Menafsir JOKOWI di Lapangan Monas



BISAKAH kita membayangkan bagaimanakah gerangan perasaan mastermind yang merancang aksi besar dengan jutaan orang pada tanggal 2 Desember 2016 ini? Bisakah dia tersenyum saat menyaksikan panggung dan karpet merah, yang seharusnya diisi dengan wacana yang telah disiapkan, tiba-tiba berubah lantaran kehadiran Presiden Joko Widodo?

***

KAMIS (1/12), di pesisir ruas jalan Cisarua, saya bertemu serombongan anak muda. Mereka mengenakan pakaian serba putih sembari membawa bendera berwarna hijau. Mereka berjalan kaki dari Cianjur, menuju Jakarta, demi ikut dalam aksi demonstrasi besar yang akan diadakan keesokan harinya. Anak-anak muda ini tak mengenal lelah. Mereka dibakar oleh semangat besar untuk bergabung dalam lautan massa yang akan menyatakan sikap.

Mereka berjalan laksana sebaris pasukan yang penuh semangat. Di beberapa persimpangan, mereka meneriakkan yel-yel Allahu Akbar. Warga pun memberikan dukungan. Di jalur Puncak itu, saya menyaksikan beberapa warga memberikan bekal berupa camilan, makanan ringan, hingga kue-kue. Dukungan warga menjadi nutrisi penting yang melejitkan semangat mereka.

Anak-anak muda itu akan bergabung dengan gelombang massa yang berdatangan ke Jakarta. Mereka ingin menyatukan barisan demi satu tuntutan kepada penguasa yang dianggap lalim dan mengabaikan keinginan rakyat. Mereka berharap segera tiba di Jakarta.

Jakarta, kota yang selalu bergegas. Berbagai wacana hilir-mudik melintasi Jakarta selama dua minggu terakhir. Kebencian demi kebencian menjadi santapan bagi warga Jakarta dan seluruh kota di Indonesia. Pada mulanya adalah tindakan “keseleo lidah” yang dilakukan oleh Gubernur DKI nonaktif Basuki Tjahaja Purnama. Salah ucap itu lalu menjadi perkara serius yang lalu menyerap semua energi bangsa. Di tengah satu perhelatan politik, pernyataan itu sengaja disebar untuk memicu kemurkaan.

Para politisi menjadi api yang membakar bensin di kepala warga negara. Berbagai silang pendapat sengaja disebarkan demi mengesankan kalau satu kalimat itu adalah biang dari segala persoalan di seluruh negeri. Jika memang Basuki bersalah, maka biarlah hukum yang akan menyatakannya bersalah. Namun, yang terjadi adalah vonis bersalah serta tuntutan melakukan penjara, yang hendak dipaksakan melalui massa. Padahal, tanpa pengadilan, kita tak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Di sisi lain, kerja-kerja para spin doctors dan pengendali wacana telah membuat wacana kebencian dan kemarahan itu tersebar dengan cepat. Para politisi, intelektual, hingga preman jalanan tiba-tiba saja berada pada barisan pembenci. Mereka mau saja bergabung sebarisan dengan mereka yang punya reputasi melakukan kekerasan atas nama agama.

Siapa bilang persoalan ini murni terkait agama dan keyakinan. Kita mesti melihat tarikan-tarikan ekonomi dan politik yang membuat persoalan ini menjadi sedemikian serius. Posisi Ahok memang selalu rawan. Ia adalah sasaran tembak dari sejumlah orang yang justru hendak menyasar posisi presiden, dan sejumlah simpul kekuasaan. Ahok hanyalah sasaran antara dari sesuatu yang lebih serius. Kalimat kasar Ahok adalah pintu masuk dari sejumlah agenda politik yang hendak mendeligitimasi bangsa. Kalimat kasarnya dianggap sebagai substansi dari berbagai keterbelakangan bangsa karena tidak dipimpin orang sekeyakinan. Ahok menjadi sentrum dari dinamika ekonomi politik yang tidak berkeadilan. Mengapa pula energi publik harus terbuang atas satu kalimat khilaf yang beberapa kali telah dimintakan maaf?

Maka berdemonstrasilah banyak orang.

***

LAPANGAN Monumen Nasional itu ibarat pesta yang telah bersalin rupa. Di hari-hari biasa, lapangan itu menjadi area rekreasi yang didatangi banyak orang. Di tengah lapangan itu berdiri monumen, yang di atasnya terdapat emas murni yang menempel pada patung lidah api.

Sejak pertama dibangun pada tahun 1961, pada masa pemerintahan Presiden Sukarno, Monas bukan saja simbol Jakarta, tapi juga simbol Indonesia. Posisi Monas bisa disejajarkan dengan Washington Monument di Washington DC, Amerika Serikat, yang letaknya persis di hadapan Abraham Lincoln Memorial. Monas adalah simbol Indonesia. Apa yang terjadi di situ akan tersebar ke seluruh pelosok bangsa.

Hari ini, Monas bersalin menjadi lapangan yang penuh dengan warna putih. Jutaan manusia memenuhi lapangan itu demi melaksakan ibadah salat Jumat yang sesudahnya akan dimanfaatkan sejumlah orang untuk menyampaikan pesan politik. Pihak penyelenggara telah mengantongi ijin resmi dari kepolisian untuk menggunakan lapangan itu demi tuntutan pemenjaraan.

Beberapa hari sebelumnya, Kapolri Jenderal Tito Karnavian telah bertemu dengan sejumlah pentolan massa. Mereka membahas demonstrasi, yang akhirnya disetujui oleh pihak kepolisian. Padahal, sebelumnya polisi justru melarang keras demontrasi itu sebab dikhawatirkan telah disusupi dnegan agenda makar atau kudeta.

Tito seakan berjudi. Memberi ruang bagi berbagai kelompok yang sering bertindak seolah miiter adalah pilihan paling berisiko. Banyak yang menyesalkan kompromi politik yang dilakukannya. Satu hal yang sering luput dari publik adalah Tito telah lama bergerak diam-diam, mengidentifikasi siapa saja aktor yang terlibat, serta meminimalisir risiko dan semua pilihan politik yang bisa diambil. Tito bergerak mengikuti tarian dari Presiden Jokowi. Dia mengikuti langgam kerja presiden yang tak henti membangun konsolidasi.

Selama tiga minggu terakhir, Presiden Jokowi tak henti bergerak. Di layar kaca ia terlihat menemui banyak tokoh dan pemimpin organisasi massa. Dia berdiskusi dengan tokoh-tokoh seperti Prabowo Subianto. Ia juga menemui semua pimpinan partai politik, yang menjadi bagian dari koalisinya. Diplomasi Jokowi adalah diplomasi makan siang. Ia seolah menitip pesan bahwa negara dalam keadaan damai. Para politisi masih bisa bersenda-gurau sambil makan siang. Yang tak disaksikan orang adalah bagaimana momen makan siang menjadi momen untuk kian mengecilkan potensi perlawanan dari pihak yang hendak merongrong dirinya.

Ia menjadi bulan-bulanan publik karena tidak bersedia menemui massa yang berdemonstrasi dalam aksi pada tanggal 4 November. Aparat keamanan memang menolak keras kehadiran presiden di tengah-tengah massa. Sejumlah laporan intelijen melaporkan bahwa tidak semua massa yang berdemonstrasi datang dengan niat baik. Banyak di antara mereka datang dengan membawa niat tidak baik yang setiap saat bisa meletup saat ada komando.

Baik Jokowi dan Tito sama-sama menyadari kalau semua aksi-aksi demonstrasi itu tak selalu murni karena penistaaan agama. Mereka bisa mengenali pola-pola yang terus berulang, serta memetakan siapa yang paling diuntungkan dengan wacana ini. Jika Ahok akhirnya tersingkir, maka mudah saja dipetakan siapa yang paling menuai hasil positif.

Sebagai kepala negara, presiden harus mengawal konstitusi bahwa siapapun yang bersalah mesti dinyatakan bersalah dalam peradilan serta prosedur hukum yang berlaku. Jika dirinya tunduk pada tuntutan pubik lalu mengabaikan proses hukum, maka itu sama dnegan tidak mengawal konstitusi sebagai tertib dan landasan bernegara. Jika tunduk begitu saja pada publik, maka ke depannya itu bisa jadi preseden bagi siapa saja untuk menggerakkan massa demi memaksakan tuntutan dan vonis.

Kalaupun Ahok bersalah, maka biarlah pengadilan yang memutuskan itu. Sebagai warga, Ahok tetap punya hak untuk membuktikan dirinya tidak bersalah di persidangan. Sebagai negara hukum, semua orang paham bahwa apapun hasil sidang, maka itu akan menjadi keputusan yang harus ditaati. Jika terjadi penolakan ataupun penistaan hasil sidang, lalu memaksakan hukum sendiri, maka langkah itu bisa menjadi pelanggaran hukum. Pada titik ini, negara harus hadir demi menegaskan mana yang benar dan mana yang salah menurut konstitusi.

***

JUMAT (2/12), Presiden Jokowi bersama wakilnya Jusuf Kalla datang ke lapangan Monas. Di tengah hujan rintik-rintik, mereka bergabung dengan massa yang sontak berteriak Allahu Akbar demi menyambutnya. Jokowi datang bersama sejumlah menteri, serta Panglima TNI.

Tak terlihat rasa gentar di wajah Jokowi dan JK. Padahal, tak semua momen salat bersama menjadi momen yang penuh kedamaian. Presiden Sukarno pernah diberondong peluru saat salat Idul Adha di Lapangan Istana Negara pada tahun 1962. Peristiwa itu sering disebut Peristiwa Idul Adha. Untungnya, Sukarno baik-baik saja saat banyak orang sekitarnya yang tewas diterjang peluru panas.

Kehadiran Presiden Jokowi membawa satu pesan simbolik bahwa dirinya akan mendukung semua aksi yang berlangsung dengan cara damai. Di saat bersamaan, terjadi pula penangkapan pada delapan orang yang diduga hendak melakukan makar. Pesan simbolik yang bisa diambil adalah ada sejumlah orang yang diduga selalu memanfaatkan situasi untuk kepentingan politik. Pemerintah bersikap lembut saat mendukung aksi damai, namun bisa kasar saat menyikapi mereka yang dianggap mengoyak keutuhan.

Jokowi dan Kalla memegang sendiri payung warna biru. Keduanya tampak tenang. Di sisi kiri dan kanan rombongan bersiaga belasan pasukan pengamanan presiden yang memakai baju dinas loreng. Setibanya di Monas, Jokowi dan rombongan langsung masuk ke dalam sebuah tenda merah putih yang sudah disediakan.

Pimpinan Front Pembela Islam langsung memberitahu kepada massa bahwa presiden sudah berada di tengah-tengah mereka. "Presiden sudah hadir disini bersama-sama kita untuk shalat Jumat bersana," kata pria itu melalui pengeras suara. Massa pun langsung menyambut kehadiran Jokowi dengan antusias. Mereka memekikkan takbir.

Seusai salat Jumat, Presiden Joko Widodo menyampaikan apresiasi kepada para peserta doa bersama. "Terima kasih atas doa dan dzikir yang dipanjatkan bagi negara kita. Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar," katanya mengawali pernyataannya. "Saya ingin memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya karena seluruh jemaah hadir tertib dalam ketertiban sehingga acaranya bisa berjalan baik," lanjut dia. Jokowi enam kali mengucap takbir.

***

KEHADIRAN Presiden Jokowi menjadi magnet yang segera menyedot semua pembicaraan tentang aksi itu. Bahkan di beberapa media, aksi itu disebut sebagai doa bersama untuk Indonesia. Kehadiran presiden menunjukkan bahwa pemerintah hadir di tengah keinginan warga. Namun, pemerintah tidak lantas tunduk pada segala tuntutan keras para demonstran. Penegasan bahwa segala persoalan akan diselesaikan melalui jalur hukum penting disampaikan.

Di luar arena, pihak yang menjadi mastermind gerakan ini pastilah akan gelisah. Tadinya, gerakan ini diharapkan bisa menjadi arena yang mendeligitimasi posisi pemerintah yang dianggap lemah serta takluk pada jutaan massa yang datang. Tadinya, gerakan ini diharapkan akan semakin mempertegas tuntutan serta desakan pemenjaraan, yang berujung pada kian remuknya posisi Ahok di arena politik.

Ternyata gerakan ini malah menjadi panggung bagi Jokowi untuk tampil ke permukaan lalu mengendalikan situasi. Kehadiran Jokowi telah mengubah banyak peta. Kehadirannya telah mengubah wacana demonstrasi menjadi doa bersama untuk bangsa Indonesia. Kehadirannya adalah magnet yang lalu menentukan semua wacana media massa, sekaligus memberikan pesan kepada lawan politiknya bahwa segala komando situasi telah dikendalikannya dnegan baik. Dia tampil di hadapan massa dengan membawa simbol negara. Dia bisa mengubah wacana demonstrasi menjadi doa bersama, yang lalu dianggap sebagai nutrisi untuk membuat negara ini semakin kuat.

Di balik layar, kita bisa melihat beberapa strategi yang dimainkan Jokowi, dan dijalankan dengan sempurna oleh Kapolri Tito, Panglima Gatot, dan beberapa menteri. Tapi dirigen utama dari permainan ini tetaplah Jokowi dan Tito. Beberapa strategi itu adalah:

Pertama, memperkuat aliansi dengan semua tokoh oposisi, termasuk partai politik. Jokowi memastikan semua kekuatan politik masih dalam genggamannya sehingga dalam keadaan darurat sekalipun, dia bisa mengamankan posisinya sekaligus mengamankan negara. Bersama para tokoh politik, Jokowi bisa memperkuat barisan dan menyatukan sikap untuk Indonesia damai.

Kedua, Jokowi memastikan semua dukungan militer dan kepolisian. Kehadirannya di markas tentara dan polisi adalah sinyal dan pesan bahwa semua kekuatan negara bisa digunakannya untuk mengamankan konstitusi dan siapapun yang hendak melakukan tindakan ternoda bagi tenunan kebangsaan.

Ketiga, mendorong lembaga peradilan untuk segera bergerak demi menyelesaikan secepat-cepatnya dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok. Dia mesti memastikan hukum berjalan secara transparan sehingga publik bisa menilai dan menentukan seberapa salah Ahok dengan segala ucapannya.

Keempat, melokalisir posisi mereka yang berpotensi untuk melakukan makar. Dengan cara menjauhkan mereka dari demonstran, publik akan menuding mereka sebagai pihak yang hendak mengambil keuntungan. Dengan menjauhkan mereka, demonstrasi diyakini akan berjalan damai sehingga wacananya bisa digeser menjadi doa bersama untuk keselamatan bangsa.

Kelima, menyiapkan proses hukum bagi sejumlah kasus yang diduga perlahan-lahan akan melemahkan lawan politiknya yang diduga telah mendanai beberapa aksi. Beberapa kasus yang bisa disebut di sini adalah sinyalemen proyek listrik senilai triliunan yang merugikan negara, hingga pemanggilan kepada putra seorang mantan presiden untuk diperiksa aparat atas tuduhan korupsi.

***

DUNIA politik kita penuh dengan simbol-simbol. Kita tak pernah bisa memahaminya hanya dengan mengandalkan teks-teks media, dan juga selintas informasi melalui media sosial, termasuk facebook dan WhatssApp. Di atas kertas, politisi bisa menyusun peta, rancangan, arah, serta strategi. Tapi di lapangan, semua strategi itu harus dibumikan dan disabung dengan strategi yang dimainkan oleh aktor lain.

Beberapa minggu terakhir, hingga beberapa bulan ke depan, kita sedang menyaksikan satu permainan politik yang dingi dan serba misterius. Kita akan segera menyaksikan apa akhir dari satu episode politik yang penuh teka-teki serta menguras energi diskusi warga negara, mulai dari lorong-lorong, hingga berbagai grup percakapan di media sosial.

Hari ini Presiden Jokowi menguasai satu panggung yang tadinya tidak diniatkan untuknya. Tapi esok hari, kita belum bisa menafsir dan menebak. Sebagai warga negara, kita menitip satu pesan penting agar negeri ini tidak tercabik-cabik oleh berbagai kepentingan politik. Kita menitip harapan agar Indonesia selalu berkeadilan, menjadi payung yang melindungi segenap anak bangsa serta menjadi bumi yang selalu menyuburkan segenap potensi anak bangsa.

Kita menitip banyak harapan.




5 komentar:

Anonim mengatakan...

singkat saja jawaban analisis you:penista dihukum. kalau penista lepas, time will tell.??? bisa jatuh ??? you jawablah sendiri.

Anonim mengatakan...

hi yusran. i tanya you lagi. ini just discuss saja bukan ujian sidang kuliah. apa saat menemui itu ada niat pencitraan??? atau menemui itu suratan takdir???

Yusran Darmawan mengatakan...

mesti dibuktikan di pengadilan apa betul menista ataukah tidak.

Yusran Darmawan mengatakan...

sy gak ngerti pertanyaannya. yang ditemui siapa nih?

Cen mengatakan...

Izin share ya Kak, saya suka bangey tulisan ini

Posting Komentar