Sepenggal Kisah tentang Fauzan Mukrim




Jika saya diminta menyebutkan satu nama penulis yang saya kenal dan sukai setiap tetes kalimatnya, maka saya akan menyebut nama Fauzan Mukrim.

Banyak orang2 mengidolakan lelaki yang dipanggil Ochan itu. Bahkan istri dan adik perempuan saya pun menyukai goresan kalimatnya. Dia bukan tipe penulis yang menyabet dengan pedang kata demi membelah satu argumen. Dia menghadirkan embun yang seketika membuat kita tertegun dan melihat dunia dengan cara lain.

Saya mengenalnya di kampus Unhas pada fakultas dan jurusan yang sama. Saya lebih dulu setahun di kampus, meskipun dari sisi umur, kami sepantaran. Malah saya sedikit lebih muda (piss....). 

Masih segar di ingatan saya. Hari itu, saya ke kampus dengan wajah sangar karena harus meng-ospek junior baru. Dia adalah mahasiswa baru yang datang dari Watampone, sekampung dengan Jusuf Kalla. Dia lulus dari SMA 1 Bone.

Tadinya, saya ingin ikut2 mahasiswa senior yang saat itu sengaja tampil kasar dan ingin menghajar semua junior. Tapi saya urungkan niat itu. Selain karena dia tiba2 jatuh sakit, ada temannya yang amat manis. Namanya Azizah Azis. 

Ketika dia menjadi mahasiswa baru, saya mengagumi Ochan. Betapa tidak, pada saat saya amat kesulitan menembus koran kampus agar mau memuat tulisan saya, cerpennya sudah berhasil menembus Majalah Hai. Saya masih ingat kalau cerpen itu berjudul Bapak.

Saat kuliah, saya beberapa kali sekelas dengannya. Pernah, dosen kami Sinansari Ecip mengajukan pertanyaan pada mahasiswa. Yang menjawab benar akan mendapat buku. 

Saya segera mengacung dan menjawab. Ternyata dia juga mengacung dan menjawab lain. Kata Sinansari Ecip, dua jawaban itu benar. Hadiah buku itu jadi milik kami berdua.

Saya tak terkejut jika dia memilih karier sebagai jurnalis. Sejak dulu dia berkaitan dengan kata. Bermula dari Trans Tv, dia ke detik.com, kemudian ke CNN. Di semua tempat, dia menunjukkan talenta jurnalis hebat. Dia pun produktif melahirkan banyak novel dan buku2 yang laris di pasaran. Pernah, saya bela-belain datang ke Gramedia Depok, hanya untuk melihat dirinya yang diundang untuk membahas bukunya.

Dua hari lalu, saya bertemu dengannya di gedung Trans Corp. Biarpun namanya sudah semakin besar dengan fans yang begitu banyak, dia dengan gembira menemui saya dan ikut ngopi di sudut gedung itu, di tengah kesibukannya yang bejibun.

Saya seolah menyaksikan masa lalu yang menari-nari di pelupuk mata. Saya menyaksikan dirinya yang dulu hangat, kini tetap hangat. Dia masih seperti dulu.

Sayang, dia ragu2 untuk mengizinkan saya tampil di CNN sebagai seorang pelatih kucing handal. Entah, apa pertimbangannya. Padahal saya tahu, dengan posisi yang setingkat di bawah Chairul Tandjung, cukup dia menjentikkan jari, maka saya bisa tampil di tivi itu.

Iya khan?


0 komentar:

Posting Komentar