Membaca Catatan Raymond WESTERLING



Di Sulawesi Selatan, nama Raymond Westerling sering dilafalkan dengan penuh kebencian. Perwira pasukan khusus Belanda ini dianggap telah menghilangkan 40.000 nyawa rakyat Sulawesi Selatan. Dia dikenal bengis, kejam, dan lihai menembak. Pribadinya menjadi momok atas peperangan yang sedemikian kejam.

Namun bagaimanakah kesaksian Westerling atas segala tuduhan itu? Apakah ia merasa berdosa telah membunuh rakyat Sulsel demikian banyak? Bagaimanakah pendapatnya terhadap segala informasi tentang dirinya di buku-buku sejarah?

Saya menemukan catatan Westerling dalam buku Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950 yang ditulis Gert Oostindie. Buku ini menjadi catatan paling humanis tentang para serdadu yang dikirim berperang ke tanah air. Peperangan bisa membelah manusia dalam dua kubu. Manusia tak punya banyak pilihan. Namun melihat perang secara hitam putih, tak tepat benar.



Dalam memoarnya, Westerling menyebut tindakan itu memang harus dilakukannya untuk menciptakan keamanan dan ketertiban. Sebagai pasukan khusus, ia bergerak cepat dalam situasi yang disebutnya runyam. Ia mengatakan:

“Saya juga bersikeras bahwa saya dengan mengorbankan sejumlah nyawa telah menyelamatkan puluhan ribu nyawa lainnya. Nyawa-nyawa yang saya lenyapkan adalah nyawa para penjahat, puluhan ribu yang saya selamatkan adalah nyawa-nyawa dari para orang yang tak berdosa,”

Bagi Belanda, situasi saat itu sangat runyam. Banyak terjadi kerusuhan. Kriminalitas meninggi. Banyak penjahat yang mengaku seolah-olah mereka adalah pendukung tentara republik. Kehadiran pasukan khusus yang dipimpin Westerling adalah jalan keluar untuk mengamankan situasi. Benarkah korbannya hingga 40.000 nyawa?

Sebelum membaca catatan Westerling, saya membaca catatan Salim Said saat dirinya mewawancarai Westerling di Belanda pada tahun 1970-an. Ia penasaran dengan klaim pemerintah tentang jumlah korban 40.000 nyawa. Masih dalam catatan Salim Said, beberapa upaya pelacakan korban Westerling, hasilnya jauh dari angka itu, Makmur Makka melacak korbannya sekitar 3.000 jiwa. Anhar Gonggong menunjuk angka ribuan, yang tidak semuanya dilakukan Westerling.

Kepada Salim, Westerling hanya menyebut angka 463 jiwa. Itupun tidak semuanya tewas karena pistolnya yang menyalak. Sebagian besar justru dibunuh oleh anak buahnya. Harus diingat, anak buah Westerling di masa itu kebanyakan orang Indonesia. Tak tepat juga menimpakan kesalahan hanya pada Westerling seorang, meskipun ia mengakui sebagai pihak yang memerintahkan pembunuhan itu.

Pada masa itu, Belanda hendak membentuk negara boneka Indonesia Timur ciptaan Van Mook. Belanda ingin menunjukkan bahwa tidak semua wilayah republik tunduk pada Sukarno. Di saat bersamaan, banyak gerombolan yang memanfaatkan situasi itu untuk meneror masyarakat. Demi mengatasi keadaan menjadi tenang dan damai, Jenderal Spoor mengirim sahabatnya Westerling yang membawa 900 prajurit

Yang menarik, dalam buku ini, Westerling menyebut tindakannya secara terbuka. Mungkin ia memang berniat agar sejarah versi dirinya bisa sampai ke publik. Ia resah dengan catatan sejarah yang menyebut dirinya sebagai orang jahat.

“Kadang saya dianggap aneh. Apa yang saya lakukan? Saya telah membunuh empat laki-laki. Kesemuanya pembunuh. Dengan cara ini saya mengakhiri pembunuhan dan kejahatan mereka, yang telah menewaskan ratusan korban tak bersalah,” kata Westerling.

Dalam catatan Belanda, penanganan Westerling itu telah merebut hati masyarakat. Setelah pembunuhan secara terbuka yang dilakukannya, banyak masyarakat yang mendukung dan mau bekerjasama dengannya. Dalam catatan pemimpin militer Belanda, Westerling mendapatkan penghargaan tinggi karena mendamaikan situasi. Mungkin saja ini terkait dengan shock therapy yang membuat orang-orang ketakutan.

“Saya membunuh dengan tangan saya sendiri karena saya ingin mempertanggungjawabkannya sendiri. Saya membunuh para pembunuh yang telah melakukan kekejaman yang tak terhitung besarnya. Saya tidak membunuh orang yang tidak bersalah. Saya membawa kedamaian di wilayah-wiilayah yang dipercayakan kepada saya.“

Catatan Westerling ini memang harus dibaca dengan kritis. Bisa jadi, ia sedang membangun justifikasi atas tindakannya. Point penting yang bisa dipetik adalah dalam situasi peperangan, semua pihak menjalankan apa yang dianggapnya baik. Pada masa itu, Westerling menganggap dirinya sedang menjalankan misi untuk menciptakan keamanan dan ketertiban.

Kata Salim Said, Sulawesi Selatan punya sejarah perlawanan yang cukup heroik. Mereka menolak untuk berada di bawah Belanda, sehingga melakukan perlawanan. Potensi perlawanan itu yang ditakuti Belanda, lalu dipadamkan dengan penanganan ala Westerling. Belanda berpikir, sebelum api perlawanan itu membesar, mereka harus segera diberi efek kejut.

Yang menarik, dalam buku ini, saya baru tahu kalau dalam masa perang, serdadu Belanda yang asli Eropa, malah tak begitu banyak. Yang banyak adalah orang Indonesia yang berada dalam kubu Belanda. Mereka tentara yang dibayar secara profesional. Dalam catatan Salim Said, banyak orang yang benci Sukarno sebab pernah menderita di zaman Jepang, seperti Romusha, Heiho, dan sebagainya, yang merupakan hasil kerjasama politik Sukarno dengan Jepang.

Hal lain yang saya tertarik adalah Wsterling pasca-aksinya di Sulawesi. Ia pensiun sebagai tentara pada tahun 1948. Ia menjalani masa pensiun dengan menjadi pengusaha bidang perkebunan di Jawa Barat. Dia kawin dengan janda keturunan Perancis dan menetap di Puncak. Tapi ia tak lama menjalani pensiun, sebab terlibat dalam gerakan Ratu Adil. Ia menerima posisi pemimpin Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dikendalikan imam tertinggi Darul Islam, Kartosuwiryo. Hingga akhirnya, Westerling kembali ke Belanda dan melalui masa tuanya di sana.

Kehidupannya di Belanda tak begitu membahagiakan. Ia mencoba jadi penyanyi opera, namun gagal. Pernah ingin jadi penulis, tapi juga tidak berhasil. Dia masih tetap bergaul dengan eks tentara Belanda yang bertugas di Indonesia. Peperangan itu tak menyisakan trauma baginya. Ia mengaku bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya.

Saat ditemui Salim Said, kerut-kerut nampak di wajah Westerling. Ia telah berusia tua, namun tetap tegap. Ia masih bisa menembak dengan tepat lima tutup botol yang dilepas, pada satu lomba yang diadakan di satu bar.  Dari sisi kemanusiaan, tindakannya jelas bar-bar. Tak akan dibenarkan dalam kitab manapun membunuh begitu banyak, bahkan terhadap musuh sendiri. Namun saat Salim Said bertanya tentang korban 40.000 nyawa yang dibantainya, ia tertawa ngakak. “Tanyakan pada Sarwo Edhie, Komandan Pasukan Khusus Indonesia, berapa banyak yang bisa dibunuh oleh pasukan khusus itu dalam waktu singkat.”

Pernyataan terakhir ini, membuat saya terhenyak. 


Bogor, 22 Juni 2017



1 komentar:

Anonim mengatakan...

Berdasarkan cerita dari kakek buyut saya, pada masa itu entah Westerling atau pasukannya, mencari jejak mereka yang memberontak. Ada daftar nama untuk mencari mereka satu persatu. Begitu seseorang diketahui namanya ada di dalam daftar itu, dia langsung ditembak mati di tempat.

Kakek buyut saya termasuk di dalamnya. Tapi, dengan alasan (yang mungkin sebagian orang menyebutnya pengecut) dia harus melindungi keluarganya dan juga janda dan anak-anak dari mereka yang dibunuh, kakek buyut lalu tidak mengaku dan mengubah namanya yang kemudian dipakainya sampai akhir hayatnya. Beliau juga membantu menguburkan banyak korban penembakan sampai malam hari. Lokasinya pemakaman mereka sekarang disebut Monumen Korban 40.000 Jiwa.

_cicit seorang pejuang
_berdasarkan cerita kakek buyut tentang hidup mati perjuangan kemerdekaan NKRI

Posting Komentar