Puisi Perlawanan Petani Tembakau




PEMERINTAH berencana untuk menaikkan harga rokok. Masyarakat diedukasi untuk tidak merokok. Isu-isu kesehatan lalu dimunculkan. Larangan ditebar ke mana-mana. Regulasi dibuat untuk menghambat peredaran tembakau dan rokok. Para petani tembakau di beberapa pegunungan dipaksa untuk melakukan konversi lahan.

Di berbagai media kita menyaksikan bagaimana diskursus tentang kian sempitnya ruang bagi para perokok. Benda itu dilihat sebagai benda najis yang memendekkan umur warga republik. Yang lebih banyak tampil adalah suara pemerintah, sebagai representasi suara negara, serta para rezim medis yang lalu menentukan mana sehat dan mana tidak sehat. Yang nyaris hilang dari ruh perdebatan itu adalah suara para petani. Barangkali suara mereka dianggap tidak penting. Kebijakan lahir dari atas, yang bertujuan untuk mengatur kalangan bawah. Sebagai warga negara yang baik, petani dipaksa untuk menerima begitu saja semua kebijakan. Suaranya tak penting sehingga nyaris tenggelam di tengah dinamika dan arus wacana.

Di manakah kita temukan suara-suara para petani tembakau? Bagaimanakah nasib ribuan hektar ladang tembakau yang selama ini menjadi penyangga ekonomi para petani di banyak tempat di tanah air? Apakah para petani hanya akan memandang ladang itu sembari mengenang masa silam yang hebat saat tembakau menjadi komoditas utama yang mengerek kesejahteraan mereka?

Di tengah kesunyian itu, saya menemukan buku berjudul Perlawanan Politik dan Puitik Petani Tembakau Temanggung yang ditulis Mohamad Sobary. Buku ini merangkum banyak suara parau yang luput dari para pengambil kebijakan, yang kerap tampil di semua kanal media.

Saya menobatkan buku ini sebagai salah satu buku ilmu sosial paling bagus di tahun 2016 ini. Bukan saja isinya menyajikan satu keping realitas yang selama ini terabaikan, tapi juga ditulis berdasarkan riset dan observasi yang kuat terhadap para petani di Temanggung. Penulisnya, Mohamad Sobary, menyajikan satu narasi yang memikat sekaligus memilukan tentang para petani. Akan tetapi, para petani itu tidak lantas dikoyak-koyal waktu. Mereka bangkit melawan dan menggunakan semua instrumen yang mereka miliki.

Buku ini digali dari disertasinya yang dibuat saat usianya sudah mencapai 60 tahun. Dugaan saya, ia mendedikasikan buku ini sebagai karya akademik yang menjadi puncak pencapaian lelaki yang lama menjadi peneliti LIPI, lalu menjadi Direktur LKBN Antara. Makanya, buku ini tak saja menyajikan sesuatu yang menggugah nalar, juga menghadirkan sikap kritis dan pembelaan terhadap nasib para petani. Buku ini juga menyajikan suara-suara lirih para petani yang tengah digempur oleh kebijakan pemerintah. Tak hanya itu, buku ini juga menyajikan kekayaan khasanah budaya masyarakat pegunungan di Jawa, yang selama beberapa generasi telah menanam tembakau.

Tentu saja, bagian paling menarik dari buku ini adalah bagian yang menyajikan perlawanan para petani. Perlawanan itu tidak menempuh jalur perjuangan bersenjata. Mereka tidak sedang melakukan kudeta dan menolak segala bentuk intervensi negara. Mereka menyatakan sikap melalui demonstrasi, puisi-puis perlawanan, serta sejumlah ritual-ritual untuk mengingatkan para pemimpinnya. Mereka menempuh cara kultural, perlawanan berbasis buaya, yang tak garang dan penuh dar-der-dor,  melainkan melalui permainan simbol yang menakjubkan.

Para petani itu menampilkan kearifan yang melampaui para pengambil kebijakan. Mereka tidak sekadar menyampaikan sikap. Mereka justru menyampaikan gagasan yang substantif tentang keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika salah satu warisan kekayaan budaya hendak dihilangkan, maka negara juga harus memikirkan bagaimana nasib ribuan petani yang selama ini menggantungkan hidupnya di situ.

Yang membuat saya merinding adalah para petani menggunakan mantra-mantra yang memancarkan religio-magis yang mencekam, menggunakan berbagai simbol dan ritus dalam suasana kudus, melalui sesajen yang menghubungkan dunia ini dengan dunia sana. Para petani melawan dengan puisi-puisi yang sesekali dibacakan demi menghangatkan bara perlawanan. Mereka berperang dengan kidung dan aesthetic of art yang puitik.

Beberapa puisi yang sering dbacakan petani adalah Manunggaling Kawulo Alit yang berbahasa Jawa. Saya kutipkan paragraf yang menggugah hati:

Engkang gadahi watak serakah, angkuh lan ndholim
Engkang badhe mbrangus panguripan kawulo alii
wonten ing bui nuswantoro

Yang memiliki watak-watak serakah, angkuh, dan zalim
Yang akan membungkam kehidupan rakyat kecil di bumi Nusantara.

Petani mengadukan nasibnya ke hadapan penguasa langit. Dalam konteks politik, jika dilihat dengan kacamata penguasa, hal itu dianggap sebagai sindiran yang halus dan lembut. Dengan mengadukan tindakan penguasa kepada Tuhan, maka itu bermakna petani hendak menyampaikan ketidakberdayaan mereka dalam menghadapi kebijakan yang tidak berpihak.

Puisi lain yang juga menyentuh adalah pangkur suro greget yang selalu dibacakaan saat berdemonstrasi. Pangkur adalah sejenis tembang, greget adalah kemarahan. Menghadapi ancaman, petani hanya bisa marah. Pangkur ini adalah suara-suara petani yang berisi kemarahan mereka pada penguasa. Berikut teksnya:

Lekase angoyo woro
Nantang alam mongso siro kuwawi
Ulatono kredanungsun
Arso manguroh siro
Siro iku yekti mnungso kang waru
Tan ngerti mring kasunyatan
Soto yekti ngurakapi

Pada mulanya tampak seperti tindakan bermakna
Menantang alam tak mungkinlah kau berani
Lihatlah perlawananku
Siap menghajarmu
Kau itu manusia yang sudah kalap
Tak memahami kenyataan
Bahwa tembakau itu sungguh memenuhi kebutuhan hidup

Dalam beberapa aksi, para petani membagikan teks kidung di atas, beserta terjemahannya. Kata Sobary, mereka tak terlalu sadar akan hak cipta. Kidung dianggap milik alam, bukan milik orang per orang sebagaimana wujud tradisi lisan pada umumnya. Beribu-ribu kidung seperti di atas diciptakan oleh mereka jika kebutuhan untuk itu memang ada. Kidung, uang oleh Sobary, dianggap sama dengan puisi memiliki tujuan untuk menyampaikan suara hati terdalam para petani sebagai bentuk protes.

Sepintas, buku ini mengikuti argumentasi ilmuwan politik James Scott dalam Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance, yang diterjemahkan dengan judul Senjatanya Orang Kalah. Namun setelah membaca sekilas, buku ini menempuh pola berbeda. Di beberapa bagian ada refleksi atas pemikiran Scott dalam konteks Indonesia. Di antara yang membedakannya adalah buku ini menyajikan persinggungan perlawanan itu dengan tradisi serta konteks ekonomi-politik.

Namun, harus diakui, gagasan Scott sangat kuat merasuki buku ini. Seusai membaca buku ini, saya lalu membaca ulang etnografi yang dibuat Scott tentang para petani di Sandakan, Malaysia. Perlawannya juga unik, melalui organisasi anonim, perlawanan melalui sikap tahu sama tahu, mencuri sedikit-sedikit, memperlambat kerja, pura-pura bodoh, di depan bilang “iya” lalu di belakang memaki-maki, bergosip dan menjatuhkan nama baik, serta menghindari konfrontasi langsung.

Baik buku Sobary maupun bukunya Scott sama-sama menyajikan perlawanan yang tak biasa. Nampaknya, model perlawanan seperti inilah yang paling tepat dlakukan oleh masyarakat kelas bawah yang justru tak punya daya untuk konfrontasi secara langsung. Melalu aspek kultural itu, mereka menyatakan sikapnya.

Buku ini memosisikan para petani sebagai subyek yang harus didengarkan. Sungguh beda dengan membaca diskursus pemerintah tentang petani yang melihat mereka sebagai angka-angka statitik. Jujur, saya jenuh dengan tulisan tentang petani, yang tak menyertakan suara para petani. Sama jenuhnya saya dengan mengikuti diskusi kemiskinan di satu hotel mewah. Buku ini berbeda.

Saya juga menyenangi gaya penulisan buku ini yang sangat etnografis. Membaca buku ini serasa mengikuti kisah-kisah detektif yang seru, membumi, serta penuh kejutan. Saya seakan tidak membaca disertasi, melainkan mengikuti perjalanan para petani, meraskan denyut nadi dan detak jantung mereka, mengalami hasrat perlawanan akibat ruang hidup yang semakin sempit gara-gara kebijakan pemerintah.

Di bagian akhir, ada pencerahan yang muncul. Bahwa para petani itu tidak sedang memperjuangan kepentingannya, tapi menginginkan perubahan substansial yang mengubah tatanan yang lebih berkeadilan. Duh, betapa bijak dan arifnya para petani kita, kearifan yang jarang kita temukan di kalangan kaum cerdik pandai di kota-kota. Saya juga menyukai beberapa kutipan atas sosok Minke dan Nyai Ontosoroh novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer dalam buku ini. Dua sosok dalam novel Pram itu menjadi prototipe ideal atas mereka yang melawan dengan kharisma serta menggunakan instrumen budaya.

Buku karya Sobary ini membuat saya merenungi banyak hal. Hakekat bernegara bukanlah melindungi mereka yang kuat dan penuh sumberdaya. Hakekat bernegara adalah melindungi semua orang yang dirampas haknya, memuliakan smeua warga negara, apapun profesi dan pekerjaannya. Posisi seorang intelektual adalah sebagai penyaksi, yang digambarkan Iwan Fals yakni: “Aku bernyanyi menjadi saksi.” Tugas selanjutnya adalah membebaskan semua suara yang dibungkam itu menjadi suara menggelegar yang membangunkan banyak orang.

Bogor, 21 Agustus 2016



1 komentar:

Anonim mengatakan...

Tulisan yang bagus mas, jgn lupa mampir blog sy www.aveslombok.com informasi seputar dokumentasi burung di lombok. Trimakasih

Posting Komentar