Kritik SBY yang Menohok Prabowo




Setelah lama berdiam diri, akhirnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mulai menyengat. Dia mulai berani mengkritik koalisi yang mengajukan nama Prabowo Subianto dan Sandiaga sebagai pasangan capres dan cawapres. Melalui Twitter, SBY berkicau tentang banyak hal.

Mulai dari pernyataan tidak ingin menanggapi pernyataan Wasekjen Gerindra yang dianggap nadanya tidak baik dan terus digoreng, hingga cerita bahwa dirinya pernah jadi capres dan tidak pernah menyalahkan partai pengusung.

Namun pernyataan yang paling menohok adalah pernyataan bahwa capres adalah superstar yang harus tampil ke permukaan. SBY berbicara tentang belum jelasnya visi misi dari Prabowo Subianto.

SBY mengatakan: "Saat ini rakyat ingin dengar dari Capres apa solusi, kebijakan & program yang akan dijalankan untuk Indonesia 5 tahun ke depan.” Dia juga melanjutkan cuitan di Twitter: “Kalau "jabaran visi-misi" itu tak muncul, bukan hanya rakyat yang bingung, para pendukung pun juga demikian. Sebaiknya semua introspeksi.”

SBY memang harus selalu tampil. Sebagai ketua umum partai, dia harus tampil ke publik demi menjaga ingatan positif orang-orang tentang dirinya. Dengan cara itu, dia bisa menjaga elektabilitas partainya sehingga punya kans untuk mengajukan putranya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) ke jenjang politik yang lebih tinggi.

Menarik untuk disimak pernyataan SBY di tahun politik. Pada tahun 2016 lalu, terbit buku The Loner yang ditulis John McBeth. Dalam buku itu, Mcbeth menyebu SBY sebagai seorang yang peragu sebab SBY akan selalu menimbang dengan matang semua keputusan yang diambilnya.

Beberapa pengamat menyebutkan, SBY tidak seberapa lihai jika bukan dirinya yang hendak dimajukan. Buktinya, pasca dirinya menjabat presiden selama dua periode, banyak skenario politiknya yang tidak berjalan. Dia gagal mendorong anaknya ke kursi Gubernur DKI. Setelah itu gagal mencalonkannya sebagai calon presiden ataupun calon wakil presiden.

Realitas politik tidak selalu memihak langkah-langkah SBY. Kini, dirinya fokus untuk memenangkan perahu partainya sehingga tetap bertahan di parlemen. Di sisi lain, dirinya juga tengah menyiapkan putranya AHY agar bisa memasuki kompetisi elektoral pilpres berikutnya.

Dia juga dituntut untuk tetap memenangkan capres koalisinya yakni Prabowo Subianto. Ketika SBY mengkritik Prabowo, maka akan menjadi perbincangan publik.

Pernyataan SBY ini terasa menohok sebab merupakan pernyataan terbuka kalau selama ini visi dan misi Prabowo tidak diketahui rakyat, juga tidak diketahui partai pendukung. SBY seakan mengaminkan kritikan banyak orang kalau kubu oposisi hanya menyoroti hal-hal yang tidak substansial.

Padahal, sejak ditetapkan sebagai calon presiden, Prabowo sudah mendatangi banyak lokasi demi mengemukakan visi ke mana Indonesia yang hendak dituju. Namun, bagi sebagian orang, pernyataan Prabowo banyak yang hanya berisi kritikan, tanpa menjelaskan apa yang ingin dilakukannya ketika terpilih.

Kritikan SBY harus dilihat dari beberapa sisi.

Pertama, selama ini partai koalisi di kubu oposisi belum punya satu pendapat yang sama tentang apa yang akan dilakukan jika berhasil memenangkan kompetisi. Kubu oposisi sibuk pembedaan dengan cara kritik, tapi abai pada konten tentang apa yang harus dilakukan.

Ketika konten sudah dirumuskan, semua pihak mesti punya bahasa yang sama untuk menyebarkan konten itu. Tujuannya adalah agar publik punya pilihan sehingga terjadi diferensiasi atau pembedaan dengan petahana.

Kedua, SBY membuka fakta betapa anggota koalisi itu tidak kompak sebab masing-masing jalan dengan agendanya masing-masing. SBY membuka satu lapis kenyataan bahwa yang dipikirkan semua partai politik bukanlah bagaimana memenangkan presiden, melainkan bagaimana bisa lolos dan masuk parlemen.

Pernyataan SBY ini bukan hal baru. Beberapa lembaga survei melansir temuan kalau publik lebih suka membahas pilpres ketimbang pileg. Makanya, partai-partai yang diuntungkan adalah partai yang punya calon presiden, dalam hal ini Gerindra dan PDIP. Dua partai ini akan mendapatkan efek ekor jas sehingga suaranya diperkirakan akan meningkat.

Namun sebagai ketua partai, SBY justru punya kepentingan agar partainya tidak karam. Apa artinya Prabowo terpilih sebagai presiden, tapi partai-partai malah terpental. Opsi terbaik bagi Partai Demokrat adalah suara partai signifikan, sehingga tetap berada di parlemen, dan nantinya punya bekal yang memadai untuk mendorong AHY berlaga di kontestasi pilpres selanjutnya.

Ketiga, kritikan SBY harus dilihat sebagai alarm bagi perlunya menjalin komunikasi yang intens demi memenangkan Prabowo. Dia berharap agar berbagai strategi dirumuskan ulang sehingga potensi kemenangan lebih terbuka.

Kritik dirasa perlu untuk menyolidkan semua gerakan dari partai koalisi demi kemenangan bagi semua pihak. Mungkin saja SBY ingin menggeser perbincangan publik. Tidak cuma membahas pilpres, tapi juga membahas bagaimana memenangkan semua partai politik di koalisinya sehingga lolos parliamentary threshold. Apa artinya menang pilpres, tapi partainya malah terpental ke luar arena.

Keempat, SBY tidak yakin kalau Prabowo akan memenangkan kompetisi elektoral. Sebagai ketua umum partai politik yang dua kali memenangkan pilpres, insting SBY cukup kuat untuk menafsir apa yang terjadi.

Partai Demokrat yang dikelola secara modern, pasti punya tim litbang yang sudah memberikan amatan tentang sejauh mana potensi kemenangan. Ketika potensi kemenangan itu dirasakan kecil, maka sejak dini, SBY dan partainya harus menyatakan sikap demi tetap menjaga basis pemilih.

Dia mesti menjaga keseimbangan perahu, tapi tetap harus cantik di hadapan mitra koalisi dan lawan politiknya. Ibarat pemain catur, SBY cukup lihai memainkan bidak. Dia bisa memosisikan sejumlah anggotanya untuk berada di dua sisi.

Sosok seperti Ferdinand Hutahaean didorong untuk menjadi loyalis Prabowo sekaligus menjadi pengkritik pemerintah. Sementara sosok seperti Andi Arief diposisikan sebagai pengkritik Prabowo. Keduanya menjalankan peran berbeda di dalam partainya.

Di sisi lain, sejak beberapa tahun lalu, dia juga sudah menyimpan banyak bidak di kubu sebelah. Beberapa kadernya, mulai dari Ruhut Sitompul hingga Hayono Isman sudah pindah ke kubu sebelah. Terbaru adalah Tuan Guru Bajang. Mereka yang pindah ini bertugas untuk menyambut dan menyiapkan infrastruktur jika Demokrat benar-benar pindah ke kubu sebelah.

Kelima, SBY kemungkinan tidak ingin Prabowo menang pilpres. Sebab kemenangan Prabowo akan membuat jalan politik semakin terjal bagi AHY untuk memasuki kompetisi pilpres berikutnya. 

Kemenangan Prabowo mungkin akan membuka jalan bagi AHY untuk menjadi menteri, tetapi dalam pilpres berikutnya, itu tidak banyak membawa manfaat bagi kepentingan Partai Demokrat.

Mari kita hitung kalkulasi politiknya. Jika Prabowo-Sandi menang pilpres, maka periode berikutnya, pasangan ini masih akan mencalonkan diri. Sepuluh tahun berikutnya, Sandi akan maju sebagai calon presiden.

Jika menang, maka dia akan menjabat dua periode. Pertanyaannya, kapan AHY bisa menjadi capres? Lain halnya jika Jokowi-Ma’ruf yang menang. Lima tahun berikutnya, arena kontestasi akan terbuka lebar.

Tidak ada lagi kubu petahana yang bisa menggerakkan infrastruktur politik. Kompetisi akan lebih seru sebab masing-masing partai akan punya kans yang sama ketika mengajukan jagoannya.

Keenam, publik akhirnya belajar bahwa partai politik lebih memikirkan cara untuk eksis ketimbang memperjuangkan satu keyakinan atau ideologi tertentu. Orang-orang partai tidak bicara visi jangka panjang, serta pertarungan antar ideologi.

Orang partai hanya bicara bagaimana bisa tetap eksis, mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, serta tetap menari di tengah berbagai hempasan ombak dan gelombang. Lantas, asumsi mana yang paling tepat untuk mendekati realitas?

Jawabannya akan ditemukan dalam empat bulan mendatang, saat pilpres usai digelar. Ibarat semesta, semua partai politik akan selalu mencari keseimbangan baru. Saat musim hujan, mereka akan menyiapkan banyak payung.

Saat musim salju, mereka akan menyiapkan papan seluncur untuk berselancar.



0 komentar:

Posting Komentar