Para Filosof di Perahu Sandeq (Ekspedisi Sulbar 2)




Bapak tua itu memandang laut. Wajahnya mengeriput. Kumis dan janggutnya berwarna putih kekuningan. Ketika saya temui di Pantai Balanipa, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, dia lebih banyak diam sembari sesekali mengisap rokok kretek yang dijepit dua jemarinya.

Bapak itu adalah seorang nakhoda perahu sandeq. Ketika saya tanya mana perahunya, dia menunjuk ke satu arah. Di sana, ada perahu dengan tiang layar berwarna putih, nampak anggun saat meniti ombak. Dia tersenyum.

Di mata saya, sandeq adalah salah satu warisan jenius dari leluhur Mandar. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa sandeq adalah perahu tercepat di dunia. Bentuk yang ramping dan pipih itu bisa melesat dan menembus ombak menggunung. Di lautan itu, sandeq melaju dengan kelihaian seorang ballerina. Sandeq tahu kapan saat menembus ombak, dan kapan saat berjalan anggun.

Saya memandang bapak tua ini. Seorang kawan di Majene bercerita bahwa bapak tua ini adalah nakhoda legendaris yang saat berada di atas perahu, kalimatnya serupa dewa. Dia ibarat Sinbad yang pernah berlayar memembus tujuh samudera, dari Pantai Balanipa hingga tanah Marege (Australia).

Saya teringat esai yang ditulis Ignas Kleden tentang kepemimpinan maritim. Ignas membandingkan kepemimpinan para nakhoda versus tuan tanah (feodalisme). Kata Ignas, tuan tanah adalah mereka yang melestarikan kuasa atas tanah, membangun hierarki antara pemimpin dan bawahan, serta melestarikan dominasi.

Tapi seorang nakhoda lahir dari sistem yang sangat mengedepankan keahlian. Seorang nakhoda tidak dipilih secara demokratis oleh semua penghuni kapal. Dia adalah sosok paling senior, sosok yang paling memahami laut dan semua pergerakan ombak, juga bisa membaca bintang gemintang dan gerak semua hewan laut. Dia peka pada setiap hembusan angin.

Di tengah ombak yang menerjang, seorang nakhoda tidak akan mengajak awak kapalnya berdiskusi demi mencari solusi. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Setiap kalimatnya adalah perintah. Semua penumpang percaya kepadanya. Semua orang menambatkan selembar nyawa padanya.

Ketika krisis menghadang dan kapal mulai oleng, nakhoda akan menyelamatkan semua penumpang. Di kalangan para nakhoda terdapat konsensus bahwa lebih baik tenggelam bersama kapal daripada lari sebagai pengecut. 

Laku moral dan kebajikan inilah yang menyebabkan Kapten Rifai, nakhoda kapal Tamponas 2 memilih karam bersama kapalnya. Juga Kapten Edward Smith, nakhoda Titanic yang tenang memilih bersama kapal saat memasuki kedalaman samudera.

Entah, apakah para awak perahu pernah membaca filsafat, tapi mereka mengingatkan saya pada filsuf Plato yang pernah mengatakan bahwa pemimpin harusnya tidak dipilih secara demokratis. Pemimpin adalah mereka yang tahu dan paling paham apa yang harus dilakukan.

Saya menoleh ke bapak tua di sebelah ini. Dia bercerita tentang tiga unsur di perahu sandeq. Pertama, cadik di kiri kanan. Katanya, cadik adalah simbol dari kuatnya karakter dan jati diri. Tanpa itu, manusia akan oleng. Kedua, palayyarang atau layar. Ini adalah simbol dari pentingnya tujuan dan arah ke mana seseorang hendak bergerak. Ketiga, warna putih di layar. Ini adalah simbol kesucian hati dan kejernihan jiwa. Hidup seseorang akan seimbang ketika menjaga kesucian hatinya.

Kali ini saya yang terdiam dan menyerap kalimat bijak dari nakhoda perahu sandeq. Dia punya kearifan yang tercermin dari setiap helai kata2nya. Saya membayangkan para nakhoda yang tenang memandang ombak sembari tetap mengarahkan kapal. Saya membayangkan keberanian Kapten Rifai dan Kapten Edward Smith.

"Pernahkah bapak ketakutan saat berada di laut, ketika ombak menghadang dan petir bersahut-sahutan" tanya saya kepadanya.

"Nak, saya ini orang Mandar. Kami punya semboyan dari leluhur kami yakni 'dota lele ruppu dari na lele di lolangang'. Lebih baik hancur perahu daripada mundur dalam pelayaran," katanya.

Saya memandang bapak ini dengan takjub. Dia bukan cuma filosof, tapi juga menyerap semua kearifan Mandar dalam setiap aliran darahnya.

Di ufuk sana, perahu sandeq nampak berayun-ayun meniti ombak.



1 komentar:

Syahrir Badulu - KGRE Representative mengatakan...

To Mandara' bisa berarti saya orang yang bercahaya.

Posting Komentar