DI layar televisi, saya menyaksikan debat
antara seseorang yang meyebut dirinya pakar, dengan seorang presenter. Sang “pakar”
beberapa kali menyebut bahaya Pokemon Go dan beberapa aplikasi game lainnya.
Setelah menyimak wawancara itu, saya sangat yakin kalau sang “pakar” tak pernah
merasakan nikmatnya bermain game. Tak mengejutkan jika ia berargumentasi, video
game ataupun online game merusak generasi muda. Ia membandingkan dengan masa
kecilnya yang tak pernah bermain game, lalu sukses dalam karier. Terhadap game,
ia menyebutnya sebagai racun bagi kehidupan generasi baru. Benarkah?
Saya tak ingin membahas tentang Pokemon Go yang
banyak dicurigai oleh pemerintah dan aparat. Saya melihat argumentasi mereka
tentang game sebagai simbol dari adanya gap
antar generasi. Hampir semua yang menolak game
adalah generasi yang justru tak pernah merasakan nikmatnya bermain game.
Generasi yang anti pada game ini kebanyakan generasi tua yang dibesarkan
dengan nilai-nilai yang berbeda dengan generasi baru. Mereka yang disebut generasi
baby boomer ini tumbuh dengan nilai
bahwa yang tua selalu benar, nilai-nilai masa lalu selalu lebih unggul, pendidikan
harus dibangun dengan disiplin ala tentara.
Yang sering kita saksikan adalah kegamangan
generasi tua terhadap generasi baru. Generasi tua menjadi amat defensif saat
berhadapan dengan sesuatu yang tidak mereka pahami. Mereka gagap dengan
kehadiran berbagai perangkat baru, serta dunia digital yang begitu digilai
anak-anak muda.
Meskipun mereka mengatakan bahwa kehadiran banyak game,
aplikasi, dan software dipandang menghadirkan kultur baru yang akan merusak
pikiran, sesungguhnya mereka justru tak mengenal apa yang dikatakan tersebut.
Berbagai argumentasi dikeluarkan, yang
kesemuanya bermuara pada ketidaktahuan, serta adanya anggapan yang menghujam
dalam diri kalau nilai-nilai generasi lama lebih baik dari generasi hari ini.
Kebanyakan kritik bersumber dari ketakutan, serta ketidakpahaman terhadap apa
yang sedang terjadi, dan sejauh mana keasyikan hal-hal baru itu.
Pada tahun 2008, terbit sebuah buku berjudul The Dumbest Generation: How the Digital Age
Stupefies Young Americans and Jeopardizes Our Future yang ditulis Mark
Bauerlein, dan diterbitkan oleh Penguins, New York.
Buku ini menarik sebab
berisi gugatan pada nilai-nilai generasi masa kini yang dianggap lebih bodoh
dari generas masa lalu. Buku ini sedemikian pesimis serta melihat ada banyak
nilai yang bergeser dan semakin hilang pada generasi hari ini, milai dari
disiplin, kepatuhan, serta semangat belajar.
Tak lama setelah buku ini terbit, berbagai
respon bermunculan. Penulisnya Bauerlein dicecar dengan berbagai data terbaru
yang menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan generasi sekarang lebih tinggi dari
generasi lalu. Bahkan tingkat IQ pada siswa sekolah di Amerika Serikat
menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dibanding generasi lama.
Beberapa
ahli lalu mengambil kesimpulan bahwa generasi baru memiliki kecerdasan yang
tidak dimiliki generasi sebelumnya. Makanya, berbagai inovasi dan kreativitas
dimunculkan demi mengalirkan kecerdasan anak muda, yang di usia belia sudah menjadi miliuner, sebagaimana Mark Zuckerberg, pendiri Facebook.
Dalam buku Grown
Up Digital, yang pertama kali terbit tahun 2009, penulis Don Tapscott membantah
argumen tentang generasi masa kini yang dianggap lebih bodoh. Ia menampilkan
banyak data dan riset tentang kecerdasan generasi kini yang lebih baik dari
generasi sebelumnya.
Kata Tapscott, para net-gener,
sebutan untuk generasi yang mengenal internet sejak kecil, menggunakan teknologi
untuk menjadi lebih cerdas dibanding orangtuanya. Tumbuh dalam lingkungan
digital, membuat generasi ini memiliki keterampilan mental, seperti kemampuan pemindaian
dan berpindah-pindah dari tugas mental satu ke tugas mental lain dengan cepat.
beberapa sosok dalam game online |
Kata Tapscott, generasi ini cepat merespon
berbagai informasi yang masuk dengan cara-cara yang unik. Mereka berpikir dan
mengolah informasi dengan cara berbeda. Mereka mengolah wawasan-wawasan baru,
yang lalu membawa banyak implikasi pada sistem pendidikan, iklim bisnis, serta
bagaimana mempengaruhi kebijakan.
Makanya, yang harus dilakukan adalah memahami
cara berpikir generasi ini, lalu mengembangkan sistem pendidikan yang lebih
kondusif bagi siap kritis serta nalar mereka untuk tumbuh dengan cepat.
Dalam buku yang ditulis Tapscott, saya menemukan
beberapa contoh menarik. Di antaranya adalah eksperimen yang dilakukan Green
dan Bavalier terhadap para pemain game
aksi seperti Warcraft, Crazy Taxi, Age of
Empire. Mereka juga melakukan eksperimen pada generasi yang bukan pemain
game. Tujuan eksperimen itu adalah membandingkan bagaimana kedua pihak merespon
infromasi visual dalam pikirannya.
Hasil riset itu menunjukkan bahwa para pemain
game jauh lebih cepat merespon informasi visual di pikirannya, ketimbang mereka
yang tidak bermain game. Para pemain game jauh lebih banyak melihat berbagai
target seperti bujur sangkar, lingkaran, wajik, limas, kerucut, yang
ditampilkan di layar komputer.
Para pemain game lebih cepat memproses semua
informasi di pikirannya. Tadinya, Green dan Bavalier menganggap kemampuan para
pemain game itu tumbuh secara alami. Ternyata tidak. Saat generasi tua itu
dilatih dan bermain salah satu game aksi yakni Medal of Honor selama 10 hari,
kemampuan visual mereka meningkat pesat.
Riset ini menarik sebab kemampuan mengolah
data-data visual sangat berpengaruh pada keterampilan spasial, kemampuan
memanipulasi obyek 3-D secara mental, yang sangat berguna bagi para arsitek
atau perancang bangunan, pemahat, insinyur, pekerja desain interior, fashion
designer, pembuat animasi dan kartun, para seniman, hingga para ahli
matematika. Kemampuan memproses data visual adalah jantung bagi kesuksesan di
beberapa bidang tersebut.
Riset lain membuktikan game interaktif sangat
berguna dalam pelatihan dokter bedah. Tapscott mengangkat fakta tentang bedah
laparoskopis, sebuah teknik invasif minimal dengan kamera dan alat-alat operasi
yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui irisan kecil kira-kira satu sentimeter.
Ahli bedah laparoskopis mengerjakan operasi bedah hanya dengan melihat citra
yang berasal dari kamera internal yang sangat kecil. Dalam studi tahun 2004,
para dokter muda yang terbiasa bermain game dan dilatih untuk mempelajari
keterampilan bedah ini lebih cepat belajar, dan lebih sedikit melakukan
kesalahan dibandingkan mereka yang tak pernah bermain game.
Di luar riset tadi, saya pun mengamati anak
saya Ara yang berusia 5 tahun. Dalam sehari, anak ini bisa menghabiskan
beberapa jam untuk bermian game. Ia melakukannya di luar aktivitas seperti
bersekolah, bersepeda, dan bermain dengan rekan sebayanya.
Yang mengejutkan
saya, ia dengan cepat belajar bahasa Inggris, dan menguasai begitu banyak kosa
kata yang tidak pernah saya ajarkan sebelumnya. Saat kami berkunjung ke satu
tempat hiburan, ia sangat familiar dengan peta visual yang dibagikan. Ia dengan
cepat membuat keputusan ke mana saja kami haris berkunjung.
Dalam usia semuda itu, ia sudah bisa memahami
situasi, serta membuat prioritas tindakan yang harus dilakukan. Dalam situasi
tertentu, ia memberikan nasihat serta pilihan-pilihan yang harus diambil. Kelihatannya
ini sepele. Tapi saya sering bertemu dengan para pekerja kantoran yang justru
tak bisa memahami situasi, serta membuat keputusan apa yang harus dilakukan.
Saya banyak melihat orang yang mentalnya adalah tipe pekerja yang harus
diberikan petintah apa yang harus dilakukan, tanpa kemampuan membaca situasi
lalu menyusun prioritas di tengah berbagai pilihan. Hanya satu penjelasan atas
kemampuan Ara. Ia sering bermain game, terbiasa berada pada satu situasi penuh
tantangan, lalu membuat keputusan strategis.
salah satu game online |
Saya teringat pada Prof Vilbert Cambridge, yang
pernah mengajari saya di kelas Communication and Development di kampus Ohio.
Dalam beberapa kali pertemuan, ia menunjukkan sejumlah game komputer yang diajarkanya
kepada anak-anak di beberapa negara berkembang.
Salah satu game itu adalah
situasi di tengah desa Afrika di mana beberapa anak harus mengambil air di
tengah gurun. Anak-anak itu harus melewati sejumlah tantangan untuk menuju
sumber air itu. “Sepintas ini permainan, tapi sesungguhnya ini adalah pelajaran
besar bagi anak-anak untuk mengenali situasi di sekitarnya, lalu membuat banyak
keputusan strategis. Anak-anak zaman sekarang belajar dengan cara yang berbeda
dengan generasi saya,” kata Cambridge.
***
SAYA tak akan berpanjang lebar membahas
fenomena game. Saya hanya ingin
mengatakan bahwa ada banyak norma dan nilai yang bisa diserap pada generasi
baru yang seharusnya menjadi inspirasi bagi kita untuk mengubah pendidikan,
cara belajar, iklim bisnis, serta cara kita memahami sesuatu. Mengutip
Tapscott, generasi ini baik-baik saja.
Mereka belajar sambil bermain game dan
terkoneksi internet. Mereka menyukai kecepatan, anti pada rutinitas,
menginginkan kebebasan, dan membuat sesuatu sesuai selera (kustomisasi). Mereka
membawa mentalitas bermain dalam pekerjaan, lalu membuat pekerjaan itu menjadi
fantastis. Tak heran jika perusahaan raksasa Google membangun kantor yang
atmosfernya seperti ruang bermain.
Di situ ada banyak camilan, sofa-sofa untuk
berbaring, serta ruangan yang didesain warna-warni sehingga menampilkan kesan
santai, yang jauh dari kesan serius sebuah kantor. Bahkan karyawan diijinkan
untuk membuat proyek pribadi, yang dalam banyak kasus, justru kelak menjadi
tambang uang bagi perusahaan itu.
salah satu sudut di kantor Google |
Dunia memang telah banyak berubah. Melalui
game, aplikasi, dan software, telah lahir satu generasi multi-tasking yang bisa
mengerjakan banyak tugas saat bersamaan. Mereka dengan cepat memindai artikel
di internet, lalu memperkaya informasi itu dengan informasi lain.
Saya mengakui ada juga generasi baru ini yang
menggugah konten porno, mengambil informasi dari internet demi plagiasi, lalu menyebar
bully dan meme yang sering
mendiskreditkan orang lain. Pada tahap ini, pengawasan orang tua dan sekolah sangat
penting untuk mengalirkan energi kreatif itu ke arah sesuatu yang positif.
Pengawasannya bukan dengan gaya generasi tua yang menghardik dan memaksakan sesuatu.
Pengawasan itu harus dengan cara yang kreatif dan menyenangkan, nilai-nilai yang dijadikan patokan dalam mengisi aktivitasnya hari demi
hari.
Semoga kita selalu belajar dan menyerap semua pengetahuan.
Bogor, 23 Juli 2016
BACA JUGA:
3 komentar:
Kegamangan generasi "digital immigrant" menghadapi teknologi versus generasi digital native. Gak bakal selesai :)
Gw ngak download dan ngak main pokemon ini
terlalu lelah merthatiin orang2 di jalan dengan pokemon nya hahaha
Hi, i love to read this article. thank you so much. ^_^
Posting Komentar