Kisah Ekonom Tanpa Uang


Mark Boyle

KEHEBOHAN sedang melanda. Bocornya dokumen bernama Panama’s Paper membuat semua orang membicarakan tentang sejumlah manusia super kaya yang memarkir dananya di luar negeri. Beberapa argumentasi mencuat, mulai dari rasa aman, perlindungan hukum, hasrat untuk mempertahankan uang, hingga keinginan melindungi uang mati-matian di negeri jauh.

Di tanah Irlandia, seorang pembelajar ekonomi dan bisnis memutuskan untuk hidup dengan cara baru. Ia hidup tanpa uang demi menemukan kebebasan dan kedamaian. Setelah delapan tahun hidup tanpa uang, ia justru menemukan inspirasi baru. Ia melihat kehidupan dengan cara lain. Apakah gerangan?

***

SEMBURAT pagi baru saja muncul di ufuk, saat lelaki bernama Mark Boyle memulai hari. Ia lalu membersihkan giginya dengan tulang, buang air kecil dan besar di lubang kecil yang kemudian ditimbun lagi. Ia memasak bahan makanan, yang ditanami sendiri di kebunnya, dengan menggunakan kayu bakar.  Setelah itu, ia mengisi waktu dengan bersosialisasi dengan orang lain.


Selama delapan tahun, Mark Boyle bertekad untuk tidak mau tergantung pada uang. Ia mencukupi kebutuhannya sendiri. Kisah hidupnya serupa perjalanan menemukan diri yang berliku-liku.

Dahulu ia seperti halnya manusia lain yang selalu bergegas demi mencari rezeki dan penghidupan yang layak. Ia dibesarkan dengan nilai-nilai tentang hidup sejahtera, punya rumah bagus, mobil, serta fasilitas memadai.

Di tahun 1998, ia adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi. Sebagaimana mahasiswa ekonomi lainnya, ia belajar banyak hal tentang keuangan. Seusai mendapat gelar sarjana, satu keraguan merayapi hatinya. Ia bertanya, menapa ilmu ekonomi selalu dikaitkan dengan uang, uang, dan uang.

Baginya, ada kesalahan persepsi dalam melihat ekonomi. “Ekonomi bukan berarti uang. Ekonomi berarti memenuhi kebutuhan anda,” katanya.

Boyle memang unik. Ia seolah menentang arus besar manusia yang bergegas di siang hari demi mencari uang. Ia menantang cara berpikir yang menganggap bahwa uang adalah prasyarat penting untuk hidup nyaman dan aman. Ia sangat yakin kalau uang telah merusak hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan sesamanya.

Beberapa tahun silam, saya membaca catatan Boyle dalam buku Moneyless Man. Di buku ini, ia menunjukkan betapa banyak manfaat yang bisa diraih bila kita meminimalisir penggunaan uang, salah satunya mengurangi budaya konsumerisme dan sekaligus menjaga lingkungan. 

Menurutnya, sistem kredit yang berkembang saat ini telah menimbulkan banyak kerusakan lingkungan karena memungkinkan siapa saja hidup nyaman melampaui apa yang bisa mereka raih. Bagi kebanyakan kita, uang adalah jaminan kenyamanan, dan menurut Boyle pemikiran seperti ini sangat berbahaya.

Uang juga telah merenggut budaya kerjasama dan tolong-menolong dalam kehidupan sosial. Jika dulu orang akan dengan mudahnya membantu orang lain saat panen tanpa imbalan, atau jika pun dengan imbalan, mereka melakukannya dengan cara barter, maka lain hal dengan sekarang, segalanya diukur dengan uang. 

Selain itu, uang sejak lama telah menjadi alat kesenjangan sosial. Golongan A memandang rendah golongan B hanya karena memiliki banyak uang. Ini realita. Maka, bila semakin banyak orang yang mengesampingkan uang sebagai tujuan, budaya tolong-menolong dan saling menghargai itu akan tumbuh dan semakin berkembang.

Sejatinya, pandangan Boyle ini bukanlah sesuatu yang baru. Kalau berkunjung ke Rumah Panjang, yang didiami Suku Dayak, barangkali kita akan terperangah betapa harmonisnya hubungan antar keluarga Suku Dayak. 

Mulai dari anak kecil hingga orang tua berdiam di rumah yang sama. Mereka melakukan banyak hal bersama-sama. Sungguh beda dengan masyarakat kota yang hari-harinya sangat individual sebab sibuk mencari uang dan kenyamanan.

Di masyarakat kita, terdapat banyak kelompok-kelompok yang hidup kolektif dan melakukan banyak hal bersama semua anggota komunitas tanpa memikirkan akumulasi kapital. Kita bisa pula berkaca pada Suku Mentawai, ataupun suku-suku di pedalaman Papua. 

Mereka hidup kolektif, tinggal bersama dalam satu komunitas, dan saling menjagai. Apa daya, penetrasi kapitalisme, masuknya sistem ekonomi modern, serta berubahnya pandangan dunia telah membuat kita merasa lebih modern dan mengabaikan pelajaran berharga di masyarakat kita.

Namun, tetap saja banyak pelajaran pada Boyle. Berbeda dengan suku bangsa yang disebutkan di atas, Boyle adalah bagian dari masyarakat kota yang merasakan kehampaan dengan hidup ala manusia modern. 

Pada tahun 2007, Boyle membuat komunitas freeconomy yang membantunya dan anggota-anggotanya untuk saling membagi keahlian ataupun apa yang mereka punyai. Komunitas ini hendak membebaskan ekonomi dari uang, serta mengedepankan jejaring yang saling terhubung antar manusia.

The Moneyless Man berisi pengalaman hidup Mark Boyle selama setahun tanpa uang. Berangkat dari kepeduliannya pada lingkungan, juga keprihatinannya pada kehidupan sosial masyarakat yang kini berganti dari nilai-nilai sosial menjadi nilai kapitalis dan konsumerisme, ia akhirnya mengambil keputusan ekstrem untuk melakukan percobaan hidup tanpa uang. 

Dengan melakukannya langsung pada diri sendiri dan menyebarluaskan pengalamannya ke seluruh dunia lewat blog, media massa dan buku, maka dampak yang diperoleh akan sangat besar. Ia berharap akan ada perubahan-perubahan–kecil dan besar, sederhana bahkan ekstrem–yang terwujud dari ide ‘gila’nya.

Jangan mengira ia anti dengan segala hal yang berbau modern. Ia tak hanya makan sayuran yang ditanamnya. Ia juga makan roti, jamur, daging, dan sebagainya laiknya hidup normal. Ia bisa mendapatkan makanan gratis dan mewah. 

Ia membuat sendiri sikat gigi dan pastanya, sabun, lalu tinta dari jamur untuk menulis, membuat kompor roket, toilet kompos, menghasilkan listrik sendiri, serta hal-hal mengejutkan dan mengasyikkan lainnya. Meski tak memiliki kendaraan bermotor, ia tetap bisa menikmati perjalanan ke berbagai kota secara gratis. 

Bagaimana caranya melakukan itu semua? Ia membahas hal-hal itu di bukunya, termasuk sumber-sumber referensi yang memudahkan siapa saja untuk mulai meminimalisir penggunaan uang. Ia mengatakan:

“Pada mulanya, saya memulai hidup tanpa uang. Saya memulai eksperimen hidup menyatu dengan alam. Saya ingin menggali bagaimana menjadi manusia yang hidup tanpa terjebak pada uang, yang seolah-olah menjamin keamanan dan kenyamanan dalam menjalani hari. Setelah setahun, saya justru menemukan diri saya lebih bahagia dan merasakan kedamaian, lebih dari sebelumnya. Saya semakin yakin untuk menjalani hidup yang lepas dari perangkap uang. Saya mengubah hidup saya selamanya.”

Satu hal yang harus dicatat, Boyle bukanlah pemuda yang frustasi. Ia melakukan semua itu karena kesadaran tentang ada banyak hal yang jauh lebih penting dari sekedar uang. Baginya, yang jauh lebih penting adalah kesadaran ekologis, kesadaran tentang pertautan manusia dan alam, serta perlunya membangun jejaring antar manusia, yang secara natural saling membutuhkan. 

Ia lalu memutuskan untuk membuat program advokasi. Ia menulis buku catatan blog, serta berdiskusi dengan banyak orang mengenai pentingnya spirit berbagi, serta tidak menilai semua hal dengan uang.

buku yang ditulis Boyle

Tak semua orang mengaguminya. Jauh lebih banyak yang sinis terhadapnya. Malah, ia kerap dimaki dan dikritik pedas. Namun ia sampai sekarang terus berpegang teguh pada kata-kata Mahatma Gandhi: “Be the change you want to see in the world.“ Jadilah perubahan yang ingin kamu lihat di dunia.

***

MALAM ini saya kembali membaca catatan harian Mark Boyle (bisa dibaca DI SINI), sewaktu membaca berita tentang orang super kaya yang memarkir dananya di banyak bank. Saya kembali menemukan banyak embun pembelajaran. 

Saya menemukan lelaki yang meletakkan aspek keamanan (security) bukan pada seberapa banyak tabungan atau aset, tapi pada sejauh mana hubungan dan kedekatan dengan alam dan manusia.

Mark Boyle adalah anomali di masa ketika segala hal diukur dengan uang ataupun jabatan. Dia tak sama dengan orang-orang yang bergegas di jalan-jalan kita. Kepadanya, bolehlah kita mengambil seteguk dua teguk pelajaran berharga.


Bogor, 7 April 2016

2 komentar:

Subkioke mengatakan...

inspitatif. memang uang telah membuat hidup kita tidak tenang. kalo ada uang cash di rumah dlm jumlah besar pasti kita tidak bisa tidur nyenyak. itulah sebabnya dalam Islam, ada kewajiban/anjuran zakat, shodaqoh, infaq, wakaf. tujuannya agar harta kekayaan itu tidak hanya beredar ditangan orang2 kaya saja (QS Al Hasyr: 7), jauh berbeda seperti dlm ekonomi kapitalis yg laris saat ini. kata bang Rhoma "yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin"

Unknown mengatakan...

The good one

Posting Komentar