Saat Patung Budha Divonis Kafir

Patung Budha yang diturunkan di Tanjungbalai


BISAKAH sebuah patung mengubah akidah? Di Tanjung Balai, Asahan, Sumatera Utara, patung Budha yang ada di atas sebuah wihara dianggap meresahkan pemeluk agama mayoritas. Ada kekhawatiran kalau patung itu akan mengubah akidah warga. Patung itu tiba-tiba saja dianggap sebagai biang dari berbagai masalah kota. Ada pula kepercayaan kalau patung itu akan mengubah image kota menjadi kota penuh berhala.

Atas desakan sejumlah pihak, patung itu akhirnya diturunkan dari wihara. Jika saya adalah umat Budha, mungkin hati saya akan tersakiti, lalu menyebar pesan di media sosial. Mungkin saya akan memendam jengkel serta amarah dalam diri. Namun mereka bukanlah saya. Malah mereka mempertontonkan kearifan hebat.

Betapa saya terkejut menyaksikan respon luar biasa tenang dan penuh damai itu. Kepada umat Budha di Asahan, saya menyampaikan banyak kekaguman.

***

PADA mulanya adalah sebuah patung. Patung itu adalah patung Budha Rupang Sakamoni yang diletakkan di atas lantai empat gedung Vihara Tri Ratna, Kota Tanjungbalai. Patung itu memang simbol agama tertentu. Patung itu adalah simbol yang diharapkan bisa menjadi penanda kalau di kota itu ada penganut Budha yang setiap saat bisa datang beribadah.

Seiring waktu, patung itu dianggap menjadi masalah oleh sejumlah orang. Diskusi tentang patung itu memenuhi berbagai media, juga media sosial di Sumatra Utara. Patung, yang memang hanya bisa diam itu, tiba-tiba dianggap mewakili satu pandangan yang bisa menggugurkan akidah. Patung itu divonis kafir dan bersalah. Patung itu dianggap biang provokasi. Patung itu tidak seberuntung batu-batu besar yang disembah oleh para penyembah batu. Patung itu juga tidak seberuntung pohon-poon yang disembah para penyembah pohon. Sebab jika seluruh batu dan pohon disingkirkan, maka dunia akan sedemikian gersang dan membosankan. Atas nama mayoritas, atas nama kekuasaan, patung itu lalu diturunkan. 

Patung yang diresmikan pada November 2009 itu, akhirnya diturunkan pada bulan Oktober 2016. Semua orang bertepuk tangan. Orang-orang menganggap bahwa tindakannya telah menghadirkan kedamaian. Seakan-akan satu jalan ke arah surga sudah terbangun. Orang-orang lalu kembali ke deru kehidupan, kembali bergelut dengan berbagai soal seperti kemiskinan, keterbelakangan, korupsi, tingkat pendidikan yang rendah, kriminalitas yang menggunung, kurangnya lapangan kerja, suap birokrasi, nepotisme, dan berbagai persoalan lain. Satu jalan akidah ditegakkan ditengah tumpukan persoalan. Satu jalan ke surga seolah telah dibangun.

Yang mengejutkan saya adalah respon umat Budha di media sosial. Mereka tak sedikitpun protes atas tindakan itu. Mereka tak dilanda emosi besar, tak dikuasai amarah, tak lantas mengacungkan golok lalu mengancam bunuh pada pelakunya. Mereka justru tetap tenang, malah tersenyum menyaksikannya. Pemuka agama Budha malah menulis status yang sejernih embun pagi.

Hari ini saya membaca komentar dari seorang biksu bernama Lama Karpa Zopa Gyatso. Di akun fesbuknya, ia menulis:

"Beberapa umat Buddha bertanya kepada saya ketika melihat patung Buddha yg terletak di lantai atas sebuah wihara di kota tanjung balai, asahan, sumatera utara diturunkan: "Lama, kenapa rupang(arca/patung) di wihara diturunkan"? Saya jawab begini," tidak apa apa rupang Buddha turun, sing penting welas asihmu terhadap semua makhluk tidak ikut turun, semua makhluk hidup mendambakan kebahagiaan. Apabila dengan turun nya patung Buddha bisa memberikan kebahagiaan kepada orang lain, maka bukankah doa khas umat Buddha yaitu "semoga semua makhluk hidup berbahagia" menjadi kenyataan?"

Saya juga menemukan komentar menyejukkan lain dari Iwan Setiawan. Di akun facebook-nya ia mencatat:

Patung Buddha yg diturunkan dari wihara di Tanjung Balai rupanya tidak membuat para umat Buddha emosi, ngambek apalagi marah. Bahkan, ketika patung-patung Buddha pernah dijadikan hiasan di bar-bar tempat minum alkohol pun umat Buddha tidak marah. Bahkan, di Jakarta pernah ada Buddha Bar. Umat Buddha tidak mengamuk atau demo. Bahkan, patung Buddha dikencingi pun tidak ada umat atau para dewa pengikut Buddha yg marah.Buddha memang identik dengan welas asih, kasih sayang....Semoga semua makhluk hidup berbahagia.

Orang-orang ini menunjukkan bahwa kebahagiaan semua orang adalah tujuan agama. Patung itu hanyalah satu benda mati, yang jauh lebih penting adalah kasih sayang kepada sesama manusia. Jika penurunan patung itu akan membawa kebahagiaan orang lain, maka demikianlah yang diharapkan doa-doa umat Budha yakni agar semua orang berbahagia.

Orang-orang ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak berdiam dalam patung, tidak berdiam dalam satu rumah. Di manapun dan dalam keadaan apapun, kasih Tuhan menjadi berkas cahaya yang menyelusup di hati semua orang. Atas nama Tuhan, seseorang bisa menghardik dan mengusir sesamanya. Atas nama Tuhan, seseorang bisa mengancam orang lain, seseorang bisa pula menyingkirkan orang lain. Namun, apakah Tuhan benar ada di situ? Apakah Tuhan bahagia dengan segala tindakan dan ancaman itu?

Postingan-postingan ini membuat saya termenung. Betapa banyak umat beragama, tapi yang dipikirkannya hanyalah menegakkan simbol agamanya sebagai sesuatu yang dianggapnya paling jaya, paling hebat, paling mengasihi sesama, paling bijaksana, palung benar. Tapi betapa sedikitnya orang yang melihat tujuan agama. Hanya sedikit orang yang berani mengorbankan kebahagiaannya untuk orang lain.



Kita selalu menyaksikan orang-orang yang melihat agama sekadar bacaan di saat ibadah, lalu lupa membumikannya dalam ladang kehidupan. Kita alpa untuk menjadikan agama itu sebagai pemberi rahmat bagi sekitar, lupa menjadikannya pupuk yang menggemburkan kehidupan, tidak menjadikannya sebagai energi untuk membuat bangsa ini melesat dan jauh menjadi negeri paling unggul. Jika agama membawa kita ke arah keunggulan, mengapa pula bangsa ini tak juga bisa beranjak menjadi bangsa nomor satu yang unggul di segala lini ilmu pengetahuan dan teknologi. Ah, mungkin kita hanya sibuk menyiapkan bekal untuk memasuki dunia sana. Kita lupa untuk membangun surga dan rumah yang nyaman di dunia ini. Bahkan kita lupa untuk mengasihi orang-orang di sekitar kita, tanpa memandang apapun agamanya.

Di Tanjungbalai sana, saya menemukan banyak embun kebijaksanaan dari para sahabat beragama Budha. Saya merasakan keteduhan dan semilir angin yang berdesir di sela-sela bebatuan hati. Bahwa kebahagiaan orang lain adalah tujuan dari semua agama. Jauh lebih penting menciptakan embun perdamaian, ketimbang memelihara api amarah.



Bogor, 30 Oktober 2016

26 komentar:

Unknown mengatakan...

Betul, om.. Sbg penganut agama mayoritas, saya justru merasa malu membaca komentar teman-teman pengikut Budha, bener2 nggak diduga, adem banget hati dan pikiran mereka 😊😊

Yusran Darmawan mengatakan...

makasih atas komennya. semoga kita bisa terus belajar pada siapapun di sekitar kita.

Unknown mengatakan...

Salam pak yusran darmawan,tulisan2 anda sangat bernilai, ditengah banyaknya media probokasi

PeyekTrioEL mengatakan...

Semoga ajarannya bisa menjadi panutan umat lainnya

Tionanda mengatakan...

Sebenarnya tidak ada perbedaan manusia dimata Tuhan,yg membuat perbedaan adalah manusia sendiri. Miris melihat banyak kejadian di luar sana, provokasi Sara utk kepentingan pribadi. Salam damai utk semua nya

Unknown mengatakan...

mohon ijin untuk sy share d sosmed
trima kasih 😊

Anisa AE mengatakan...

Salam pak Yusran,artikel yang mencerahkan

Unknown mengatakan...

"Patung itu tidak seberuntung batu-batu besar yang disembah oleh para penyembah batu." Maksudnya apa ya? Siapa yg menyembah batu besar?

Unknown mengatakan...

Semoga semua berbahagia
Jika semua berbahagia dunia akan indah dengan berbagai macam perbedaannya

Anonim mengatakan...

Kok cuman commentnya cewek aja yg dibalas ?

seribusatu mengatakan...

TOP.. artikel yg menyejukkan

Imron Fhatoni mengatakan...

Menghempaskan. Pendidikan karakter yang tidak biasa, untung saya selalu menyempatkan wantu untuk sekedar nongkrong di blog ini. Terimakasih bang sudah mencerahkan kita yang muda2 selama ini.

Herman Degei mengatakan...

Luar biasa.

Yusran Darmawan mengatakan...

salam. terimakasih atas mkomentarnya.

Yusran Darmawan mengatakan...

amin. semoga bumi selalu damai.

Yusran Darmawan mengatakan...

salam damai

Yusran Darmawan mengatakan...

silakan bro. share saja, tak perlu izin.

Yusran Darmawan mengatakan...

salam juga

Yusran Darmawan mengatakan...

maksudnya jelas, yakni penyembah batu. kan gak mungkin kita membongkar semua batu besar di bumi ini hnya krn ada orang yang menyembahnya.

Yusran Darmawan mengatakan...

amin. semoga semua orang seisi bumi berbahagia.

Yusran Darmawan mengatakan...

hahaha. sy selalu berusaha membalas semua komen.

Yusran Darmawan mengatakan...

amin. makasih atas komennya.

Yusran Darmawan mengatakan...

sama2 bro.

Amien mengatakan...

Sejuk mendamaikan menjernihkan sat katanya "empirist"

Unknown mengatakan...

Sebenarnya dalam agama buddha tidak diajarkan untuk menyembah patung lalu kenapa kami membuatnya dan melakukan penyembahan ?
karena setelah sang buddha parinibbana(wafat) para bhikkhu dan umat nya terus tetap menyiapkan kebutuhan pokok sang buddha meskipun beliau telah wafat. kebiasaan ini menciptakan suatu yang turun tumurun jadi bisa di katakan suatu tradisi yang sangat melekat dengan agama buddha. jadi intinya patung Buddha dibuat hanya untuk mengingat jasa jasanya saja karena beliau telah mengajarkan dharma(ajaran)kepada kami. Beliau juga mengajarkan kami arti dari (sesuatu yang tidak diciptakan) jadi kami menganggap buddha adalah tuhan , buddha hanyalah sebagai penunjuk arah bagi kami. semoga dengan ini kesalahpahaman dapat sedikit dikurangi ^^

IDProperti.com mengatakan...

Secangkir kopi sambil baca artikel di blog ini sejenak. Postingan yang menarik.
Salam kenal dari : IDProperti.com | Pasang Iklan Properti

Posting Komentar