Lima Potensi kekalahan Jokowi




DI atas kertas, lingkaran inti Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa jumawa dan yakin kemenangan akan berada di tangan. Tapi di banyak sisi, mereka harus waspada. Persepsi publik sedang dikondisikan ke arah hal negatif atas kerja pemerintah. Kartu agama mulai dimainkan. Mesin jejaring anti-Jokowi mulai dipanaskan. Dukungan atas Jokowi diharapkan akan terus tergerus.

Dengan instrumen yang lebih canggih, tim kerja itu banyak belajar dari kekalahan pilpres lalu. Kini, berbagai anti-tesa atas kerja-kerja Jokowi sedang disusun. Dalam dunia politik, kebenaran adalah kebohongan yang dikalikan seribu. Jika Jokowi membangun seribu kebenarannya maka tim lawannya juga sedang membangun seribu kebenaran lain.

Selamat datang di tahun 2018, tahun ketika genderang politik mulai ditabuh dan berbunyi nyaring.

***

KAWAN itu mengajak saya bertandang ke kantornya, lembaga riset yang cukup berpengaruh di Jakarta. Dia menunjukkan kerja-kerja lembaganya yang intens dikerjakan setahun terakhir. Dia memperlihatkan arsip analisis media yang dilakukannya. Dengan menggunakan content analysis dan discourse analysis, dia menunjukkan bagaimana perlahan-lahan dukungan para pemerintah melemah belakangan ini. Dia meminta opini saya atas kerja-kerja politik yang dilakukannya.

Dia tersenyum saat mengatakan bahwa proses pengkondisian opini bergerak lebih cepat dari yang dibayangkannya. Selama beberapa bulan terakhir, dia menjadi tim intelektual yang tugasnya mengumpulkan semua data-data mengenai kinerja pemerintah, melakukan analisis media, berkoordinasi dengan ahli-ahli strategi politik, lalu membuat banyak rekomendasi yang diserahkan ke tim-tim lapangan.

Di ranah media sosial, dia menjadi kreator konten yang merancang isu-isu untuk diterjemahkan menjadi meme, karikatur, grafis, juga berbagai postingan yang isinya adalah kritik pada pemerintah. Semua postingan itu lalu disebar ke ribuan grup whatsapp, facebook, twitter, hingga dioper ke para jurnalis yang telah lama dibina. Dalam beberapa hari kemudian, dia akan menganalisis efek dari postingan yang disebarnya. Dia akan menggunakan berbagai metodologi untuk melihat pergerakan isu, mulai dari analisis jaringan sosial, hingga analisis wacana kritis. Kerjanya cukup tertata. Ketika satu isu gagal, dia akan mendorong isu lain.

Dia mengaku hanya bermain di ranah intelektual. Tapi, dia juga bercerita bahwa ada tim lain yang bekerja lebih canggih, sebab memiliki barisan intelektual dan para “petarung medsos” berupa sejumlah orang yang siap sedia meladeni perdebatan, memberi komen negatif, dan menyebar jaringan ke mana-mana. Terhadap tim ini, dia tahu sama tahu. Tapi mengaku tidak ada koordinasi. “Kami fokus pada ranah intelektual. Soal bagaimana menjadi petarung medsos, biarlah itu menjadi kerja tim lain,” katanya.

Dia bercerita hal yang cukup menarik. Menurutnya, para petarung medsos bukan tipe intelek. Peran mereka sebatas hanya “berkelahi.” Peran mereka bukan untuk berdiskusi, tapi menebas sana-sini. Amunisinya disiapkan oleh tim-tim intelektual. Para petarung medsos itu seakan-akan pintar dan penuh ide-ide, padahal mereka bekerja sesuai dengan konten yang dipasok oleh lingkar inti.

Rupanya, tim pesaing Jokowi belajar dari kesalahan saat arena Pilpres 2014. Pada saat itu, tim yang dominan adalah tim petarung medsos, tanpa amunisi pengetahuan yang cukup. Efek yang muncul adalah efek “bumerang” ketika semua amunisi itu malah balik menghantam diri sendiri. Kali ini, kerja-kerja tim itu lebih tertata. Jangan berharap menyaksikan satu opera yang skenarionya berulang. Berbagai skenario dan simulasi telah dirancang untuk membuat kerja-kerja tim itu lebih greget.

Biarpun pilpres masih akan berlangsung pada tahun 2019 dan Jokowi tengah kuat-kuatnya, dia tak patah arang. Tahun 2018 akan menjadi arena bagi semua tim untuk memanaskan mesin politik. Kandidat capres akan mulai bergerilya di semua ajang pilkada. Momen politik itu akan menjadi barometer untuk melihat siapa pemenang. Ibarat tanaman, Jokowi berharap dua tahun ini program-program populis yang ditanamnya akan panen dan berbuah. Tapi hasilnya belum tentu akan sesuai keinginan Jokowi. Para pesaingnya bisa mencegat di banyak momen dengan membawa data sendiri.

***

JUMPA pers itu akhirnya dimulai. Juli 2017 lalu, Denny JA, petinggi Lingkaran survei Indonesia (LSI) menggelar konferensi pers. Ia menyebut bahwa Jokowi berpotensi akan kalah. Dia mengatakan elektabilitas Jokowi saat ini lebih rendah dari Susilo Bambang Yudhoyono, dua tahun sebelum periode keduanya. “Jokowi di H minus 2 (dua tahun sebelum pilpres) tak sekuat SBY pada saat yang sama,” katanya.

Denny memang konsultan yang dahulu berafiliasi ke SBY, akan tetapi sinyalemen yang dikemukakannya bisa menjadi kebenaran. Elektabilitas Jokowi rata-rata berada di bawah angka 45 persen dengan aneka simulasi. Sementara SBY pada periode yang sama, yakni tahun 2007, dua tahun sebelum pilpres, selalu di atas 55 persen, juga dengan berbagai simulasi.

“Bagi incumbent, jika dukungan di bawah 50 persen, itu adalah sesuatu. Bahkan Ahok saja selaku incumbent (gubernur Jakarta) yang H- 1 tahun dengan dukungan hampir 60 persen bisa tumbang,” ujar Denny.

Rilis terbaru dari Indo Barometer di awal Desember 2017 menunjukkan bagaimana peta dukungan capres. Jokowi memiliki elektabilitas 34,9 persen. Di bawahnya, ada nama Prabowo Subianto yang meraih 12,1 persen. Posisi Jokowi terbilang tidak aman. Idealnya, ia bisa mendapatkan elektabilitas di atas 50 persen sebagai petahana yang setiap saat bergerak ke mana-mana dan bertemu masyarakat.

Ada beberapa hal yang bisa menggerus dukungan buat Jokowi dan kini tengah dimainkan oleh lawan politiknya.

Pertama, Ahok Effect yakni kembali digunakannya kartu-kartu agama yang intinya menyatakan bahwa Jokowi anti-Islam melalui sejumlah kebijakannya. Kartu-kartu ini akan semakin banyak tampil di permukaan malah memanas seiring dengan tahun politik yang sedang berjalan. Biarpun prestasinya mentereng, tapi ketika diberi label sebagai anti-Islam, maka semua prestasi itu akan rontok seketika. Formula yang sama sukses diterapkan saat pemilihan Gubernur DKI yang lalu.

Kebijakan Jokowi yang dianggap mengabaikan sejumlah kelompok Islam, serta hanya memberi ruang bagi kepentingan sejumlah organisasi, di antaranya MUI, Muhammadiyah, dan NU, diyakini akan terus menjadi bara yang dipanaskan setiap saat. Jokowi sedang berhadapan dengan arus politik identitas serta bangkitnya perlawanan kelompok Islam yang kian garang dengan aksi berjilid-jilid. Jika dirinya tidak bisa menemukan formula yang bisa menenangkan semua pihak, maka kursinya akan lepas dan jatuh ke pihak lain.

Yang dikhawatirkan adalah kekuatan-kekuatan yang mengatas-namakan agama ini bisa bersinergi dengan sejumlah pihak yang menguasai arus kekuatan finansial. Sinergi dua kelompok ini bisa membahayakan Jokowi. Satu memakai identitas agama, satu lagi menjadi mesin penggerak dengan kekuatan modalnya. Maka berbagai isu dan gerakan besar bisa menjadi bom yang akan meledakkan semua pencitraan Jokowi.

Kedua, isu komunisme dan asing. Isu komunis ini bergandengan dengan isu agama. Isu komunisme akan semakin sering santer ditujukan kepada lingkaran Jokowi. Biarpun sudah mulai ada upaya untuk membangun wacana tanding, publik yang terlanjur terkena hasutan ini akan terus mengangkat isu ini sehingga kian memuncak seiring dengan tahun politik yang sedang berjalan. Isu komunis masih cukup efektif untuk menyentuh militer aktif agar memberikan dukungan pada siapapun yang berteriak paling lantang untuk melawan komunis.

Isu asing juga akan semakin marak. Isu negara telah dijual kepada pihak Cina akan menjadi jualan politik yang laris. Kebijakan Jokowi yang pro pada investasi akan ditafsirkan sebagai upaya memberi ruang bagi asing untuk mencaplok ekonomi Indonesia, serta gagalnya Jokowi membangun kemandirian dan penguatan ekonomi pribumi.

Ketiga, dukungan militer. Isu digesernya Panglima TNI Gatot Nurmantyo ditanggapi beragam oleh banyak pihak. Jika prosesnya memang normal-normal saja, maka semuanya akan berlalu begitu saja. Tapi jika prosesnya meninggalkan luka bagi sejumlah perwira militer, maka ini akan menjadi bumerang di kemudian hari. Jika terjadi koalisi antara militer dan gerakan sosial yang tengah marak di ibukota, maka peluang Jokowi akan semakin menipis. 

Bagaimanapun juga, militer punya semua sumber daya untuk menggerakkan banyak kekuatan di masyarakat. Mereka juga punya basis data intelijen yang sekian puluh tahun sudah menyerap banyak dinamika dan friksi di antara berbagai laporan masyarakat. Sekali mereka mendukung satu pihak, maka potensi kemenangannya akan besar. Inilah risiko yang dihadapi Jokowi, meskipun dirinya sudah menunjuk seorang panglima yang baru.

Keempat, kepentingan sejumlah aktor yang berkeinginan menjadi pendamping Jokowi. Dilema yang dihadapi adalah bagaimana membangun sinergi, agar tidak ada pihak yang merasa diabaikan begitu saja. Satu barisan sakit hati, akan melahirkan satu kelompok yang berpotensi berkoalisi dengan penentangnya lalu ikut menjegal dirinya.

Dalam banyak sisi, Presiden adalah aktor tunggal yang harus bisa menjaga irama kepentingan sejumlah  pihak. Ketika dirinya memutuskan berpasangan dengan satu pihak, maka pihak lain yang berkeinginan sama bisa berpotensi sakit hati, lalu bergabung dengan gerakan yang hendak menjatuhkan dirinya.

Kelima, sinergi kaum akademisi dan intelektual. Sebagaimana telah saya katakan di atas, sejumlah lembaga riset sudah mulai mengumpulkan rapor kelemahan Jokowi. Mulai dari naiknya harga-harga kebutuhan dasar masyarakat, naiknya BBM, lalu iklim ekonomi yang dirasakan tidak kondusif serta hanya berpihak pada sejumlah kalangan.

Rapor Jokowi juga dilihat dari beberapa sektor, khususnya sektor pertanian, kelautan dan perikanan, perdagangan, dan bagaimana kesejahteraan masyarakat desa. Sejauh ini, rapor itu tidak terlalu mentereng di banding pemerintahan sebelumnya. Rapor ini akan menjadi amunisi yang siap memuntahkan peluru saat momen ekspos keberhasilan pemerintah.

Data-data yang ada dalam rapor ini kemudian diserahkan kepada tim-tim media di lapangan, yang lalu diolah dan dikemas menjadi sejumlah isu, mulai dari pemberitaan media hingga meme, karikatur, dan hoax. Semua isu ini lalu menjadi amunisi yang disetor ke kanal media sosial, disambut dengan girang oleh penyebar isu, di-retweet dengan bahagia oleh semua tim-tim lapangan, diiklankan di Google dan Facebook agar menyentuh jutaan orang, setelah itu duduk manis sembari memantau efek dari isu-isu tersebut.

***

SAAT ini, Jokowi masih meraih elektabilitas tertinggi. Tapi di tahun politik itu, boleh jadi elektabilitasnya bisa semakin menurun. Kebijakan Jokowi yang mengedepankan infrastruktur memang positif, tapi kebijakan itu berorientasi pada jangka panjang. Dalam jangka pendek, warga harus terbiasa mengencangkan ikat pinggang dan memahami sejauh mana kerja-kerja pemerintah yang menata masa depan lebih baik buat mereka.

Mungkin saja Jokowi berpikir bahwa kebijakan itu ibarat menanam buah, yang kelak akan tiba satu masa memanen. Dua tahun sebelum pilpres, ia harus memastikan bahwa proses memanen buah itu akan benar-benar terjadi. Jika tidak, semua lawan politik telah memiliki catatan tentang sisi mana saja yang menjadi celah dari kebijakannya.

Yang pasti, beberapa lembaga riset sebagaimana tempat kawan saya bekerja, telah memiliki catatan tentang apa yang terjadi. Lembaga-lembaga ini hanya membutuhkan para pengendali isu, spin doctors, dan sejumlah pihak yang bisa menyetir informasi sehingga jadi amunisi yang akan meluluh-lantakkan Jokowi.

Pada akhirnya, politik akan mengikuti formula Harold Lasswell, yakni “siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana.” Pemenangnya tidak selalu mereka yang bekerja, tapi mereka yang diam, menunggu saat yang tepat, kemudian mengambil alih semua kendali wacana dengan strategi yang tepat. Jokowi menang dengan strategi yang matang, maka andaikan dia kalah, maka pasti dikalahkan oleh strategi yang jauh lebih matang.

Kita akan menjadi saksi atas duel wacana yang akan semakin menghangat di tahun politik nanti.



0 komentar:

Posting Komentar