Setelah HAI Menemui Senjakala

Edisi Terakhir Majalah HAI (foto: Antara)

TAK ada hal yang mengejutkan saya minggu ini selain dari ditutupnya edisi cetak Majalah HAI. Media itu akan migrasi ke format digital. Beberapa hari lalu, HAI mengeluarkan edisi cetak terakhir yang bertajuk We Need More Space. Terasa optimis. Tapi entah kenapa, saya merasa sedih. Ada satu rongga dalam hati yang hilang. Memang, para jurnalis, fotografer, dan ilustrator tetap berkiprah. Namun, ditutupnya edisi cetak akan menghilangkan satu mata rantai penerbitan, mulai dari pra-cetak, tim cetak, hingga tim sirkulasi yang membawa media ke seluruh titik.

Majalah HAI bukanlah yang terakhir. Bos Google, Eric Schmidt, telah memprediksi media cetak akan bertumbangan. Di belakang HAI, akan menyusul banyak media. Di seluruh dunia, napas media cetak mulai kembang kempis dalam menyiasati persaingan di abad serba digital. Di era yang serba bergegas ini, media cetak seolah milik mereka yang masih memelihara gaya “old school.” Media cetak hanya milik para pemain yang terlanjur punya nama besar. Juga milik mereka yang romantis, yang masih menyukai aroma khas kertas yang baru saja dicetak dengan warna-warni indah.

Saya pernah merasakan bagaimana bekerja dalam satu media dalam format cetak. Hari-hari bergerak dengan serba cepat. Semuanya serba dinamis. Irama di dunia cetak adalah irama yang tak boleh putus. Para jurnalis tak kenal waktu menyiapkan bahan liputan, mematuhi deadline. Para redaktur mengendalikan para jurnalis lalu berkolaborasi dengan redaktur lain demi menyiapkan menu utama media. Redaktur juga berkoordinasi dengan tim pra-cetak yang segera menyiapkan instrumen agar kerja-kerja tim redaksi segera diproses.

Tak boleh ada satu mata rantai kerja yang terganggu. Semuanya harus sesuai jadwal. Begitu ada yang terganggu, maka akan mempengaruhi mata rantai ekosistem media, hingga berdampak pada terlambat koran atau majalah sampai di hadapan pembaca yang akan memulai hari. Sekali anda terlambat, pelanggan akan berpindah ke media lain yang lebih tepat waktu. Perlahan, anda akan kehilangan momen, lalu tergilas.

Ditutupnya satu media cetak adalah kiamat bagi banyak orang, khususnya mereka yang bekerja di lini cetak dan sirkulasi, khuussnya mereka yang berlumur tinta dan mesin-mesin cetak. Di era digital, profesi mereka perlahan akan punah, jika tidak segera mencari bentuk yang pas, mereka akan menambah barisan profesi yang tak bisa bertahan di era digital.

Perubahan ibarat luncuran bola salju yang tak bisa direm. Dahulu, era cetak berkontribusi besar pada lahirnya peradaban hari ini. Ketika mesin cetak diperkenalkan Guttenberg, ilmu pengetahuan mengalami demokratisasi, lalu tersebar secepat kilat. Pengetahuan yang dahulu hanya milik sejumlah orang di istana dan biara-biara menjadi milik publik yang bisa diakses siapapun.

Seiring waktu, informasi tak lagi bersemayam di lembar-lembar kertas. Informasi semakin tersimpan dalam setiap byte kapasitas penyimpanan. Informasi juga bisa diawetkan dalam cloud ataupun Google Drive, bisa digandakan secepat kilat dan diluncurkan di banyak media sosial. Informasi jauh lebih cepat dari desingan panah yang meluncur, malah lebih cepat dari peluru yang hendak menyasar satu titik.

beberapa cover Majalah Hai

Biarpun HAI mengklaim tetap eksis, sebab hanya pindah ke format digital, saya tetap merasa kehilangan. Majalah ini dahulu adalah trendsetter dari semua media untuk generasi baru yang suka hal dinamis. Majalah ini pernah menjadi ikon gaya, lifestyle, hingga menentukan selera anak muda. Saya pernah menjadikan majalah ini sebagai kiblat saat menjadi redaktur media kampus. Saya pernah meniru konsep layout serta bagaimana kemasan liputan media ini.

Namun, tak bijak juga menyalahkan kemajuan ataupun era digital sebagai penyebab ketertinggalan media cetak. Sama tak bijaknya mengatakan bahwa media digital akan mudah mendulang sukses. Di manapun, semua akan berhadapan dengan persaingan. Belajar dari Charles Darwin, tentang survival of the fittest, yang bisa bertahan bukanlah yang paling hebat, tapi yang paling adaptif. Buktinya, masih ada beberapa media cetak yang tetap eksis serta masih memiliki khalayak. Tapi, tetap saja ada sesuatu yang mengganjal. Mengapa media besar yang dahulu menentukan semua trend kok tiba-tba kolaps?

Saya menemukan jawabannya dalam satu artikel yang dibuat oleh eks jurnalis HAI. Dia mengutip jurnalis senior Arswendo Atmowiloto, yang juga membidani HAI. Kata Mas Wendo, demikian ia disapa, bisnis media cetak selalu terkait ide-ide dan gagasan. Kekuatan media adalah saat bisa merekam denyut nadi satu zaman lalu menjadikan medianya sebagai etalase sekaligus kompas di zaman itu. Ketika ada media yang mati, maka berarti media itu kehilangan ide sebagai denyut nadi kehidupannya. Dia kehilangan sesuatu yang dianggap menarik, yang bisa memaksa orang lain untuk mencari dan menemukan media itu.

Boleh jadi, banyak media cetak yang kehilangan ide-ide. Bisa jadi, banyak media yang memang gagal mempertahankan atensi para pembacanya, serta gagal meyakinkan para pembaca baru untuk setia mengikuti aliran informasi di media itu. Zaman terus bergerak, sementara banyak media masih bertahan dengan pola bisnis serta model lama. Ini bukan lagi era di mana media adalah segala-galanya. Bukan lagi zaman media bebas melakukan apapun, dan pembaca ibarat kerbau yang dicucuk hidungnya, lalu dipaksa untuk mengikuti trend. Di era ini, perubahan adalah mantra sakti untuk terus bergerak, sebab jika tidak, zaman bisa menggilas semuanya. Tentu saja, yang survive adalah mereka yang adaptif dan bisa memahami aksara zaman ini yakni kecepatan, kreativitas, serta kekuatan ide-ide.

Mengikuti hukum evolusi, seiring waktu, media yang masih berpikir dengan cara lama itu akan tertatih-tatih lalu mengalami senjakala. Media itu akan mengalami takdir yang disebut penyanyi Ebiet G Ade, ‘roda zaman menggilas kita, terseret tertatih-tatih.’


Bogor, 11 Juni 2017



BACA JUGA:




0 komentar:

Posting Komentar