Suatu Hari Bersama George Aditjondro

Geroge Junus Aditjondro di masa muda

LELAKI penuh cambang itu datang ke ruangan saya di tahun 2004. Pada saat itu saya bekerja sebagai Litbang di Harian Tribun Timur, media milik Kelompok Kompas Gramedia (KKG) di Makassar, Sulsel. Dia meminta waktu untuk berdiskusi. Dia memperkenalkan diri sebagai George Junus Aditjondro, warga Makassar yang lama bertualang di luar sana.

Dengan senang hati, saya menerimanya. Dia menunjuk satu artikel yang saya buat di koran itu. Seminggu sebelumnya, saya menulis tentang peristiwa bom meledak di Makassar selama lima tahun. Saya mengandalkan bank data yang kami miliki tentang apa saja peristiwa bom di kota itu. Rupanya, catatan saya telah dibingkai lelaki itu. Ia datang menemui saya untuk menanyakan beberapa nama yang saya sebutkan.

Saya memberinya informasi sebanyak mungkin. Tak hanya itu, saya pun membekalinya dengan semua arsip liputan media, yang telah saya simpan dalam bentuk pdf. Kami bertukar nomor hape. Dia sempat mengajak saya untuk ngopi di satu warung kopi di Makassar demi mendiskusikan beberapa data yang saya serahkan.

Saya dan seorang rekan jurnalis dimintanya menjadi informan. Tadinya saya ragu-ragu. Ia meyakinkan saya kalau yang dibutuhkannya hanyalah berdiskusi serta sharing beberapa data dan temuan. Ia tak menjanjikan materi atas permintaan itu. Tapi saya justru dengan ikhlas bersedia menemaninya diskusi serta berbagi informasi. Pada lelaki itu, saya tak menemukan satupun niat jahat. Malah saya merasa senang bisa mendapat kawan diskusi yang setiap saat bersedia menjawab semua pertanyaan saya.

Pada saat itu, saya masih berusia 23 tahun. Saya baru saja lulus dari satu perguruan tinggi. Pengalaman pertama saya bekerja adalah menjadi jurnalis dan staf litbang di koran itu. Tugas saya adalah mengumpulkan semua arsip lalu memperkaya liputan dengan berbagai data. Meskipun media itu masih baru, saya diberi akses ke berbagai bank data dan sumber informasi, yang kelak bisa digunakan untuk berbagai keperluan.

Saat itu, saya hanya mengenal nama George Junus Aditjondro dari beberapa buku yang dibuatnya. Saya tahu kalau dirinya adalah jurnalis Tempo, yang kemudian melanjutkan program doktoral di Cornell University. Setahu saya, dia malah menjadi dosen di Australia, yang kemudian ditinggalkannya demi rasa haus atas riset dan investigasi di tanah airnya sendiri.

Di awal reformasi saya mengumpulkan bukunya yang kebanyakan berkisah tentang konflik sumber daya alam. George beda dengan banyak peneliti lainnya. Dia tak hanya mengurai apa saja dampak ekologis yang disebabkan oleh merajalelanya pembangunanisme serta keserakahan manusia, tapi juga menginvestigasi siapa saja aktor-aktor yang bertanggungjawab di balik itu.

Dari sisi metodologi riset, saya menilai George terlampau cepat menarik kesimpulan. Saya memandang riset itu harus dimulai dengan niat untuk mencari tahu, tanpa langsung mengambil kesimpulan yang terlalu dini. Namun George punya banyak argumentasi yang bisa menjelaskan posisinya.

Sebagai peraih gelar doktor di Cornell University, ia cukup punya amunisi untuk membahas metodologi riset, dari A sampai Z. Makanya, dalam banyak kesempatan, saya memosisikan diri hanya sebagai pembelajar yang menyerap informasi darinya.

Saya sering terperangah saat dia membahas bagaimana konflik sumber daya di Sulawesi. Dia menyebut beberapa jenderal, perwira, pejabat, hingga konglomerat yang telah mengapling-ngapling pulau kami. Tak sekadar menyebut, ia punya catatan lengkap yang sangat detail, termasuk aliran transsaksi di beberapa bank asing.

Pada diri George, saya mengagumi soal investigasi, dan kekuatan riset. Sebagai jurnalis, saya rajin mencatat semua informasi. Namun, saya hanya mencatat saja, lalu memuatnya di media, tanpa sempat membuat analisis, menghubungkan berbagai fakta, lalu mengujinya dengan informasi dari berbagai sumber.

George berbeda. Ia menunjukkan bagaimana ketekunan seorang peneliti mencatat berbagai kepingan informasi, lalu menggunakan analisis itu untuk membela kepentingan rakyat banyak. Ia ingin menyelamatkan kekayaan alam Indonesia dari sejumlah orang yang hendak menumpuk kekayaan dengan cara merampok berbagai izin pengelolaan, lalu menyulut api konflik di mana-mana.

Buku-buku yang ditulis George memang kelewat berani. Ia bisa menyajikan buku yang penuh dengan data dan hasil investigasi. Di tahun 1999, ia menulis Tangan-Tangan Berlumuran Minyak, yang membahas bagaimana tragedi perebutan minyak yang memicu konflik di Timor Leste.

Selanjutnya, ia menulis Menyongsong Matahari Terbit di Puncak Ramelau: dampak pendudukan Timor Lorosa'e dan munculnya gerakan pro-Timor Lorosa'e di Indonesia. Setelah itu menulis Ketika Semerbak Cengkih Tergusur Asap Mesiu, yang berisi bagaimana bau konflik sumberdaya yang bersembunyi di balik konflik Ambon. Tahun 2003, ia juga menulis buku Pola-Pola Gerakan Lingkungan, yang isinya adalah refleksi atas gerakan lingkungan.

Tulisan-tulisannya membuat gerah para politisi hingga pejabat di istana negara. Beberapa bukunya adalah Membedah Kembar Siam Penguasa Politik dan Ekonomi Indonesia, yang terbit tahun 2002, hingga Kebohongan-Kebohongan Negara: Perihal Kondisi Lingkungan Hidup di Nusantara, tahun 2003. Ia juga menulis buku berjudul: Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa. Hingga akhirnya, ia menulis buku yang lalu fenomenal dan sering diulas media yakni Gurita Cikeas.

Buku-bukunya membuat jengkel banyak penguasa. Tapi anehnya, tak ada yang bisa membantah argumentasinya dengan sistematis serta punya kekuatan riset dan data-data. Ia memang dimaki dan dijelek-jelekkan, tapi justru tak ada yang bisa meng-counter argumentasinya dengan riset yang sama serius.

Kita nyaris tak punya iklim diskusi dan debat yang konstruktif, sebab orang hanya mudah menghakimi dan tidak memberikan data pembanding. Andaikan semua kecaman terhadap George dibuat dalam bentuk buku yang sama mendalamnya, maka betapa bagusnya itu bagi iklim diskusi dan debat di tanah air kita.

Pernah, saya bertanya, apa ia tidak takut dengan berbagai pubikasinya yang ‘menelanjangi’ banyak aktor? Ia justru tersenyum. Saya masih ingat persis kalimatnya: “Seorang peneliti bukanlah mereka yang selalu ikut konferensi penelitian di hotel mewah. Peneliti harus memihak pada rakyat. Peneliti harus mendedikasikan temuan-temuannya untuk masa depan yang lebih baik.”

Kalimatnya membuat saya tertegun. Pada diri lelaki itu, saya menemukan sosok “intelektual organik”, sebagaimana disebutkan Antonio Gramsci. Dia memilih keberpihakan pada rakyat biasa, lalu menjadikan semua aksara yang ditulisnya sebagai peluru untuk memberondong mereka yang rakus sumberdaya alam lalu menyulut konflik. Pada dirinya, kita melihat sosok yang menggunakan riset sebagai cara untuk melawan pihak serakah.

Di masa kini, George adalah intelektual dan jurnalis yang amat langka. Dia bukan tipe orang yang hanya menyebar berbagai info hasil kopi-paste di berbagai media sosial. Ia menulis buku-buku serius yang penuh investigasi mendalam, yang tak sekadar sekeping info yang lalu beredar di WhatsApp.

Dia juga bukan tipe intelektual selebriti, yang sekali tampil di media, lalu sibuk menyebarkan screenshot televisi yang menampilkan dirinya. George adalah sosok langka yang sukar ditemukan di abad ini.

Dua hari lalu, saya mendengar dirinya berpulang ke Yang Maha Mengadili. Saya menundukkan kepala lalu mengirimkan doa untuknya. Saya berharap karya-karya, riset, dan investigasinya akan menjadi cahaya terang baginya saat diadili oleh Yang Maha Mengadili.

Selamat jalan George Aditjondro. Saya masih kangen dengan diskusi kita pada suatu sore di satu warung kopi.




3 komentar:

Imron Fhatoni mengatakan...

Turut berbelasungkawa dengan mas George. Semoga ia mendapatkan tempat yang baik di sisi sang maha pengadil.

Yusran Darmawan mengatakan...

amin. makasih bro

Anonim mengatakan...

Suka dengan kata2 Anda seharusnya ada iklim diskusi yg bagus.George bisa salah tapi melalui diskusi dan riset yg akn mengkonfirmasinya.

Posting Komentar