Kampung Afrika di Tanah Abang


orang Afrika di Tanah Abang

SERING kita merasa diri sebagai anak bangsa yang merasa hanya bisa mengimpor sesuatu. Padahal jika kita menyempatkan waktu untuk jalan-jalan ke kawasan Tanah Abang, kita akan melihat betapa banyaknya orang Afrika yang datang belanja, lalu mengirimkan berbagai barang ke negerinya. 

Bagaimanakah kisah kedatangan orang Afrika yang meramaikan Jakarta? Beberapa tahun silam, saya melakukan pengamatan etnografis di lokasi selalu menjadi tempat kumpul warga Afrika di Jakarta, yakni Tanah Abang. 

Sekian lama catatan itu masih tersimpan di laptop saya. Sebelum catatan itu benar-benar hilang dari laptop, saya memilih untuk membagikannya di blog ini. Jika ada yang tertarik untuk melanjutkan pengamatan, saya persilakan untuk menelusuri beberapa informasi yang ada di sini.

Silakan menyimak.

***

JAUH sebelum Tanah Abang menjadi ”perkampungan Afrika”, pada masa kolonialisme Belanda, pemukiman Jakarta telah ditata berdasarkan suku bangsa. Bahkan, hingga akhir tahun 1970-an, masih bisa ditemukan perkampungan seperti kampung Bali, kampung Makassar, kampung Melayu, ataupun kampung Ambon. 

Meskipun kawasan tersebut tidak lagi didiami suku bangsa tersebut, jejak-jejak keberadaan mereka masih bisa dilihat dengan penamaan jalan serta nama perkampungan. Kini, di kota ini, ada banyak tempat yang diidentifikasi sebagai tempat bermukimnya warga internasional. 

Kawasan Kemang, Jakarta Selatan, dikenal sebagai kampungnya orang berkulit putih (bule), yang sebelumnya banyak berdiam di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Ada pula bule yang memilih tinggal di kawasan Kebayoran Baru, pada kawasan yang tak jauh dari kota, seperti Jalan Prapanca dan sekitarnya, serta sekitar Jalan Senopati. 

Namun, kawasan Kemang seakan menjadi pilihan favorit dari orang-orang bule tersebut. Kalau awalnya hanya beberapa rumah besar dengan halaman luas saja yang dikontrak oleh orang asing, sekitar tahun 1980-an rumah yang tak terlalu besar pun menarik minat mereka. 

Kawasan bule di Kemang, tidak merepresentasikan negara tertentu, namun lebih merepresentasikan benua Eropa serta ras berkulit putih. Setidaknya, di kawasan ini, tak ada pengamatan akan hadirnya orang Afrika. Padahal, di kawasan ini terdapat begitu banyak tempat yang menjadi tempat mangkal favorit warga asing. 

Menurut infirmasi dari pegawai Pemrov DKI, setidaknya ada 87 tempat mangkal orang bule, baik yang berupa kafe, restoran, klub, dan sejenisnya di kawasan Kemang. Ini belum termasuk toko pernak pernik yang disukai orang bule, mulai dari toko buku, pakaian, kain tenun, sampai mebel rotan dan kayu yang antik. Di Kemang juga berlokasi beberapa sekolah yang ditujukan bagi komunitas bule, seperti sekolah internasional New Zealand, dengan kurikulum seperti yang ada di Eropa, dan bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris. 

Restoran-restoran di Kemang menyediakan jenis masakan dengan rasa yang berbeda. Ada rasa Korea, Perancis, Brasil, Belanda, dan Jepang. Salsa Club misalnya, menyediakan masakan rasa Italia. Meski begitu, tamu-tamunya tak terbatas hanya mereka yang berasal dari Italia saja. Bahkan, ada restoran yang menyediakan menu blasteran, seperti "Belancis" singkatan dari Belanda dan Perancis. Interaksi sesama warga bule ini tidak hanya terjadi di kafe atau restoran, namun juga terjadi di pasar swalayan, yang menyediakan seluruh kebutuhan mereka. 

Munculnya Toko Swalayan Kem Chick yang menyediakan kebutuhan sehari-hari mereka, semakin menegaskan tumbuhnya Kemang sebagai "kampung bule". Kalau sebelumnya mereka hanya tinggal di kawasan itu, kini nyaris semua kebutuhan mereka pun bisa dipenuhi oleh tempat usaha yang juga berlokasi di Kemang. 

Tak cuma orang asing berkulit putih dan hitam saja yang punya kampung di Jakarta. Orang Korea belakangan ini juga punya kampung di kawasan Jalan Senayan, Jalan Birah, Jalan Suryo, Jalan Wijaya, Jalan Wolter Monginsidi, dan sekitarnya. Menurut informasi warga sekitar, awal munculnya predikat ”Kampung Korea” itu, bermula dari didirikannya restoran bernama Mu Gung Hwa yang menjajakan makanan Korea. 

Hanya dalam waktu 10 tahun, berdiri berbagai salon, toko, butik, restoran, sampai perpustakaan dan tempat kursus bahasa Korea. Bahkan pasar tradisional, Pasar Santa, yang biasanya hanya didatangi warga setempat, sejak sekitar akhir tahun 1980-an menjadi tempat favorit warga Korea untuk membeli buah-buahan. Menurut seorang warga, kadang-kadang penjual dan pembeli tidak saling mengerti bahsa masing-masing, namun transaksi bisa tetap berlangsung.

Warga Jepang juga membentuk komunitas sendiri. Mereka membangun banyak tempat hiburan serta toko yang bernuansa Jepang di kawasan Blok M, yang letaknya tepat di depan Blok M Plaza. Di situ, terdapat berbagai jenis tempat hiburan ala Jepang, mulai dari pijat hingga restoran bergaya Jepang, yang gadis pelayannya mengenakan kimono. 

Di lihat dari luar, restoran-restoran itu sangat kental dengan nuansa Jepang, mulai dari bentuk bangunan hingga pakaian kimono yang dikenakan pelayannya. Belakangan, dari kawasan Jepang di Blok M ini, telah lahir pula sebuah media komunikasi berbahasa Jepang yang diterbitkan dengan edisi terbatas dan ditujukan untuk mempererat komunikasi warga Jepang serta menjadi medium yang menuntaskan kerinduan mereka akan negerinya.

***

LOKASI ”kampung internasional” di Jakarta cukup beragam. Saya tertarik mengamati orang-orang Afrika yang sering terlihat di Tanah Abang. Interaksi antara warga asing dan warga sekitar berjalan dengan alamiah.

Biasanya, para bule asal Eropa dan Amerika cenderung agak eksklusif dan tidak banyak terlibat kontak dengan masyarakat sekitar. Mereka bekerja di berbagai perusahaan bonafid ataupun kantor kedutaan, sehingga mereka sibuk dengan dunianya sendiri. Mereka tidak terlalu bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Apalagi, kompleks tempat mereka tinggal, biasanya dipagari dengan pagar tinggi serta dijaga sejumlah petugas keamanan. 

Tapi orang asing di Tanah Abang tampak berbeda. Di dua jalan ini, warga asing justru melebur dengan masyarakat sekitar. Antara warga asing dan warga lokal terbangun sebuah ikatan yang sangat kuat sebab warga asing itu tinggal di rumah warga dan diperlakukan sebagaimana layaknya anggota keluarga lainnya. 

Apalagi, warga asing itu tidak pernah mempersoalkan pelayanan tuan rumah yang tidak seperti pelayanan di hotel sebab sudah dianggap sebagai keluarga. Di sini, terbentuk integrasi serta kesatuan pandangan, meski berasal dari negara serta konteks sosial yang berbeda.

Saya baru tahu kalau orang Afrika di Tanah Abang erasal dari berbagai negara dan berbeda bahasa. Tapi interaksi mereka tetap berjalan. Mereka bisa membaur dan sama-sama bergerombol di berbagai kafe, tanpa pernah terjadi konflik. 

Tak hanya interaksi dengan sesama warga Afrika yang terbangun dengan baik di sini. Interaksi dengan masyarakat sekitar juga berjalan dengan baik, tanpa memandang unsur etnik maupun strata sosial. Hingga kini, belum pernah ada catatan konflik antara warga dengan turis. Mereka justru saling mengisi satu sama lain. 

Hal ini terlihat saat perayaan HUT Kemerdekaan Indonesia di bulan Agustus setiap tahunnya. Warga yang bertindak sebagai pelaksana kegiatan, selalu mengajak orang Afrika untuk ikut dalam acara perayaan tersebut. Dan mereka pun menikmatinya, sehingga muncul kesan seolah-olah sedang berada di negerinya sendiri.

Sejak usai reformasi, orang-orang Afrika berdatangan ke kawasan Tanah Abang untuk berbelanja di Pusat Grosir Tanah Abang, yang disebut-sebut sebagai sentra perdagangan terbesar di Asia Tenggara.

Tidak jauh dari pusat grosir itu, terletak kawasan Petamburan, yang sering disebut sebagai ”Kampung Afrika” atau ”Kampung Negro.” Saat melintas di Jl KS Tubun di Petamburan, hampir setiap saat selalu ada pemandangan warga Afrika yang melintas di jalan itu dan hendak menuju Tanah Abang. 

Sampai-sampai, di kalangan tukang ojek yang kerap mangkal di Tanah Abang, Jalan KS Tubun kerap diplesetkan menjadi ”Jalan Nigeria.” Selain itu, Hotel Petamburan yang terletak di ujung Jl KS Tubun, sekitar 500 meter dari Pasar Tanah Abang, kelihatan seperti hotel di kota-kota besar Afrika, baik Lagos, Luanda, atau Kinsasha.

Pagi, siang, hingga menjelang tengah malam, laki-laki dan perempuan berkulit hitam tampak di mana-mana. Suasana yang sama juga tampak di sejumlah hotel lain di sekitarnya seperti Petamburan II, Harlan, dan Alamanda.

Menurut seorang informan yang juga pedagang di Tanah Abang yaitu Rakhmat Said, warga Afrika yang ada di situ, kebanyakan adalah pedagang yang membanjiri Indonesia sejak terjadi krisis moneter tahun 1997 lalu. Berikut penuturannya:

”Yang saya tahu, mereka datang ke sini saat terjadi krisis moneter. Mereka kebanyakan berasal dari Nigeria. Mereka itu membeli apa saja di sini, mulai dari indomie, rokok, sampai risleting, mata kancing, tegel, kaset kosong, ban mobil dan motor, odol, tas anyaman, sabun colek, obat-obatan, pokoknya banyak sekali. Apa saja bisa mereka beli dan bawa ke Amerika. Namun, kebanyakan mereka beli garmen dan jual lagi di negaranya,...”

Rakhmat sudah berbisnis di Tanah Abang sejak 10 tahun lalu. Ia cukup paham apa yang dibutuhkan warga Afrika hingga ia melengkapi toko kecilnya dengan berbagai barang yang diperkirakannya akan diborong oleh warga Afrika. 

Bahkan, pria asal Makassar ini menyewakan sejumlah ruangan di rumahnya yang terletak di Kebon Kacang untuk menjadi tempat kos bagi warga Afrika yang datang ke situ. Baginya, ini adalah peluang yang menjanjikan untuk menambah pundi-pundi keuangan keluarganya. 

”Awalnya, saya merasa agak aneh kalo liat orang Afrika di jalan-jalan. Malah, waktu itu, banyak anak-anak yang suka memperhatikan mereka. Tapi sekarang justru tidak lagi. Warga di sini mulai terbiasa dengan mereka. Malah, banyak warga yang mengontrakkan rumahnya biar bisa dapat penghasilan tambahan. Lumayan khan...”

Datangnya pedagang Afrika itu dilihat sebagai peluang bisnis sebab pedagang tersebut datang membawa banyak uang dollar untuk dibelanjakan. Mereka cukup royal saat berbelanja, meskipun penampilan mereka cukup bersahaja. Bagi Rakhmat, banjirnya pedagang Afrika ini, membuat Pasar Tanah Abang dikenal luas di dunia internasional.

Pernyataan Rakhmat diamini informan lainnya yaitu warga Afrika asal Nigeria bernama Muhammad Sissoko. Saya menemui Sissoko saat hendak memasuki Gedung Asia-Afrika Trade Center (ATC) yang menjadi salah satu pusat perhimpunan pedagang Afrika yang ada di Petamburan, Tanah Abang. 

Sissoko datang ke Indonesia sejak tahun 2003 lalu dan mulai berbisnis garmen sejak saat itu. Ia tertarik dengan Tanah Abang karena barang-barang di situ dianggapnya sangat murah jika dibandingkan dengan harga barang yang ada di negara lain seperti Thailand, Hongkong, atau Taiwan. 

”Tanah Abang adalah tempat favorit kami pedagang Nigeria. Demikian pula dengan pedagang dari Guyana, Lagos, Pantai Gading, Kamerun, Mali, Angola, Somalia, dan Ethiopia. Di sini, semua barang-barang berkualitas bagus, sangat murah dan mudah didapatkan. Dibandingkan dengan barang yang ada di Taiwan atau Hongkong, di sini masih lebih murah dan kualitasnya bagus,”

Menurut Sissoko, ia bisa mengirim 100 peti kemas berisikan garmen ke negaranya setiap bulan. Jika satu peti kemas bisa diisi dengan 10-11 ton garmen, maka nilainya adalah 250.000 dollar AS. Sementara nilai satu peti kemas tegel sebesar 3.000 dollar AS, dan obat-obatan 100.000-150.000 dollar AS.

Tak hanya Sissoko, ratusan pedagang Afrika lainnya juga membanjiri kawasan ini dan berkontribusi pada volume transaksi yang mencapai triliunan rupiah per bulan. Hadirnya pedagang Afrika itu menjadi agen globalisasi yang memiliki andil pada membanjirnya produk Indonesia ke dunia internasional. 

Sejarah Tanah Abang tak lepas dengan fenomena globalisasi ini berupa aktor-aktor yang beragam dan berasal dari berbagai tempat.

Sejarahnya bermula sejak tahun 1648, saat Kapiten Cina, Phoa Bing Ham, membuat terusan (kanal) dengan menyedot kali Ciliwung yang kini dikenal dengan kanal Molenvliet (Jl Hayam Wuruk/ Gajah Mada). Ia lalu menggali terusan sampai ke ujung Kebon Sirih, kini menjadi got besar di sepanjang Tanah Abang Timur (Jl Abdul Muis) hingga ke Kali Krukut. 

Kanal yang digali Phoa Bing Ham ini berguna sekali untuk memperlancar angkutan hasil hutan dan mempercepat perkembangan kota ke selatan. Berkat karya Phoa Bing Ham inilah, Justinus Vinks, anggota Dewan Hindia Belanda --yang dikenal sebagai pria kaya raya—membangun pasar Tanah Abang. Bersamaan dengan Tanah Abang, petinggi VOC ini juga membangun Pasar Senen dan diresmikan bersama-sama pada 30 Agustus 1735.

Sebelum Phoa Bing Ham membangun jaringan transportasi sungai (1648), 20 tahun sebelumnya (1628), tempat ini dijadikan salah satu basis pasukan Mataram ketika hendak menyerbu ke Batavia (Pasar Ikan). Konon, nama Tanah Abang berasal dari sebutan laskar Mataram. Karena tanah tempat mereka menghimpun kekuatan itu warnanya merah, mereka pun menyebut 'tanah abang'. Abang dalam bahasa Jawa berarti merah. 

Maka sejak itu, kawasan ini disebut Tanah Abang. Ketika laskar Mataram menjadikan Tanah Abang sebagai salah satu basisnya, kala itu masih merupakan daerah perbukitan yang kini kita kenal dengan Tanah Abang Bukit.

Pada awalnya, pasar yang dibangun oleh Justinus Vinks bentuknya sangat sederhana. Beratap rumbia dan berdinding gedek. Bahkan sampai awal 1970-an kesederhanaannya masih tampak. Dahulu, di depan pasar ini terdapat toko-toko milik Tionghoa dengan arsitektur Cina, terutama di bagian atapnya. 

Sementara para pedagang Betawi banyak berjualan sate kambing, sop, gulai, dan nasi uduk. Di tempat parkir sekarang ini, dulunya terdapat tukang kue putu yang kesohor di seluruh Jakarta. Karena di Tanah Abang banyak terdapat pemakaman, para peziarah sebelumnya membeli bunga yang banyak terdapat di depan pasar sekarang ini.

***

Sebagian warga Afrika yang berada di Petamburan, masih mempertahankan identitasnya sebagai bangsa Afrika. Itu bisa dilihat dari banyaknya warga Afrika yang suka mengenakan baju Kaftan, baju khas Afrika berupa kain baju kain panjang seperti jubah.

Sementara wanitanya juga mengenakan Kaftan, namun rambutnya juga ditutupi dengan kain dengan warna yang sama dengan bajunya. Menurut Sissoko, meskipun orang Afrika merantau hingga ke ujung dunia, namun mereka selalu membawa Kaftan. Pakaian ini selalu ada dalam tas mereka, meskipun mereka tidak terlalu sering menggunakannya.

Menurut Sissoko, pakaian ini adalah kebanggaan mereka dan selalu digunakan pada saat ke masjid serta moment tertentu. Berdasarkan pengamatan pada Masjid Jami Al Munawarah yang terletak di depan gedung African Trade Center (ATC), terlihat banyak orang Afrika yang mengenakan baju Kaftan ini. Demikian pula perempuannya, mereka tetap mempertahankan pakaian tradisional yang dikenakannya di negara asalnya.

”Kami merasa bangga jika mengenakan pakaian itu. Kamu bisa lihat di mana saja orang Afrika merantau, pasti mereka akan selalu membawa Kaftan. Baju ini adalah simbol identitas dan kami saling kenal melalui baju ini. Kalau kamu ke Inggris, Perancis, maka jangan kaget kalau lihat orang Afrika suka pakai baju seperti ini,”

Di kawasan Petamburan, banyak yang mengenakan baju seperti ini, namun baju serupa tidak banyak ditemukan di Jalan Jaksa. Pakaian yang dikenakan warga Afrika di Jalan Jaksa, adalah pakaian modern, sebagaimana layaknya orang Eropa lainnya.

Di salah satu kafe favorit warga Afrika di Jalan Jaksa, terlihat beberapa pemuda Afrika berdandan ala Bob Marley, yaitu rambut gimbal, baju hitam, ikat kepala berwarna merah, hijau, dan kuning, serta celana jeans ketat. Di sepanjang Jalan Jaksa, hanya ada tiga tempat yang selalu dipadati warga Afrika. 

Kafe itu adalah Alis Bar and Restaurant, yang selalu memperdengarkan musik khas Afrika, Cafe Absolute, dan Cafe Memories. Hampir setiap malam, warga Afrika selalu nongkrong di kafe ini sembari mendengarkan musik. Berdasarkan pengamatan di tiga kafe tersebut, nampaknya warga Afrika yang setiap malam di situ adalah mereka yang berusia 20-40 tahun. 

Umumnya, mereka mengenakan pakaian sebagaimana pengunjung kafe lainnya serta selalu bergerombol. Menurut seorang bartender di kafe itu, biasanya warga Afrika suka memesan minuman keras, namun mereka tidak sampai mabuk-mabukan. Mereka menjadikan kafe itu hanya sebagai ajang untuk bertemu dengan banyak rekannya yang lain.

Menurut Sissoko, ada perbedaan antara warga Afrika di Petamburan dan di Jalan Jaksa. Kalau di Jalan Jaksa, biasanya dipadati orang Afrika yang suka mengambur-hamburkan uang serta berbisnis ilegal. Sedangkan di Petamburan, biasanya dipenuhi warga Afrika yang niatnya hanya untuk berdagang garmen semata. Makanya, jika diamati, ada perbedaan gaya serta watak di dua tempat tersebut.

”Orang Afrika yang tinggal di Petamburan biasanya masih agak tradisional dan rajin ke masjid. Sementara yang di Jalan Jaksa, sudah terpengaruh dengan gaya Eropa. Makanya, mereka selalu boros dan kadang-kadang berbisnis yang ilegal. Saya kira, orang Afrika sama saja dengan orang Indonesia, ada yang baik, ada pula yang jahat,”  

Perbedaan watak ini menentukan perbedaan cara melihat persoalan. Jika warga Afrika Petamburan masih sangat rajin ke masjid dan memiliki orientasi religius yang kuat, maka warga Afrika di Jalan Jaksa justru lebih banyak yang mengonsumsi narkoba dan minuman keras.

Orientasi religius yang kuat ini menyebabkan interaksi dengan warga sekitar juga menjadi sangat kuat. Meskipun memiliki bentuk fisik yang berbeda, namun karena memiliki agama yang sama serta berinteraksi di masjid, melahirkan adanya interaksi yang cukup intens antara warga sekitar dan warga Afrika. Informan Rakhmat menuturkan.

“Awalnya, saya termasuk yang suka curiga dengan warga Afrika. Namun setelah selalu bertemu di masjid, saya mulai menghilangkan kecurigaan tersebut. Ternyata kita sama-sama Islam, artinya bersaudara. Makanya, kalau ada kegiatan di masjid ini, pasti akan melibatkan mereka. Mereka akan kita undang untuk berpartisipasi. Mereka selalu memberikan sumbangan sehingga warga sini tidak pernah curiga kalau melihat mereka”

Pertemuan di masjid itu, membuat interaksi warga sekitar dengan warga Afrika menjadi lancar. Artinya, kesamaan ideologis serta strata sosial telah mempertautkan hubungan antara warga Petamburan dengan warga Afrika tersebut. Meskipun, ada warga Afrika yang baru datang, maka mereka tidak sukar diterima warga sekitar karena memiliki strata sosial yang sama serta menganut agama Islam. Ini yang mempercepat proses diterimanya warga Afrika dengan warga sekitarnya.

Hal lain yang membuat warga Afrika diterima sebagai bagian masyarakat adalah adanya perkawinan dengan warga sekitar. Ini yang menyebabkan beberapa warga Afrika sudah tidak mau kembali ke negaranya sebab merasa sudah memiliki keluarga di Indonesia.

Menurut informan, perkawinan ini kerap membawa motif tertentu dan menguntungkan kedua belah pihak bagi warga Afrika maupun warga Indonesia. Dalam persepsi warga Indonesia, pernikahan itu akan menjadi cara yang ampuh baginya untuk keluar dari rantai kemiskinan. 

Fakta yang muncul dalam beberapa kali pernikahan campur di Petamburan adalah wanita Indonesia yang dinikahi selalu berasal dari strata keluarga menengah ke bawah. Sementara bagi warga Afrika sendiri, pernikahan itu akan menjadi jalan licin baginya untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia serta pindah ke Australia dan berharap agar kehidupannya lebih sejahtera di negeri kanguru tersebut.

Menurut informan, belakangan ini Australia banyak menolak warga Afrika yang masuk wilayah itu sebab dikhawatirkan akan melakukan kegiatan kriminal di sana. Namun dengan cara menikahi wanita Indonesia, maka mereka akan mudah memasuki wilayah Australia.

Berbagai strategi mulai dari kegiatan kultural di masjid hingga pernikahan itu membuat warga Afrika diterima sebagai bagian dari warga Petamburan. Informan Rakhmat menuturkan, dulu jika ada orang hitam tinggi besar lewat, menjadi tontonan tersendiri bagi mereka, terutama anak-anak. Kini kehadiran mereka malah menjadi peluang. 

Selain ada yang menyulap warungnya menjadi "toko" keperluan tamu hitam, banyak juga yang menjadikan rumahnya sebagai "hotel murah" atau kos-kosan tempat tinggal orang Afrika. Walaupun umumnya pedagang-pedagang berkulit hitam itu menginap di hotel-hotel sederhana seputar Tanah Abang, rumah penduduk tetap menjadi pilihan mereka. Menurut Rakhmat, rekan-rekan bisnisnya umumnya sangat perhitungan mengenai pengeluaran uang. 

Rakhmat juga mengatakan, di RW 02 Petamburan, sedikitnya ada delapan rumah warga yang disewa orang Afrika, tiga di antaranya dijadikan gudang. Namun ia tidak tahu berapa warga Afrika yang tinggal di sana. "Kami tidak pernah diberitahu pemilik rumah. Tahu-tahu rumah itu sudah ditempati orang negro," kata pria asal Makassar ini. 

Yang menarik untuk dilihat adalah identitas Afrika. Menurut penuturan Sissoko, warga Afrika memiliki kesadaran akan identitas sebagai bangsa Afrika. Pada saat mereka berada di negeri lain, maka saat itu terbentuk solidaritas serta relasi yang melintasi batasan-batasan negara Afrika.

Tiba-tiba saja, mereka melihat dirinya sebagai satu kesatuan yang saling bekerja sama sebab memiliki warna kulit dan ras yang sama. Identitas Afrika ini agak berbeda dengan identitas dari beberapa negara lain seperti negara yang ada di benua Eropa. 

Meskipun sudah ada integrasi kawasan pada Uni Eropa, namun tetap saja identitas yang terbangun adalah identitas negara. Apalagi, latar sejarah sesama negara Eropa ini berbeda-beda serta pernah saling serang di masa lalu. Identitas Afrika ini dimunculkan terus di Indonesia, sehingga menghilangkan semua batas negara demi melancarkan kepentingan bisnis masing-masing.

Tak hanya pakaian, identitas lain yang terus dimunculkan adalah berbagai rumah makan yang menyajikan makanan dari negerinya. Siapapun yang melintas di sepanjang Jl KS Tubun, akan mudah ditemukan begitu banyak restoran yang menyajikan menu khas Afrika.

Melalui restoran ini, terjadi kontak serta dialog dengan sesama warga Afrika. Yang menarik adalah beberapa restoran ternyata juga menjadi favorit dari warga lokal, misalnya sate afrika yang terletak di dekat Museum Tekstil. Pengunjung restoran ini tidak hanya warga Afrika saja, melainkan seluruh warga di sekitar jalan tersebut.

***

Sissoko juga beberapa kali mengeluhkan persepsi banyak orang Indonesia yang selalu memandang semua orang Afrika adalah Nigeria. Padahal, katanya, Nigeria hanyalah satu dari sejumlah negara Afrika yang warganya datang ke Indonesia.

Ada pula negara lainnya seperti Aljazair, Mali, Somalia, Senegal, hingga Kamerun. Meskipun mereka berasal dari berbagai negara, namun memiliki kepentingan yang sama yaitu bisnis. Ia juga mengeluhkan anggapan bahwa warga Afrika identik dengan narkoba dan obat bius.

“Saya merasa sedih karena warga Nigeria selalu dikaitkan dengan kegiatan kriminal, perdagangan obat bius dan dolar palsu, tanpa dicek terlebih dahulu. Saya mengakui kalau ada juga warga Afrika yang seperti itu, namun itu Cuma sedikit saja. Sama juga dengan orang Indonesia, ada yang baik, ada pula yang jahat. Mungkin, anggapan ini muncul karena Nigeria adalah negara yang terbesar jumlah penduduknya yaitu 120 juta orang dan wilayahnya terpopuler di Afrika Barat. Di London saja, ada 2 juta warga Nigeria yang berbisnis. Di manapun di dunia ini, jika anda bertemu lima orang hitam, maka dua di antaranya pasti warga Nigeria,” 

Sissoko mengakui, di antara pedagang, terdapat sejumlah orang yang membonceng situasi "menyenangkan" itu. Seperti rekannya, mereka juga menampilkan diri sebagai pedagang. Hanya saja, pekerjaan itu hanyalah sebagai kamuflase.

Karena tujuan utamanya ke Jakarta hanyalah bisnis narkotika. Lalu, satu-dua kasus narkotika yang melibatkan transaksi narkotika mulai diungkap polisi. Reaksi warga dan orang-orang Afrika itu sendiri belum berubah. 

Warga Afrika dan warga Tanah Abang masih berpikir, itu hanyalah kasus dan orang pasti bisa memilah antah dari beras. Maka, iklim belum berubah. Pasar Tanah Abang tetap ramai dikunjungi orang-orang benua Afrika. Restoran-restoran tetap padat. Taksi, ojek dan buruh-buruh angkut tetap bergairah melayani orang-orang itu. 

Di tahun 2000, sempat terjadi peristiwa besar ketika sebanyak 10 warga Afrika tewas dalam baku tembak dengan polisi ketika mereka digerebek sebagai tersangka pengedar narkotika. Sejak itu, sikap sebagian besar warga Tanah Abang telah berubah dalam menghadapi warga Afrika.

Di tahun 2003, peristiwa besar juga terjadi ketika puluhan warga Afrika penghuni Hotel Fokus di samping Pasar Tanah Abang, digelandang aparat karena diindikasikan berdagang obat bius. 

Peristiwa ini menimbulkan traumatik bagi warga sekitar sehingga sempat memandang curiga dengan warga Afrika. Sejumlah hotel langsung mengumumkan tidak menerima mereka menginap. Ini adalah masa-masa yang berat bagi mereka sebab harus memulai kembali interaksi dari nol. Mereka harus rela dipandang dengan penuh kecurigaan oleh warga sekitar. Namun, masa ini sudah terlewati.
    
***

TAK hanya mengembalikan suasana seperti di negaranya dalam bentuk pakaian, sikap, serta kuliner, warga Afrika juga membawa sejumlah nilai-nilai baru untuk dikembangkan, termasuk strategi penyelesaian konflik.

Menurut Sissoko, warga Mali memiliki sesepuh tersendiri sehingga kelak jika ada masalah, maka sang sesepuh yang akan terlebih dahulu menanganinya. Masalah itu bermacam-macam, khususnya konflik dengan warga sekitar. 

Terpilihnya seseorang sebagai sesepuh, tidak melalui mekanisme yang demokratis, namun dipilih berdasarkan aklamasi. Warga Mali melihat siapa warga yang paling senior serta paling kharismatis dan cerdas, sehingga dianggap bisa membantu menyelesaikan persoalan yang bisa jadi akan mendera mereka. 

Peran sesepuh ini sangatlah besar sebab akan terlibat dalam penyelesaian konflik yang terjadi baik di antara sesama warga komunitasnya, maupun antara warga komunitasnya dengan komunitas luar. Sebagai seorang senior, sesepuh lebih dulu datang ke Jakarta serta memiliki relasi atau jaringan yang kuat baik dengan pedagang lainnya ataupun dengan pihak pemerintah.

Menurut Sissoko, ketika ada konflik, maka pihaknya lebih suka penyelesaian melalui sesepuh ketimbang harus berurusan dengan kepolisian. Menurutnya, cara penyelesaian ini lebih efektif karena seorang sesepuh dikenal memiliki jaringan yang sangat luas sehingga menimbulkan ketergantungan di kalangan warga Afrika yang baru datang.

Seorang sesepuh memiliki otoritas serta jaringan yang kuat. Ketika seorang warga komunitas itu tidak mau mengindahkan sesepuh, maka ia akan kesulitan dalam berdagang. Aksesnya bisa tertutup sebab tidak mengindahkan aturan tidak tertulis yang dibuat seorang sesepuh. 

Dalam konteks ini, seorang sesepuh berperan sebagai aktor yang berusaha “menjaga” nilai-nilai dan memediasi setiap konflik yang terjadi. Sejauh ini, konflik yang ada hanya berkisar pada konflik di kalangan warga Afrika sendiri untuk hal-hal seperti rebutan pengiriman barang, kontrak dengan ekspedisi, atau kuota pembelian barang. Biasanya, seseorang sesepuh akan memberikan masukan yang kemudian diterima sebagai sebuah keputusan oleh warga komunitas lainnya. 

Dalam studi sosiologi, Van Eldijk (1987) mempergunakan istilah “tawar-menawar isu” (issue bargining) untuk menunjukkan bahwa pihak-pihak yang bersengketa dan lembaga-lembaga dalam suatu pengelolaan konflik merundingkan suatu tema atau isu untu diputuskan. Perundingan ini berjalan dalam suatu “arena”, sebuah istilah yang sedikit berbeda dengan istilah “forum.”

***

Saya menyimpan banyak catatan seusai berjumpa warga Afrika di Tanah Abang. Saya melihat, setiap komunitas Afrika yang memasuki suatu negara, akan memperkuat relasi berbasis modal sosial, membawa nilai-nilai lokalnya dan berusaha untuk mempertahankan nilai itu di tempat baru. Nilai-nilai itu didefinisikan sebagai kebudayaan yang mencakup kebiasaan-kebiasaan, hukum,  atau tradisi yang hidup di masyarakat serta menjadi panduan dalam melihat satu masalah. 

Setiap kebudayaan memiliki kecenderungan untuk mempertahankan dirinya ketika berhadapan dengan kebudayaan dominan sehingga memungkinkan terjadinya proses tarik-menarik, apakah mengikuti kebudayaan dominan ataukah tetap berada dalam bingkai kebudayaannya sendiri.

Budaya Afrika yang di Tanah Abang itu telah lama bersintesa dengan budaya lokal. Kebudayaan Afrika akan terus berkembang, sehingga dimungkinkan lahirnya sebuah proses akulturasi atau lahirnya kebudayaan baru. Kebudayaan ini bersifat hybrid dan senantiasa berada dalam proses dinamis yang terbentuk secara terus-menerus.

Kebudayaan Afrika yang ada di Kota Jakarta, jelas memiliki ”bentuk” yang berbeda dengan kebudayaan Afrika di negeri asalnya. Interaksi ini ”bekerja” secara timbal balik sebab juga kian memperkaya kebudayaan masyarakat Jalan Jaksa dan Petamburan.

Saya juga tertarik karena orang Afrika di Jakarta pada dasarnya heterogen. Akan tetapi, mereka selalu didefinisikan satu identitas oleh warga lokal. Pengamatan pada komunitas Afrika yang ada di dua lokasi tersebut, menunjukkan kalau mereka berasal dari berbagai negara –yang boleh jadi saling berkonflik-- serta kebudayaan berbeda yang terlihat dari pakaian, agama, serta kebiasaan.

Bahkan, mereka memiliki bahasa yang berbeda, ada yang berbahasa Inggris, ada pula yang berbahasa Perancis sebab mengikuti bahasa negara yang pernah menjajah negara mereka. 

Namun, ketika mereka berada di Indonesia, seluruh keragaman itu seakan memudar dan berganti dengan satu identitas yaitu Afrika. Ini hampir sama dengan fenomena yang ada pada komunitas Cina dan Arab. Meskipun komunitas ini memiliki banyak etnis serta bahasa atau dialek berbeda, namun ketika meninggalkan negaranya akan melebur dalam satu identitas.

Saya berharap bisa datang lagi ke sana untuk mengecek ulang beberapa data lapangan yang saya temukan di sana.




1 komentar:

Pondokmobile mengatakan...

Trimakasih infonya bang..
Kalau boleh saya minta data buyer-buyer untuk memasarkan produk saya dan serta info ekspedisi yg mereka gunakan
Mohon keikhlasan untuk infonya
@ ajociek@gmail.com

Posting Komentar