi dalam pengkaderan HMI berangkat dari kegelisahan Cak Nur melihat kondisi umat Islam sehingga dirinya berpikir bahwa mesti ada satu pembaruan pemikiran demi membawa umat Islam sebagai umat terdepan di era modern.

Cak Nur melakukan kunjungan ke banyak negara, termasuk Timur Tengah, Eropa dan Amerika Serikat. Ia memiliki kesimpulan menarik bahwa di negara-nagara maju dan modern, Islam justru ditemukan di situ. Ia melihat manifestasi Islam dalam pelayanan publik, penghargaan atas hak-hak warga, juga sikap warganya yang menghargai dan menghormati orang lain. 

Ia melihatnya dalam hal-hal sederhana, misalnya saat orang tua memasuki bis, maka semua orang akan berdiri untuk menyapa dan menyilahkan duduk di kursinya. Bagi Cak Nur, sikap itu adalah sikap yang Islami. Di mata Cak Nur, segala hal yang baik, terpuji, dan memanusiakan adalah manifestasi dari ajaran Islam.

Sebagaimana dipelajarinya dari para pembaharu Islam di berbagai negara, ia lalu bercita-cita untuk melakukan pembaruan. Dalam pandangannya, pembaruan harus dimulai dari dua hal, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. 

Dorongan melakukan pembaruan inilah yang menurut Cak Nur, mengandung konotasi, bahwa kaum muslim Indonesia sekarang ini telah mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, dan kehilangan kekuatan secara psikologis perjuangannya. Dorongan pencarian nilai ini memosisikan seorang Muslim dalam satu proses aktif yang terus bergerak untuk membumikan nilai-nilai keislaman.

Ide pembaruan ala Cak Nur ini hanya dapat mungkin dipahami jika seseorang dapat secara historis-kritis mengamati perkembangan pemikiran Islam dalam hubungannya dengan konteks sosial-budaya yang mengitarinya. Seseorang harus menempatkan dirinya dalam satu semesta pengetahuan yang holistik, yang memberinya kemampuan untuk memahami segala hal secara utuh. 

Makanya, pengetahuan keislaman saja dianggap tidak memadai jika tidak diperkaya dengan pengetahuan lain semisal filsafat, sosiologi, antropologi, dan kesejarahan. Pengetahuan ini menjadi piranti untuk memahami sesuatu secara mendalam.

Tanpa mengaitkan dengan konteks tidak pernah ada pembaruan. Teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah akan tetap seperti itu adanya, sedang alam, peristiwa-perstiwa alam, peristiwa-peristiwa ilmu dan teknologi akan terus menerus berkembang tanpa mengenal batas yang final. Selalu saja terdapat tarikan antara nornativitas wahyu dan historisitas kekhalifahan. 

Normativitas adalah keyakinan bahwa wahyu punya kebenaran yang absolut atau mutlak dan tidak ada keraguan di dalamnya. Sedangkan historisitas adalah aspek kesejarahan dari manusia sebagai seorang khalifah. Di sepanjang sejarahnya, manusia selalu berusaha untuk membumikan kebenaran wahyu untuk mewarnai peradabannya.

Yang saya pahami dari Cak Nur adalah tanpa pembaruan pemahaman, doktrin keagamaan pada era tertentu akan membeku dan bisa kehilangan relevansinya. Penyegaran itu perlu untuk mencari relevansi pemahaman ajaran kitab suci dengan tantangan zaman dan gesekan antar berbagai tradisi keagamaan dalam era globalisasi.

Sejarah juga mengajarkan manusia bahwa apa yang disebut agama seringkali sarat dengan berbagai kepentingan yang menempel dalam ajaran dan batang tubuh ilmu keagamaan itu sendiri. Agama sering menjadi alat legitimasi dari kekuasaan dan politik sehingga kehilangan esensi ajarannya. Agama hanya menjadi pembenar dari kelompok berkuasa lalu menjadi alat penindasan, menjadi nyanyi sunyi bagi kaum tertindas.

Dalam konteks inilah, kiranya umat Islam harus selalu berupaya menggali dasar-dasar dalam doktrin Islam sebagai landasan memecahkan setiap dilema historis-empiris yang terjadi. Dengan cara pembaruan, atau lebih konkritnya upaya interpretasi teks-teks kitab suci, akan menjadikan Islam selalu sesuai selera zaman dan tidak usang tertutupi perkembangan.

Pemikiran Cak Nur ini menjadi jantung dari materi-materi dalam pengkaderan HMI. Ide-idenya, khususnya mengenai jarak lebar antara normativitas wahyu yang kebenarannya absolut dengan historisitas kekhalifahan yang berpangkal pada manusia yang selalu mencari kebenaran adalah tema besar yang akan selalu didiskusikan. 

Di satu sisi, wahyu adalah absolut atau mutlak, tapi manusia punya tantangan untuk membuktikannya dalam alam realitas. Dengan demikian, nilai-nilai esoterik wahyu bisa mengakar dan mengalir dalam keseharian manusia.

Pertemuan dengan berbagai literatur dan khasanah pemikiran Islam inilah yang membuat HMI menjadi begitu menarik. Lembaga ini tak hanya memperkenalkan pada gagasan cendekiawan Muslim tanah air seperti Nurcholish Madjid, Harun Nasution, Kuntowijoyo, Jalaluddin Rakhmat, Dawam Rahardjo, dan Imaduddin Abdurrahman, tapi juga menelisik pemikiran para filosof seperti Al Ghazali, Ibnu Arabi, Ibnu Rusyd, hingga generasi Ali Syari’ati, Fazlur Rahman, dan Qardhawi. 

Para pemikir ini meninggalkan banyak jejak yang tak henti-henti dikaji dalam pengkaderan dan diskusi-diskusi di lingkup organisasi hijau hitam ini.

Pada fase awal, saya hanya mendalami gagasan Cak Nur. Kian lama, saya belajar bahwa HMI bukan hanya Cak Nur, tapi ada juga sejumlah sosok penting lain yang menentukan wajah HMI. Satu nama yang selalu saya kagumi adalah Ahmad Wahib, yang mati muda pada usia 30 tahun. Catatan hariannya, yang kemudian diterbitkan menjadi buku berjudul Pergolakan Pemikiran Islam, menjadi buku wajib yang selalu didiskusikan. 

Ahmad Wahib adalah pemikir otentik yang mengajukan banyak pertanyaan tentang agama dan perilaku orang beragama. Ia terkesan menolak pelembagaan spiritualitas, hingga mendefinisikan dirinya sebagai bukan Islam, bukan Kristen, bukan Hindu, dan juga bukan Budha. Ia ingin menjadi satu kategori yang melingkupi dan mencakupi semuanya. Jika saja Ahmad Wahib tidak mati muda, barangkali ia akan menjadi intelektual di tubuh HMI yang paling cemerlang. Bahkan dalam keadaan mati muda pun, ia tetap cemerlang.

Cak Nur dan Ahmad Wahib hanyalah bagian kecil dari sejumlah pemikir yang mewarnai pemikiran kader HMI. Lembaga ini menjadi tanah gembur yang memelihara spirit intelektualitas. Terdapat banyak nama lain yang menentukan corak dan watak kajian di HMI. Mereka ibarat kompas yang menunjukkan hendak ke mana HMi bergerak. Namun tak semua senior HMI bergerak di dunia pemikiran. Banyak di antaranya ayang berprofesi sebagai politisi, pengusaha, dan juga aktivis. 

Di antara aktivis jebolan HMI yang juga amat pantas diteladani adalah Munir. Beliau adalah mantan Ketua HMI Cabang Malang. Pada masa hidupnya, Munir adalah teladan serta aktivis terdepan dalam penegakan hak asasi manusia (HAM). Ia menjadi sosok penting di balik kekejaman rezim Orde Baru terhadap para aktivis yang di masa itu dihilangkan. Munir mengadvokasi mereka, lalu melancarkan banyak kritikan pada rezim yang dianggapnya jauh dari nilai-nilai keadilan dan penghormatan HAM.

Munir adalah monumen bagi warga HMI yang harus selalu dikenang. Kematiannya yang misterius adalah prasasti terakhir tentang risiko yang harus dihadapi seorang pencari kebenaran dan pembela hak-hak orang banyak. Munir adalah kader HMI terbaik yang mendedikasikan hidupnya untuk berada di jalur aktivis. Dia membumikan normativitas wahyu ke dalam mimpi-mimpi untuk melihat negaranya lebih arif menghadapi masyarakat biasa. Dia seorang hero bagi kemanusiaan.

Makanya, tak bisa dibuat generalisasi terhadap kader HMI saking beragamnya mereka. Seringkali publik hanya melihat satu atau dua kader HMI yang terindikasi korupsi. Padahal, mereka hanyalah satu kepingan dari sedemikian banyak mozaik di tubuh HMI. Lagian, polisi dan jaksa hingga hakim yang memvonis kader itu adalah juga kader HMI. 

Di lembaga ini, tak hanya ada Nurcholish Madjid dan Azyumardi Azra yang mewarnai diskursus Islam di tanah air. Di antara banyak alumni itu, figur yang paling saya banggakan dan kagumi adalah almarhum Munir, mantan Ketua HMI Cabang Malang, yang melegenda. Saya selalu merinding saat mengingat keberaniannya.

Dengan demikian, HMI serupa ruang kolektif yang berisikan banyak orang dengan berbagai karakter. HMI itu ibarat pasar yang mempertemukan banyak orang. Di situ terdapat para filosof, tetapi juga terdapat preman pasar yang setiap hari menantang berkelahi. Di situ terdapat lapis intelektual dan budayawan, tapi terdapat juga barisan orang yang membawa badik dan senjata, serta mudah terbakar emosinya. Dua sisi yang serupa uang koin ini ada di tubuh HMI. Pada setiap momen, keduanya hadir bersamaan.

Bukannya tak ada teguran atau sanksi pada kelompok ini. Lembaga ini bisa mengelola keberagaman menjadi kekuatan. Kalaupun ada ribut-ribut antar kader, maka itu serupa panggung teater di mana mereka hendak mempelihatkan kehebatan. Selesai ribut, kembali damai. Tak pernah ada dendam. Semuanya menjadi sejarah bagi anak-anak muda yang sedang mencari titik pijaknya untuk masa depan. Mereka bisa konflik, tapi dengan cepat bisa berdamai saat menghadapi isu bersama.

Tapi, satu hal yang tak boleh diabaikan. Bahwa pengkaderan lembaga ini telah lama menjadi jantung bagi pergerakan mahasiswa dan melimpahnya kader yang memasuki berbagai lini pergerakan sosial dan intelektualitas. Ada masa bagi seorang kader untuk tumbuh, menyerap makna, lalu memilih satu peran di dinamika kehidupan. Kekuatan perubahan dan intelektualitas itu tetap ada, meskipun sepi dari publikasi.

Bisakah kita membayangkan betapa tersentaknya pemikiran seorang peserta pengkaderan HMI saat dihadapkan pada pencarian pengetahuan dari para filsuf di sekujur peradaban dan sejarah. Para filsuf ini adalah pencari kebenaran yang sesungguh-sesungguhnya. Berlembar-lembar kita telah mereka hasilkan demi menjawab semua rasa ingin tahu manusia tentang agama dan ketuhanan.

Betapa mengasyikkannya mengikuti perjalanan para filsufi dan ilmuwan yang pernah membuat dunia Islam menjadi pusat peradaban di masa Eropa berada dalam kegelapan. Pencarian atas ilmu yang telah membawa kegemilangan ajaran Islam ini menjadi spirit yang hilang bagi generasi masa kini yang perlahan menjadikan barat sebagai rujukan utama. 

Gairah dan rasa lapar atas pengetahuan dan inovasi ini adalah mutiara yang hiang dalam peradaban Islam hari ini disebabkan rasa keterpanaan atas peradaban barat serta sikap inferior yang dirasakan saat melihat diri yang kerdil.

Atas dasar itu pula jika salah satu materi di pengkaderan HMI membahas tentang Islam dan Problematika Umat. Materi ini mendiskusikan betapa jauhnya peradaban telah meesat hingga memasuki abad penjelajahan luar angkasa, abad nuklir yang bisa membumihanguskan peradaban, ataupun abad atom yang telah membawa manusia pada petualangan-petualangan baru. 

Betapa kerdilnya umat Islam hari ini yang hanya bisa terpana, tanpa memberikan wacana tanding dan teknologi yang lebih jauh mengangkasa. Hari ini, kita hanya sibuk dengan pertikaian antar mazhab, saling mengkafirkan, yang ujung-ujungnya hanya untuk memenuhi hasrat kuasa dalam diri masing-masing.

Bagi seorang peserta yang baru saja menjadi mahasiswa baru, wacana-wacana itu menggerakkan nalar dan hasrat untuk mencari tahu lebih banyak. Seusai pengkaderan HMI, saya merasakan sesuatu yang berbeda. Minat baca saya langsung terkerek. Saya lalu berburu berbagai buku-buku demi mendiskusikannya dengan komunitas HMI. Setiap ada undangan diskusi, saya akan hadir dengan niatan untuk berbagi wacana.

Saya mengalami satu rasa lapar pengetahuan yang untuk mengatasinya saya harus mencari banyak buku-buku. Berkat HMI, saya menjadi kolektor buku lalu membacanya. Berkat HMI, saya memelihara banyak pertanyaan-pertanyaan, yang kemudian menjelma menjadi baris-baris pemikiran yang dikirimkan ke beberapa media, termasuk kampus. 

Berkat HMI, saya mengalami pertautan intelektual dengan banyak orang, banyak kalangan, banyak kelompok, serta banyak irisan pergaulan yang semakin memperkaya pengetahuan.

***

PADA banyak sisi, saya bisa paham mengapa HMI sedemikian populer. Saya tak menemukan satu organisasi yang sedemikian cepat merekrut kaum muda dan mengasah mereka menjadi pribadi yang toleran dan inklusif, sebagaimana HMI. Yang dipelajari di setiap pengkaderan HMI adalah perangkat berpikir, filosofi, serta pentingnya ideologi dalam membuat perubahan sosial. 

Dalam berbagai pengkaderan HMI, yang ditekankan adalah pentingnya menalar sesuatu secara mendalam, sebelum akhirnya berjibaku dengan realitas. Tanpa nalar, aksi akan dangkal. Sebaliknya, tanpa aksi, nalar akan kehilangan ketajamannya.

Mustahil untuk tidak menulis nama lembaga ini saat membahas tentang gejolak politik dan kekuatan perubahan bagi kaum muda. Lembaga ini serupa mata air yang berada di setiap rasa haus akan lembaga yang menyiapkan kadernya bagi perubahan.Mereka tersebar di hampir semua penjuru tanah air.

Kekuatan pengkaderan lembaga ini menyebabkan mudahnya kader HMI memasuki semua organisasi kemahasiswaan, lalu menjadi leader di situ. Saya berani memprediksi, dari 10 pemimpin mahasiswa, terdapat 9 di antaranya yang merupakan kader HMI. Barangkali, HMI adalah yang terdepan dalam hal menyiapkan kader secara merata di seluruh Indonesia. HMI bisa ditemukan di semua kabupaten dan kota, hingga level kecamatan. Selagi di satu kota ada kampus, bisa ditebak, pasti ada HMI di situ.

Jejaring dan sel-sel organisasi ini yang tersebar merata hanya bisa ditandingi oleh aparatur negara dan militer di republik yang masih berusia muda ini. Makanya, di banyak daerah, hubungan HMI dan pemerintah selalu pasang surut. Ada saat di mana keduanya bertemu dalam satu bingkai, akan tetapi banyak pula saat ketika mereka berseteru. 

Sepanjang sejarahnya, banyak kader lahir dan lalu mewarnai dinamika sejarah bangsa ini. Lewat dinamika dan tarik-menarik itu, seorang anak muda belajar menemukan warna dan titik pijaknya, untuk selanjutnya memilih hendak berada di barisan mana.

Saya mengikuti basic training HMI pada momen yang sangat krusial. Pada masa itu, kekuasaan Orde Baru belum lama tumbang. Orde Baru menjadi ikon dari praktik pemerintahan yang otoriter dan hanya memberi ruang kroni dan kepentingan pihak tertentu. Orde Baru menjadi penanda yang selalu dimaki oleh mahasiswa dalam berbagai momen demonstrasi. Orde Baru identik dengan nilai yang terlanjur dianggap merasuki berbagai elemen organisasi.

Sejarah mencatat bahwa HMI adalah lembaga yang menjadi pelopor dari kelahiran Orde Baru. HMI memiliki andil sejarah dari kian kokohnya rezim Orde Baru melalui keberadaan alumninya yang memenuhi semua jenjang pemerintahan. Lembaga ini menjadi penopang sekaligus mata air yang menghasilkan banyak kader yang kemudian menopang Orde Baru. 

Sejarah mencatat bahwa pada periode awal Orde Baru, lembaga ini mengawal Pancasila yang merupaan konsekuensi dari aksi-aksi kadernya saat melawan anasir Partai Komunis Indonesia (PKI) yang banyak merekrut mahasiswa. 

Namun, sejarah juga mencatat kesaksian yang mengejutkan di ujung kekuasaan Orde Baru, Rezim itu akhirnya tumbang setelah mahasiswa dan berbagai kekuatan ssial politik turun ke jalan dan berdemonstrasi. Ambruknya rezim itu dianggap sebagai ambruknya berbagai organisasi lain yang dianggap identik dengan rezim itu.

Kader-kader HMI justru menjadi sosok terdepan dalam aksi-aksi yang meruntuhkan Orde Baru, yang arsitek awalnya adalah kader HMI juga. Generasi muda HMI di masa itu berani memutus rangkaian ketergantungan kepada senior. Mereka berani menyatakan sikap untuk mengikuti wacana dan dinamika sosial yang tengah marak, lalu tiba pada dikap menolak segala hal yang dicap sebagai warisan buruk dari rezim sebelumnya.

Keberanian mengambil sikap berbeda dari senior ini bisa dikatakan sebagai ciri dari HMI. Penyikapan selalu ditentukan oleh spirit yang dibawa setiap generasi pada setiap zaman. Dalam konteks HMI, kita bisa mengatakan bahwa semangat zaman yang merasuki anak-anak muda di masa itu jelas berbeda dengan semangat yang mengghinggapi para seniornya yang telah mapan di kekuasaan. Pada satu persimpangan, kedua belah pihak berbenturan, tapi tetap saling menghormati pilihan politik masing-masing. 

Sejarawan Agussalim Sitompul menyebut fase-fase historiografi HMI. Ia menggambarkan terdapat enam fase penting yang menjadi tahapan sejarah. Pertama, fase pengokohan, yang periodenya dimulai dari 5 Februari 1947 – 30 November 1947, yakni ketika HMI hadir dan memperoleh reaksi dari berbagai pihak, yang kemudian teratasi dengan baik. Kedua, fase perjuangan bersenjata, 1947 – 1949. Ketiga, fase pertumbuhan dan pembangunan HMI, 1950 – 1963. Keempat, fase tantangan, 1964-1965. Kelima, fase kebangkitan HMI sebagai pelopor Orde Baru dan angkatan 1966. Keenam, fase pembangunan, 1969 – 1970. 

Periodisasi sejarah yang dibuat Sitompul ini berujung pada sikap HMI yang kemudian menjadi pelindung Pancasila, lalu menopang kokohnya kekuasaan Orde Baru. Jika periodisasi sejarah yang dibuat Agussalim Sitompul ini hendak dilengkapi, maka beberapa periode penting pada masa Orde Baru mesti ditambahkan. 

Yang bisa dicatat sebagai momen penting adalah periode ketika HMI mengalami dualisme akibat tidak ditemukannya konsensus atas perbedaan ideologi yang semakin meruncing, yang kemudian melahirkan HMI MPO dan HMI Dipo. Selanjutnya adalah momen reformasi, ketika semua lembaga kemahasiswaan berhadapan dengan rezim dan menentukan posisi politiknya.

Saya menganggap periode reformasi adalah periode penting yang belum banyak dijelaskan oleh para pengkaji sejarah HMI. Periode ini menjadi noktah sejarah yang hilang, yang paling sering luput dari setiap pembahasan HMI. Padahal di momen sejarah reformasi, berbagai persilangan pendapat muncul, pertarungan ideologi mencuat kembali. Bahkan tatanan negara dan kebangsaan hendak direkonstruksi ulang. Periode ini adalah periode transisi yang penting untuk memahami bagaimana dinamika organisasi. Dinamika tersebut membawa kita pada sejumlah pertanyaan mendasar:

Bagaimanakah menjelaskan dinamika internal kader-kader HMI pada rezim Soeharto yang di saat bersamaan justru menarik garis tegas dengan beberaoa seniornya yang justru menjadi penyokong Orde Baru? Bagaimana memahami reproduksi intelektual kader-kader HMI yang meramaikan proses diskursif yang terjadi pada masa itu? Bagaimanakah memahami dinamika kader HMI seiring dengan konteks dan dinamika politik yang terus berubah?

Lahirnya HMI Cabang Makassar Timur

TAK puas dengan sekadar mengikuti basic training, saya pun mengikuti Intermediate Training HMI demi menyelami organisasi ini lebih mendalam. Berbeda dengan basic training, pada fase intermediate, seorang kader HMI sudah pada tahapan reproduksi pengetahuan. Seorang peserta dituntut untuk melahirkan ide-ide baru yang merupakan sintesis dari berbagai bahan bacaan yang dikonsumsinya.

Reproduksi gagasan ini bukan perkara mudah bagi seorang kader yang terbiasa mengulang-ngulang hafalan dari bacaan yang tidak seberapa banyak. Biarpun tidak mudah, reproduksi ini menjadi penting dalam perjalanan seorang kader. Akan tiba masanya di mana dia harus menciptakan jurus sendiri yang merupakan refleksi dari apa yang dipelajari dan disaksikan di sekitarnya.

Saya dan kawan selalu mengistilahkan lepasan basic training sebagai “sabuk putih” yang masih mencari bentuk. Ibarat seorang karateka, sabuk putih adalah mereka yang sedang belajar dari nol, lalu mempraktikan semua jurus-jurus yang dipelajarinya secara presisi. 

Di organisasi, para sabuk putih akan rajin menyebut berbagai tokoh atau filosof demi memperkuat ide yang hendak disampaikannya. Seiring waktu, ia akan mengolah berbagai bacaan dan pengalaman itu menjadi satu gagasan yang orisinil. Fase ini jelas tidak mudah, dan tak semua kader HMI bisa melakukan reproduksi intelektual sebagaimana dahulu dilakukan Cak Nur dan beberapa pemikir lainnya.

Demi menjaga reproduksi pengetahuan ini, saya bergabung dengan beberapa kawan di berbagai forum diskusi. Ruang-ruang diskusi antar fakultas mulai terbangun. Kami sering pindah-pindah fakultas demi menemukan sumber pengetahuan untuk kami selami. Masa-masa ini adalah masa paling indah di dunia kemahasiswaan.

Kian matangnya masa bermahasiswa membuat kami mulai membumikan pengetahuan itu dalam menyusun skema dan rencana organisasi yang lebih baik di masa mendatang. Kami harus menerjemahkan normativitas wahyu dalam proses negosiasi dan dialog dengan berbagai kepentingan lain di HMI. Saya pun ikut terlibat dalam beberapa kegiatan yang diadakan oleh pengurus komisariat dan cabang. Hingga akhirnya, saya menjadi saksi dari banyak momen politik berupa pemilihan ketua cabang, badko, hingga Ketua Umum PB HMI. 

Di sinilah saya menemukan wajah lain HMI. Rupanya lembaga ini tak hanya punya dimensi intelektual, tapi juga dimensi organsiasi dan juga dimensi politik. Memang, organisasi ini menjadi ruang inklusif yang mempertemukan banyak orang. 

Memang, di organisasi ini tak hanya berisikan barisan para filsuf yang setiap saat memikirkan umat dan bangsa, tapi juga terdapat para politisi, pebisnis, orang biasa, hingga sejumlah kader yang bertingkah seperti preman. Saat lembaga ini menggelar aksi, kekuatan itu tak selalu menyatu menjadi barisan yang militan. Bahkan di saat tidak sedang menggelar aksi, friksi antar kelompok sering muncul.

Ada beberapa hal yang menjadi virus bagi lembaga ini. Dalam berbagai momen politik pemilihan ketua cabang, yang saya saksikan adalah konflik terbuka yang muncul dari kubu-kubuan. Substansi keislaman yang diajarkan Cak Nur sebegai semesta yang bisa melingkupi semua hal tidak lagi menjadi kompas untuk menyatukan pergerakan. 

Warga HMI sangat menggandrungi momen-momen pemilihan ketua cabang. Mereka bisa menghabiskan banyak energi untuk ajang pemilihan tersebut. Mereka akan sibuk berkonsolidasi lalu berkubu-kubuan. Satu lagi, kader HMI seringkali tidak independen. Banyak di antara mereka yang suka membawa proposal ke mana-mana. Saya mendengar beberapa kisah-kisah ketidaknyamanan dari beberapa senior.

Di tambah lagi, beberapa senior HMI tidak menunjukkan kearifan sebagaimana seorang senior. Di setiap momen politik, tema-tema yang sering terdengar adalah persekongkolan senior dan junior untuk kepentingan tertentu. Kesemua realitas ini semakin membawa kita pada satu muara tentang betapa organisasi ini sejak lama telah menjadi kendaraan para politisi. 

Dalam pandangan saya, masa ber-Hmi yang terindah adalah masa-masa di komisariat. Semakin ke atas strukturnya maka semakin politis. Bukan berarti saya anti pada politik, namun saya menginginkan agar semua kegiatan tak bisa lepas dari diskusi tentang historisitas manusia sebagaimana sering dibahas di level pengkaderan awal.

Dinamika politik ini tak hanya muncul di level komisariat, melainkan juga ditemukan di level yang lebih tinggi, mulai dari cabang, badan koordinasi (badko), hingga musyawarah nasional. Di semua ajang itu, dinamika politik dan pergesekan menjadi sedemikian tinggi. Begitu momen perhelatan politik di tubuh HMI usai, kader-kader HMI lalu berpindah ke momen politik lokal hingga politik nasional. Di tahun 2000-an, wacana desentralisasi tengah marak. 

Pada saat itu, lembaga kemahasiswaan Unhas bafu saja berdiri dan getol mewacanakan direct election, yang merupakan cikal bakal dari gagasan pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada). Ide ini dianggap sebagai jalan keluar dari model pemilihan kepala daerah yang di masa Orde Baru dipilih oleh anggota parlemen.

Sistem politik berubah menjadi lebih terbuka. Para politisi lalu membutuhkan banyak tim kerja yang bisa menghubungkan mereka dengan masyarakat luas. Peran seorang kader HMI menjadi strategis sebagai tim sukses yang memasuki berbagai kantong basis demi mengampanyekan seornag politisi. Di titik ini muncul simbiosis mutualisme. 

Seorang politisi dan kader HMI saling memberikan keuntungan. Politisi terbantu dengan kader HMI yang turun ke basis, sementara kader HMI sendiri menganggap momen itu sebagai momen belajar untuk selanjutnya memasuki arena politik. Nampaknya, gerbong-gerbong politik ini harus terus dirawat dan siap menjalankan berbagai misi politik. Arenanya boleh berbeda, tetapi para pemain dan pelakunya selalu sama

Realitas ini menggelisahkan banyak kader HMI di kampus Unhas yang justru ingin menjauh dari perhelatan politik lokal dan nasional. Ada idealisme yang muncul pasca-reformasi bahwa lembaga kampus harus menjadi mata air intelektualitas yang bisa mengubah semua praktik politik menjadi lebihberadab. Jalan ke arah itu harus dibangun melalui jalur intelektual serta penguatan wacana.

Di tahun 2000, diskusi tentang arah reposisi HMI terus mencuat. Banyak kader yang berpikir bahwa perubahan hanya bisa dilakukan ketika mendirikan satu lembaga baru yang punya visi kuat dalam menyiapkan smeua kader-kadernya. HMI Cabang Ujungpandang dianggap sudah tidak memadai untuk membumikan beberapa visi dan hasil kajian. Dibutuhkan satu lembaga baru yang dianggap bisa memadai dan bisa merepesentasikan kebutuhan mahasiswa di seputaran Tamalanrea. 

Beberapa kader HMI mengutip gagasan dari Peter L Berger tentang konstruksi sosial atas kenyataan. Asumsinya adalah semua realitas sosial ditafsirkan sebagai proses ssial yang terbentuk melalui tindakan dan interaksi di mana individu atau sekelompok individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. Individu dipanang sebagai pembentuk realitas sosial.

Menurut Berger, realitas sosial terbetuk secara dialektis melalui tiga tahapan. Pertama, eksternalisasi, yakni tahapan ketika manusia mengekspresikan pengalamannya keluar demi membentuk satu masyarakat. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai produk manusia (society is a human product). 

Kedua, obyektivasi, yakni hasil dari proses sebelumnya berupa realitas obyektif atas satu masyarakat,  yang merupakan proses interaksi sosial dalam dunia intersubyektif yang dilembagakan. Ketiga, internalisasi, berupa penyerapan kembali realitas obyektif ke dalam diri seseorang, Realitas itu lalu dimaknai kembali sehingga bisa dikatakan bahwa “a man is a social product” manusia adalah produk masyarakat.

Mengacu pada pandangan Berger, pembentukan satu lembaga baru bernama HMI Cabang Ujungpandang dianggap sebagai awal untuk menyusun kembali tatanan kelebagaan HMI yang merupakan hasi dari proses eksternalisasi atas kondisi dan persoalan yang dihadapi, kemudian dilembagakan dalam satu struktur obyektif bernama aturan dan nilai-nilai bersama, yang diharapkan bisa mengiternalisasi dalam diri setiap kader HMI yang hendak masuk dalam sistem sosial itu. Dengan demikian, siapapun yang memasuki organisasi ini akan beradaptasi dengan kultur baru yang terbentuk.

Saya pun menjadi bagian dari generasi yang mewacanakan berdirinya HMI Cabang Tamalanrea. Dalam banyak kesempatan, kami selalu berkata bahwa pertimbangan kami sederhana. HMI Cabang Ujungpandang menjadi cabang yang terlampau besar sehingga tidak mampu lagi menampung dinamika dan gairah kader yang juga besar. 

Jumlah kader HMI lebih seribu orang. Setiap momen pemilihan ketua baru, selalu terjadi dinamika dan kubu-kubuan yang mengarah ke konflik di ruang sidang. Inspirasi lahirnya HMI Cabang Tamalanrea juga muncul saat mendengar berdirinya HMI Cabang Bulaksumur yang menjadi wadah bagi kader HMI di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Memang, ada tuduhan kalau ikhtiar pendirian cabang itu dipengaruhi oleh kalahnya beberapa kader HMI Komsiariat Unhas di ajang pemilihan di level cabang ataupun badko. Tapi saya rasa alasan utama saat itu adalah realitas HMI yang selalu menjadi arena yang identik dengan kekerasan dan adu kuat otot. 

Makanya, lembaga itu hanya heboh saat sedang ada momen politik berupa pemilihan ketua, namun agenda pengkaderan dan kebangsaan malah tak banyak terdengar. Kami sadar bahwa lembaga HMI Ujungpandang terlampau besar untuk menampung keseluruhan kader yang tersebar di berbagai lembaga pendidikan.

Munculnya ide kelahiran cabang baru dianggap bisa membuka banyak ruang bagi kader HMI. Gagasan ini juga akan menguntungkan HMI Cabang Ujungpandang yang saat itu ibarat gajah tambun yang sarat dnegan anggota, namun minim ruang-ruang untuk mengolah potensi anggotanya menjadi kekuatan besar. Seiring dengan munculnya wacana HMI Cabang Tamalanrea, muncul pula wacana pendirian HMI Cabang Gowa Raya. Saat didirikan, HMI Cabang Ujungpandang lalu pecah menjadi tiga cabang.

Pada muktamar yang mengesahkan pendirian itu, nama yang disepakati adalah HMI Cabang Makassar Timur, bukannya Cabang Tamalanrea ataupun Cabang Maros. Pertimbangannya sederhana. Posisi kebanyakan kader berada di sebelah timur kota Makassar. Tak lama setelah pendirian itu, nama Makassar Timur menjadi populer. Bahkan pihak kepolisian pun mendirikan Polresta Makassar Timur. 

Di kalangan warga HMI, terdapat beberapa guyonan. Ada di antara kawan yang memplesetkan cabang baru itu dengan nama cabang Mati (sebagai singkatan dari Makassar Timur). Tapi ada juga yang lebih suka menyebutnya cabang Makmur. 

Apapun itu, wacana pendirian cabang dianggap sebagai awal dari era baru yang penuh dengan optimisme. Kader HMI tumbuh dalam jumlah besar sehingga membutuhkan ruang-ruang baru untuk beraktualisasi. Ketua HMI Cabang Makassar Timur yang pertama adalah Andri Morteza, yang di masa itu menjadi simbol intelektualitas di kampus Unhas. 

Terpilihnya Andri sebagai ketua cabang adalah pilihan terbaik pada sat itu. Sosok Andri Morteza dianggap bisa merangkum semua kekuatan-kekuatan kultural yakni semua lembaga dan forum kajian di kampus Unhas. Andri punya reputasi mendirikan serta menjadi pemateri di banyak forum kajian. Ia juga menginisasi beberapa kelompok yang lalu menyediakan dapur ide bagi lahirnya aksi-aksi demonstrasi mahasiswa.

Berdirinya cabang baru adalah berseminya semangat baru. Pengurus cabang tidak hanya berasal dari kampus Unhas, tapi juga semua kampus-kampus di lingkup Tamalanrea. Beberapa inovasi coba ditawarkan. Misalnya membuat satu bidang di kepengurusan yang khusus mengurusi advokasi dan kajian wacana. Tak cuma itu, beberapa materi baru diperkenalkan di pengkaderan, di antaranya adalah perangkat Analisis Wacana Kritis dan Kritik Ideologi.

Keberadaan kelompok kajian atau forum studi ini bisa dikatakan sebagai prasyarat material bagi terbentuknya cabang yang baru. Kelompok diskusi ini hadir di mana-mana, dan memiliki nama yang berbeda-beda. Seorang kawan pernah mendata jumlah kelompok kajian hingga lebih 246. 

Jika satu kelompok beranggotakan sepuluh orang, bisa dibayangkan berapa jumlah anggota kelompok studi di kampus Unhas. Di antara kelompok studi ini sering terjadi interaksi pemikiran serta saling tukar-menukar gagasan. Keberadaan mereka membuat Tamalanrea menjadi segar dengan gagasan-gagasan baru.

Hadirnya berbagai kelompok diskusi ini bisa dilihat sebagai respon atas maraknya kekerasan di dalam kampus. Pada masa itu, iklim kegiatan kemahasiswaan sering diwarnai oleh tawuran antar kelompok. Kegiatan mahasiswa dikuasai oleh kelompok yang melestarikan aksi premanisme sehingga lembaga kemahasiswaan sering dalam posisi tidak berdaya. 

Hampir di semua fakultas, mahasiswa tidak malu-malu menampilkan aksi minum miras dan kekerasan, bahkan di saat kuliah sedang berlangsung.

Respon dari warga HMI saat itu adalah menghadapi mereka melalui cara-cara kultural. Bentuknya adalah membangun kelompok studi yang kerap melakukan kajian di banyak koridor kampus. Jika sebelumnya diskusi hanya dilakukan di satu ruang diskusi, yang seringkali bisa dengan mudahnya dibatalkan petinggi fakultas dengan cara tidak memberikan izin, maka diskusi koridor justru tak membutuhkan ruangan. Yang dibutuhkan hanyalah selembar karpet, papan tulis, serta pemateri dan peserta diskusi.

Saya merasakan dinamika dan respon kultural dari berbagai kelompok studi ini. Hampir di semua fakultas kita bisa menemukan agenda diskusi yang bisa dilakukan di koridor, sudut ruangan, di bawah pohon, sudut mushalla, hingga seringkali di kantin mahasiswa. 

Para pemateri duduk bersama peserta demi membahas berbagai hal aktual,dengan topik-topik yang disukai para mahasiswa. Pengetahuan diretas mejadi sesuatu yang inklusif. Siapapun yang melintas bisa langsung bergabung dan berbagi gagasan. 

Harus diakui, wacana yang diangkat di berbagai forum kajian-kajian ini melampaui wacana yang dipelajari di dalam kampus sendiri. Mengacu pada kajian Hilmar Farid (1999), dekade masa Orde Baru, beberapa perangkat analisis konflik justru hilang dalam ilmu sosial dan ekonomi di kampus yang lebih banyak membahas modernisasi dengan segala aspeknya. 

Ketika kampus malah menumpulkan beberapa piranti analisis kritis, forum-forum studi dengan segera menjadi wadah untuk menemukan ilmu sosial dan ekonomi yang kritis, yang saat itu paling tepat untuk memahami keindonesiaan yang sedang bergejolak.

Posisi Andri sebaga ketua pertama menjadi strategis sebab bisa diterima di tataran pengurus lembaga struktural, dalam hal ini lembaga kemahasiswaan. Andri dianggap representasi dari banyaknya kelompok kajian yang bertumbuhan di mana-mana. Pilihan terhadap Andri juga menjadi strategi untuk posisi berpijak cabang baru ini di masa depan, yakni ditopang oleh lembaga kemahasiswaan internal kampus.

Dikarenakan semuanya masih serba baru, ada semacam rasa gamang melanda kader HMI yang seolah tak tahu bagaimana megelola satu organisasi baru. Biarpun wacana yang dibahas cukup melangit, kader HMI Cabang Makassar Timur malah kesulitan berpijak membumikan organisasi itu. Kami serba gagap dalam menangani hal-hal sederhana. 

Bahkan sekretariat HMI harus menumpang di rumah seorang kawan. Kami sering berseloroh bahwa kesekretariatan HMI ada di tas milik kawan kami yang membawa semua stempel dan persuratan.

Biarpun administrasi cabang masih dalam pembenahan, bukan berarti HMI lantas karam dan tak bisa berbuat apapun. Beberapa strategi diluncurkan demi tetap menjaga api semangat para kader.

Pertama, membangun tradisi baru untuk menggantikan tradisi usang HMI yang selalu menghamba pada para senior. Yang dilakukan adalah melakukan pemutusan generasi, dengan cara tidak ikut merapat ke sejumlah senior, yang di masa itu dikhawatirkan bisa membawa aroma politik praktis ke level cabang. Ini adalah pilihan yang paling sulit dilakukan saat itu.

Hal paling krusial dan cukup mengganggu adalah terputusnya jejaring dengan senior HMI yang menganggap gagasan pendirian cabang itu sebagai hal yang keliru dan memutus sejarah HMI di kampus Unhas. Bisa dimaklumi sebab para senior adalah pentolan HMI Cabang Ujungpandang, yang mengalami romantisme sekretariat HMI di Jalan Bottolempangang. 

Tak banyak yang bersedia mengulurkan tangan untuk membantu cabang yang masih serupa bayi mungil itu. Bukan rahasia lagi kalau kader HMI tidak bisa mandiri sebab sangat tergantung kepada seniornya. Untuk menggelar basic training pun, kader HMI harus ke sana-sini meminta uluran dana.

Minimnya dukungan dari para senior ini menjadi pelecut bagi semangat kader. Kami menyadari bahwa tantangan ini harus dihadapi dan dimenangkan. Kami sama-sama punya komitmen untuk lebih mandiri dan menjadikan lembaga baru ini lebih eksis posisinya di ranah ke-HMI-an. Kami berkomitmen untuk memperkuat ranah intelektual, sesuatu yang di masa itu nyaris hilang. 

Kedua, membangun berbagai forum studi yang diharapkan menjadi mata air yang menggerakkan semangat berorganisasi HMI. Langkah ini terbilang efektif. Dekade awal 2000 adalah masa-masa emas bagi pertumbuhan kelompok studi di seluruh fakultas di lingkup Unhas. Hampir di semua fakultas berdiri berbagai kelompok studi yang meramaikan semua wacana.

Posisi HMI Cabang Makassar Timur adalah menjadi dirijen atau pengendali dari berbagai forum diskusi. Pihak cabang menyuplai para pemateri ke berbagai fakultas, yang lalu menjamin adanya lalu-lintas pengetahuan, yang diharapkan bisa memperkaya pengetahuan seorang kader HI.

Saya mengalami periode ketika kader HMI diharapkan bsia menjadi mata air kajian di seluruh wiayah kampus. Hapir setiap hari ada diskusi koridor yang memperhadapkan kader HMI dengan berbagai organisasi ekstra kampus. Harus diakui, HMI adalah organsiasi yang paling dinamis dan paling cepat dalam merespon munculnya berbagai wacana yang memperkaya kajian.

Ketiga, berusaha merebut semua kepemimpinan di lembaga kemahasiswaan formal demi membuka ruang bagi tumbuhnya HMI di semua fakultas. Dengan menjadi pmpinan lembaga kemahasiswaan di tingkat fakultas, HMI punya kesempatan besar untuk menjadi etalase keteladanan yang bisa memikat mahasiswa lain untuk menceburkan diri di tubuh organsiasi ini lalu mengikuti semua jenjang pengkaderan.

Strategi ini adalah memperkuat relasi dengan lembaga struktural, dalam hal ini lembaga kemahasiswan di tingkat fakultas dan jurusan. Pergerakan HMI ditopang oleh dua sisi yakni topangan lembaga struktural serta dukungan wacana dan gagasan dari kekuatan kultural yakni forum kajian. Forum diskusi mengalirkan oksigen yang lalu memperpanjang napas semua lembaga kemahasiswaan. 

Simbiosis keduanya adalah simbiosis mutualisme. Forum diskusi membutuhkan lembaga kemahasiswaan sebagai wadah untuk bergerak yang menyediakan fasilitas bagi diskusi, sementara lembaga kemahasiswaan membutuhkan forum kajian untuk meramaikan wacana serta mengajarkan militansi kepada mahasiswa. Tak hanya itu, demonstrasi mahasiswa rata-rata demonstrasi mahasiswa digerakkan oleh sinergi antara struktural dan kultural ini. 

Bersama pengurus cabang, kami pernah menggelar aksi demonstrasi yang menuntut revolusi kampus. Di sinilah terlihat kolaborasi dua aras pergerakan mahasiswa ini. Forum studi merumuskan ide-ide yang akan menjadi substansi ataupun tuntutan aksi. 

Sementara senat mahasiswa enjadi wadah bagi mahasiswa untuk bergerak. Dalam praktiknya, lembaga strultural dan kelompk studi beranggotakan orang-orang yang sama. Seorang anggota forum kajian adalah bagian juga dari Senat Mahasiswa. 

Jika ditelaah lebih seksama, sinergi antara struktural dan kultural ini boleh jadi dipengaruhi pemikiran Antonio Gramsci (189101937) yang melihat dinamika antara negara dan masyarakat sipil (civil society) yang berada dalam posisi seimbang. Negara melayani dan mengatur masyarakat sipil. Sebaliknya, masyaraat sipil menguatkan negara melalui masukan dan kritikan konstruktif.

Keempat, reproduksi intelektualitas HMI melalui berbagai kanal media, yakni koran kampus radio kampus, pamflet, majalah dinding, hingga berbagai media lokal dan nasional. Reproduksi intelektualitas ini dilakukan sebagai imbas dari diskusi-diskusi yang intens di level komsiariat dan forum kajian. Reproduksi ini bertujuan agar semua kader memahami wacana yang sedang dibahas, demi untuk membahasnya dari berbagai perspektif.

Reproduksi intelektualitas ini dilakukan untuk menghindari tudingan kalau seorang kader HMI hanya berumah di atas angin, tanpa mendialogkannya dengan banyak pihak. Reproduksi intelektualitas ini memungkinkan seorang kader diterima di semua organisasi dan lembaga kemahasiswaan. Reproduksi intelektualitas itu dilakukan melalu banyak cara. Dia nataranya adalah melalui menulis di media massa. 

Saya masih mengenang kalau di masa itu perdebatan opini di koran kampus didominasi oleh kader HMI. Perdebatan itu merangkum beberapa topik, mulai dari tema Islam, filsafat, ataupun teori sosial. Walaupun saat berpolemik di media kampus, kader tidak mencantumkan HMI, semua orang tahu kalau yang sedang berdebat adalah kader HMI. Perdebatan itu menjadi ajang untuk menunjukkan sejauh mana kemajuan wacana dan intelektualitas anak HMI.

Kelima, melakukan penguatan wacana di basic training. Selain menguatkan wacana Nilai Identitas Kader (NIK) dan Nilai Dasar Perjuangan (NDP), cabang yang baru ini juga melakukan sintesis dengan wcaana-wacana sosial yang muncul. Di antaranya adalah membuat beberapa materi suplemen yang lalu digunakan sebagai perangkat analisis untuk memperkuat pemahaman peserta basic training. 

Pengkaderan HMI tak hanya mengajarkan filosofi ilmu pengetahuan, tapi juga memberikan dasar-dasar metodologis untuk melakukan aksi. Mahasiswa diperkenalkan dengan para filsuf seperti Plato, Ibnu Sina, dan Aristoteles, tapi juga diperkenalkan dengan para nabi-nabi metodologi, mulai dari Marx, Gramsci, dan pemikir aliran kiri baru. 

HMI lalu menjadi awal yang menyiapkan intelektual kampus, sebelum akhirnya tersebar ke berbagai organisasi, baik kiri maupun kanan. Di kampus-kampus, HMI bertransformasi menjadi kekuatan intelektual baru yang menjadi partner cerdas dari petinggi kampus dan semu lembaga kemahasiswaan formal.

Dalam catatan saya, masalah utama yang dihadapi kader HMI adalah bagaimana memastikan semua rencana itu terlaksana. Seorang kawan sering mengolok kader HMi yang disebutnya merancang demonstrasi sejak lepas salah isha hingga saat salat subuh. Namun saat demonstrasi harus dimulai, tak ada satupun kader yang menampakkan wajahnya dikarenakan sedang tidur. 

Mungkin inilah dinamika pengkaderan. Banyak rencana, banyak pula eksekusi. Banyak pula yang tidak terrealisasi. Di situ terletak historisitas seorang kader HMI yang kelak akan meninggalkan kampus untuk berkiprah pada forum dan arena yang lebih luas. 

Pada setiap fase itu, pengetahuan yang didapat dari pengkaderan akan menjadi cahaya terang baginya untuk melihat Islam yang serupa telaga bisa mengatasi semua dahaga manusia, serta bisa merencanakan segala hal baik, yang disebut Cak Nur, sebagai esensi dari ajaran Islam.

Demikianlah senarai ide dan tindakan yang dilakukan HMI Makassar Timur pada periode awal. Saya tak menyangka bahwa lembaga ini masih tetap eksis dan kian berkembang. Beberapa tahun berikutnya, lembaga yang seusia bayi ini justru bisa mendorong kadernya Eka Sastra sebagai salah seorang calon Ketua Umum PB HMI. 

Meskipun saat itu Eka tidak terpilih, bisa berada pada posisi dua besar pemilihan adalah satu kemajuan besar yang bisa dicapai dalam kondisi cabang yang penuh keterbatasan. Hingga akhirnya, seorang kader HMI Cabang Maktim yakni Arief Rosyid terpilih menjadi Ketua Umum PB HMI. Dari sisi organisasi, cabang baru ini telah melakukan lompatan besar yang menjadi kontribusi untuk mewarnai wacana keislaman di Indonesia.

Kini, kader HMI Cabang Makassar Timur tersebar di mana-mana. Mereka mulai menempati posisi penting republik ini. Ada yang sukses menjadi anggota DPR RI, ada juga yang fokus di ranah intelektual dan kebudayaan. Ada pula yang berumah di perbatasan Indonesia lalu membangun diskursus di sana. Ada pula yang memilih menjadi pendekar hukum demi mengikuti jejak Munir. 

Ada yang menjadi akademisi dengan reputasi internasional. Bahkan ada pula yang menjadi pendamping desa dan memastikan kesejahteraan warga desa itu. Kesemuanya tetaplah sahabat yang saling menguatkan di banyak lini. Kesemuanya tetaplah satu sebagai warga HMI Maktim yang sama-sama meniti karoer dari nol dan akan bekerjasama untuk membesarkan marwah organisasi ini.

Biarpun keanggotaan HMI hanyalah dua tahun setelah lulus kuliah, bagi saya keanggotaan di Makassar Timur haruslah seumur hidup. Jejaring dan pertautan emosi dan intelektual di lembaga ini haruslah tetap kontinyu dan berkesinambungan. Semua pihak harus menyadari bahwa keanggotaan HMI serupa jejaring yang selalu terhubung dan akan saling memberi nutrisi bagi jejaring sosial yang sehat dan menyehatkan.

Di manapun kader HMI Makassar Timur berada, apapun profesinya, spirit HMI haruslah tetap menjadi denyut nadi dan memberi kehidupan. Pada titik ini, seorang kader HMi mesti menjadi lahan subur yang selalu memberi kehidupan bagi bersemainya tunas dan pohon gagasan sehingga kelak akan menjadi pohon karakter yang kukuh, yang akarnya menghujam ke dalam bumi, lalu dahan dan rantingnya akan menangkau mega-mega pengetahuan dan kebijaksanaan.

***

BUKU berjudul Dari Tamalanrea untuk Indonesia ini berisikan rangkuman pemikiran warga HMI Cabang Makassar Timur. Buku ini diniatkan sebagai ruang dialektis, di mana seorang warga HMI bisa menyampaikan gagasan, lalu mendialogkannya dengan khalayak lebih luas.

Niat utama kehadiran buku ini adalah mengabadikan semua gagasan-gagasan. Jika selama ini, dialektika itu berlangsung tertutup di ruang-ruang pengkaderan, kini gagasan itu berlangsung dalam teks-teks yang bisa dibaca banyak kalangan luas. Yang hendak ditekankan dari sini adalah gagasan tak harus tersimpan dalam ruang terbatas, melainkan harus dibaca dan didiskusikan dalam banyak kesempatan.

Penyusunan buku ini bermula dari cita-cita saat pertama mendirikan HMI Cabang Makassar Timur. Cita-cita itu adalah membangun tradisi intelektualitas, yang diharapkan bisa dibumikan seluruh kadernya. Seiring perjalanan waktu, cita-cita tersebut selalu dikuatkan dalam berbagai jenjang pengkaderan. Hasrat untuk membangun landasan intelektual yang kokoh itu semakin bersemi seiring dengan semakin banyaknya kader HMI Makassar Timur yang berkiprah di berbagai lapangan kehidupan.

Mimpi terbesar warga HMI Makassar Timur adalah melahirkan satu mazhab berpikir sendiri yang diharapkan bisa menjadi ciri atau pembeda. Dalam perjalanannya, disadari kalau melahirkan mazhab berpikir itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan satu proses akademis, serta atmosfer yang memadai berbasis riset untuk melahirkan gagasan berpikir yang benar-benar orisinil.

Tentu saja, tak ada yang salah dengan cita-cita setinggi langit. Meskipun gagasan itu masih ‘jauh panggang dari api’, hasrat untuk mewujudkannya harus tetap dikerek tinggi-tinggi sehingga bisa menjadi cita-cita ideal yang menjadi ruh bagi organisasi. Di atas landasan ideal itu, proses pengkaderan, diskusi intelektual, serta penguatan gagasan harus terus dilakukan, meskipun seorang kader telah berkiprah di luar HMI. Meskipun alumni HMI Cabang Makassar Timur telah melalanglbuana ke mana-mana, rumah gagasan yang merupakan output dari cita-cita tentang lahirnya Mazhab Tamalanrea itu haruslah tetap dibangun.

Satu hal yang disayangkan adalah hingga kini belum ada satu produk intelektual yang bisa menyatukan berbagai serpih pemikiran yang tersebar di mana-mana. Belum ada satu benang merah yang bisa merefleksikan sejauh mana capaian kader HMI Makassar Timur pada satu masa. Harusnya, ada satu media yang bisa menampung seluruh percikan pemikiran seorang kader, refleksi yang lahir dari dialog antara teori dan praktik lapangan, ataupun telaah-telaah filosofis yang muncul dari perbenturan antara ide dan realitas.

Buku ini ibarat benang merah yang bertujuan untuk menyatukan serpih pemikiran yang berserakan. Walaupun niat awalnya sederhana, terdapat harapan besar agar gagasan-gagasan tersebut bisa terus berkembang. Buku ini hendak merawat persamaian gagasan, menjadi tanah gembur untuk menghidupkan semua tanaman ide, kelak diharapkan akan menjadi satu pohon ilmu pengetahuan yang daun-daunnya bisa menjadi tempat bernaung.

Sebagaimana halnya proses di HMI yang hendak menguatkan kader, buku ini pun bertujuan untuk menyempurnakan perjalanan pemikiran seorang kader. Ada masa belajar dan melahap berbagai pemikiran, lalu ada pula masa mensintesiskan berbagai pemikiran itu dengan realitas lapangan. Kerja-kerja intelektual seperti ini mengubah sesuatu yang mustahil menjadi nyata. Boleh jadi, buku ini benar-benar menjadi awal dari persilagan gagasan yang kian intens di rahim lembaga ini.

Ke depannya, akan lahir banyak buku yang kemudian meramaikan khasanah pemikiran bangsa ini. Ke depannya, tradisi menulis buku ibarat cendawan di musim hujan yang terus bermekaran. Perdebatan tak lagi sebatas ruang-ruang pengkaderan, namun terus berlangsung di berbagai ruang yang nantinya akan mematangkan gagasan tentang ke-HMI-an.

Proses penyusunan buku ini terbilang unik. Pada mulanya, undangan disebar ke seluruh kader HMI Cabang Makassar Timur. Semua orang, tak memandang usia dan letak domisili diharapkan bisa menjawab undangan itu. Selama dua bulan sejak undangan disebar, respon yang diharapkan bisa bermunculan ternyata tidak sesuai yang diharapkan. Rupanya, banyak kader HMI yang kemudian mengurungkan niat untuk meramaikannya.

Evaluasi lalu dilakukan. Ternyata banyak yang tidak terlalu nyaman dengan menulis ala jurnal ilmiah. Banyak yang berharap agar kriteria kepenulisan diturunkan menjadi lebih longgar. Banyak yang menginginkan agar model penulisan tidaklah sekaku jurnal ilmiah, melainkan lebih fleksibel, orisinil, dan bebas. Semua penulis memiliki kebebasan untuk membuat konstruksi pemikiran. Semuanya bebas hendak membahas satu soal dari sisi manapun, sepanjang masih tetap dalam bingkai ke-HMI-an.

Dengan gaya menulis yang fleksibel, buku ini bisa menjangkau banyak hal. Saya begitu bahagia melihat banyak penulis di sini yang membahas banyak aspek yang melampaui ekspektasi saya. Dari perbatasan Indonesia, tepatnya di Kalimantan Utara, Ade Saktiawan menjelaskan bagaimana dilema menghidupkan HMI di sana. 

Ia menganjurkan agar HMI mengadaptasi strategi kebudayaan agar lembaga bisa keluar dari bayang-bayang pusat dan pinggiran. Sudah saatnya merekonstruksi ulang tentang apa itu pusat dan apa itu pinggiran. Ia menulis kesimpulan yang menggetarkan:

HMI telah lama (di)tenggelam(kan) di lautan gemerlap lampu kota. Karenanya, suara lirih dari pinggiran digantung di puncak batu cadas. Benar, di lautan kota ada banyak ‘mutiara’, tetapi diperebutkan jutaan aktor berkoloni. Maka sesekali harus menepi, sebelum suara itu (kembali) disambut oleh para pengincar di seberang. HMI sudah cukup kenyang akan dirkursus peradaban modern, bahkan mungkin menjadi terminal pesan melangit. Karenanya, ‘pesan’ masa lalu dikurung di kamar gelap takhayul. Maka sesering mungkin harus mengggali kepingan artefak di sisa reruntuhan peradaban ‘takhayul’, sebelum para pencipta ‘peradaban’ post-/modern (kembali) mengajari tentang masa lalu bangsa ini.

Saya bisa mengerti kegelisahan Ade saat menyadari betapa Indonesia yang begini luas seharusnya memiliki strategi kebudayaan yang tepat. Struktur HMI yang berjenjang, dimulai dari komisariat hingga pengurus besar di Jakarta dirasakan sebagai rantai yang terlampau panjang, sehingga mensyaratkan adanya pusat. Padahal, jika menggunakan pandangan ala pormodernisme dalam kajian ilmu sosial, idealnya semua tempat adalah pusat yang berinteraksi dalam apa yang disebut Habermas sebagai ruang publik yang setara.

Namun menjadikan diri sebagai pusat bukanlah sesuatu yang mudah. Sebagaimana ditulis Ade, tradisi tak harus lenyap seiring waktu, melainkan terus digali dan direvitalisasi. Bukan berarti manusia harus memutar mundur jarum sejarah lalu kembali ke masa silam, tapi meyerap kearifan tradisi itu sebagai jati diri dalam melayari kehidupan yang kian modern.

Demi pemihakan pada tradisi itu, seorang kader harus memiliki karakter yang kuat. Secara epistemologis dia mesti menjadi figur yan telah menemukan dirinya dan tahu hendak ke mana. Ia mesti memiliki keberanian untuk membangun kapasitas dan integritas yang kuat untuk itu. Ia juga harus berani memutus ketergantungan dengan pihak manapun. Ia juga harus membangun satu sistem yang bisa menjadi pijakan bersama serta mata air nilai. 

Artikel lain yang menggugah ditulis oleh Dhihram Tenrisau. Ia melakukan kritik yang menohok terhadap kader-kader HMI. Ia mengatakan: 

Malu ketika para mahasiswa yang tidak berorganisasi bergiat melakukan petisi kemanusiaan. Malu ketika jarangnya kader himpunan yang melakukan bisnis dan masih menggantungkan kehidupan pada senior-senior. Malu ketika mendengar tiadanya kader himpunan yang mendaftarkan diri ke program beasiswa di luar negeri. Malu ketika pengurus selevel cabang hingga pengurus besar tidak menerbitkan tulisan atau karya literasi lainnya. 

Malu tidak adanya perangkat himpunan ini yang melakukan pembasisan di masyarakat. Bahkan malu, ketika di kongres kemarin HMI diidentikkan dengan anarkisme dan vandalisme yang meresahkan masyarakat. Harus diakui organisasi ini masih berkocar-kacir dan sibuk berkonsolidasi di dalam, sedangkan dunia luar menanti dan menunggu kebangkitan kita sebagai organisasi tertua di negeri ini.

Dhihram sedang mengangkat fenomena kekinian. Belakangan ini, layar kaca kita menampilkan wajah HMI yang identik dengan kekerasan, vandalisme, dan ketergantungan kepada senior. Ia menyoroti hilangnya rasa malu pada kader HMi yang kian menggerogoti semua kadernya. Ia melihat hilangnya tradisi literasi dan semangat pembasisan bagi seorang kader di masyarakat. Tak adanya pembasisan itu menyebabkan adanya jarak antara kader HMi dengan masyarakat.

Saya menangkap kegelisahan ini muncul seiring dengan banyaknya kabar tak sedap tentang organisasi ini di berbagai media. Kita tak mungkin menyalahkan media atas apa yang terjadi, melainkan melakukan introspeksi diri bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan di rumah besar HMI. Seorang kader HMI harus berani melakukan refleksi diri demi menemukan coreng-moreng di wajah organisasi lalu mensari cara untuk mengatasinya.

Penulis Anshar Saud mengajukan beberapa solusi yang menarik. Ia menyerap ajaran Cak Nur yang mengatakan bahwa kerja kemanusiaan haruslah dilihat sebagai amar ma’ruf yang bisa mencegah segala bentuk kejahatan dan kemerosotan nilai. Ia mengatakan:

Kerja kemanusiaan atau amal saleh untuk kepentingan manusia dan masyarakat. Hal itu berarti usaha-usaha yang terus menerus harus dilakukan guna mengarahkan masyarakat kepada nilai-nilai yang baik, lebih maju dan lebih insani. Yaitu menegakkan keadilan dalam masyarakat sehingga setiap orang memperoleh harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Usaha itu ialah "amar ma'ruf”, di samping usaha lain untuk mencegah segala bentuk kejahatan dan kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan atau nahi mungkar. 

Bentuk kerja kemanusiaan yang lebih nyata ialah pembelaan kaum lemah, kaum tertindas dan kaum miskin. serta mengusahakan peningkatan nasib dan taraf hidup mereka yang wajar dan layak sebagai manusia.

Anshar mengajukan solusi yang digali dari basic keilmuannya yakni farmasi. Solusinya adalah mengajukan konsep pharmaceutical care yang merupakan konsep kunci dalam pelayanan kesehatan. Pendekatan ini mensyaratkan kolaborasi secara terus-menerus antara berbagai kader HMI yang memiliki latar belakang berbeda. Kolaborasi mensyaratkan leburnya sikap egois dan memandang diri lebih unggul dari yang lainnya. 

Kolaborasi ibarat mantra yang didengungkan di era globalisasi ini. Kolaborasi menggantikan wacana persaingan yang muncul pada awal modernisme. Bahwa persaingan hanya akan melahirkan pihak memang dan kalah, sementara kolaborasi memberikan kemenangan untuk smeua pihak. Dunia bisnis pun telah lama meninggalkan persaingan. Mereka lebih memilih bekerja sama agar semua pihak bisa sama-sama menikmati keuntungan. 

Demi kolaborasi ini, lembaga seperti HMI dan juga Korps Alumni HMI (KAHMI) haruslah memiliki pemetaan yang baik tentang kekuatan anggotanya, kemudian mengarahkan semua potensi itu untuk membuat sesuatu yang produktif. HMI mesti belajar pada Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang bisa mengelola gerakan keumatan menjadi kekuatan bisnis yang hebat, sembari tetap tidak kehilangan aspek pelayanan sosial.

Mungkin inilah kekuatan HMI yang selama ini tersembunyi. Tak sekadar menjadi lembaga pengkaderan, HMI sudah waktunya memikirkan bagaimana membangun gerakan sosial yang terencana yang bertumpu pada kualitas kadernya yang mumpuni. Sudah bukan lagi zamannya HMi hanya menjadi kekuatan poltiik, tapi juga harus merambah pada gerakan sosial dan gerakan budaya sehingga tujuan HMI bisa segera terwujud.

Akhir kata, saya mempersilakan pembaca untuk menelusuri semua kajian di buku ini. Sepintas, tulisan-tulisan yang ada di buku ini seolah terserak-serak, tanpa ada benang merah dan tidak saling berdialog, takdir yang dihadapi oleh semua buku kumpulan tulisan lainnya. Padahal, sejatinya terdapat hal-hal yang menautkan keseluruhan isi buku ini yakni dimensi HMI berupa keislaman, kemodernan, keindonesiaan, kemahasiswaan, dan ke-HMI-an. 

Semoga saja buku ini menjadi awal dari karya-karya bagus di maa mendatang. Semoga.


Kendari, 9 Juni 2017


0 komentar:

Posting Komentar