SEBUAH paket buku terkirim ke rumah saya. Isinya adalah novel berjudul Selendang Sutra Bidadari, yang ditulis Lala Suhaila. Pengirim paket adalah Lala Suhaila sendiri. Saya dan dirinya belum pernah bersua secara fisik. Tapi di dunia Facebook, kami saling mengomentari.
Di mata saya, Lala adalah penulis novel yang sangat produktif. Sebagai seseorang yang juga suka menulis, saya tahu persis bahwa tidak mudah menulis novel setebal ini. Butuh konsistensi, ketekunan, dan mental tahan banting ketika mulai menulis. Butuh keberanian untuk mengisi lembar kosong dengan barisan aksara yang berkisah.
Saya ingat novelis Dewi Lestari. Dalam satu diskusi dengannya, dia bercerita bagaimana kerja kerasnya dalam menulis, yang disebutnya sebagai “upaya untuk melawan lembar kosong.” Demi menulis novel Perahu Kertas, dia sengaja mengontrak kamar di kos-kosan mahasiswa “jaman now” demi memahami apa yang dipikirkan dan diperbincangkan para mahasiswa itu.
Masih kata Dewi, saat dirinya tiba-tiba merasa stuck alias tidak tahu hendak menulis apa lagi, saat itulah dia akan ke kamar mandi. Saat air mengguyur kepalanya, ide-ide bermunculan sehingga dirinya mendapat semangat lagi untuk menulis. Dewi bercerita, ketika dirinya menulis, maka dia akan sangat sering mandi, demi men-stimulasi ide-idenya.
Bagi saya, kisah tentang proses kreatif seorang penulis sering kali lebih penting dari karyanya. Saya ingat Elizabeth Gilbert yang pernah bilang bahwa seorang penulis hanya sekadar mencatat sesuatu yang singgah di kepalanya.
Makanya, para penulis atau pekerja seni abad pertengahan selalu percaya bahwa ada kekuatan lain yang bekerja bersama mereka sehingga membantu mereka melahirkan banyak karya-karya besar.
Kata Elizabeth Gilbert, saat menulis, seseorang tidak menjadi dirinya sendiri. Dia separuh kesurupan sebab ada sesuatu yang merasuki dirinya, dan mengarahkan jemarinya untuk bekerja.
Di abad pertengahan, kekuatan itu disebut “Genius”, yakni makhluk seperti peri rumah Dobby dalam kisah Harry Potter yang sesekali merasuk dalam diri penulis dan membantunya menyelesaikan karya tertentu.
Nah, saat melihat karya Lala Suhaila, saya memikirkan bagaimana proses yang dia jalani ketika menulis. Seperti apa dia menyisihkan waktu demi merawat bayi novelnya? Apakah kata-kata orang di sekitarnya saat dirinya sedang konsentrasi menulis dan sejenak mengabaikan dunia sosial? Apa kiat yang bisa dibagikannya saat orang lain seperti saya hendak mengikuti jejaknya bisa melahirkan novel setebal ini?
Lala Suhaila akan mengundang saya sebagai salah satu pembicara yang membahas bukunya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Saya belum dapat konfirmasi tentang waktunya. Biasanya, dalam momen seperti ini, saya tidak suka jadi pembicara. Saya lebih suka menyimak, menyerap, dan belajar darinya.
Saya berharap bisa menyerap ilmu menulisnya demi menyelesaikan beberapa ide-ide mengenai novel cinta di kepala saya. Ide lain yang muncul adalah pengalaman saya sebagai anak band, pemain piano, pengajar les biola, dan juga pelatih kucing. Ide-ide ini harusnya dituangkan jadi novel yang menarik.
Semoga bisa bersua dengan Lala di momen itu. Jangan lupa untuk selfie yaa.
0 komentar:
Posting Komentar