UNTUK pertama kalinya, Gibran Rakabuming,
putra Presiden Joko Widodo, tampil di hadapan media massa. Di satu acara yang digelar
stasiun televisi berlogo berwarna biru, ia tampil dan berdiskusi. Ia tak banyak
membahas politik, ia membahas aktivitas bisnis yang sehari-hari dilakoninya.
Bersama beberapa sahabat, saya menyaksikan
acara itu. Saya mendengar banyak cemooh dan sikap kasihan terhadap putra
presiden itu. Saya mendengar pula suara-suara sumbang atas kelakuan lelaki yang akan segera punya anak itu. Apakah gerangan?
***
SUATU hari di tahun 2009, seorang pemuda
ditahan oleh aparat berwajib di salah satu provinsi di kawasan timur Indonesia. Pemuda itu
ditahan karena terbukti menggunakan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
(APBD) kabupaten hingga hampir mencapai angka 10 miliar rupiah. Pemuda itu
bukanlah seorang pejabat. Bukan pula pimpinan satu unit usaha di lingkup
pemerintah daerah. Tapi ia bebas menggunakan dana negara hingga miliaran. Dia
adalah putra bupati yang sedang menjabat.
Catatan tentang transaksi yang dilakukan
pemuda itu memang ada di mana-mana. Ia pernah menutup satu bar ataupun karaoke
di satu kota demi menjamu semua teman-temannya. Ia seorang flamboyan yang ke
mana-mana bersama para gadis. Seorang teman bercerita kalau terdapat satu kamar
jenis presidental suite di satu hotel mewah di Jakarta, yang hanya bisa
ditempati olehnya selama setahun. Ia membawar sewa selama setahun penuh,
meskipun ia tidak setiap saat ada di Jakarta.
Mungkin, tak masalah jika prilaku
berfoya-foya itu menggunakan dana pribadi. Parahnya, ia tak punya usaha ataupun
bisnis yang bisa menunjang sikap berfoya-foya itu. Tapi ayahnya adalah seorang
bupati yang punya kuasa atas miliaran dana pusat yang dititipkan ke daerah
melalui berbagai skema anggaran. Memang, tak mudah mencairkan dana itu. Ada
mekanisme yang harus ditempuh. Akan tetapi ayahnya seorang bupati yang bebas
mengeluarkan memo kepada bendahara daerah.
Berbekal secarik memo, ia lalu mengontak
bendahara daerah. Dengan sedikit ancaman pencopotan dari posisinya. Birokrasi
bergerak laksana hamba yang setiap saat memenuhi keinginan sang putra mahkota.
Tercatat beberapa kali transfer dana publik ke rekening pribadi. Tercatat pula
transfer dana publik ke rumah karaoke, rumah pijat, rumah mode, salon, hingga
beberapa resto mewah.
Anda jangan iri kepadanya. Ayahnya bupati.
Ia merasa bebas melakukan apapun. Para pegawai negeri di daerah berada dalam
posisi dilematis. Membantahnya bisa berabe. Sekali membantah, anda akan masuk
dalam daftar yang akan di-nonjob atau dibebastugaskan. Jika anda seorang
pejabat, siap-siaplah kehilangan jabatan atas sikap kritis. Birokrasi punya banyak
mekanisme yang diperhalus dengan istilah-istilah, misalnya penyegaran, penguatan
visi bupati, fit and proper test,
hingga berbagai nama lain yang ujung-ujungnya adalah pencopotan birokrat yang
tak bersedia menghamba pada kepala daerah. Berani membantah, siap-siap
kehilangan jabatan. Jika anda masih jomblo, tentu tak masalah. Tapi jika anda
seorang profesional yang punya keluarga, maka siap-siap untu menyanyikan lagu
“sakitnya tuh di sini.”
Anda jangan terkejut dengan kenyataan ini.
Reformasi dan desentralisasi telah memindahkan kewenangan pusat ke
daerah-daerah. Di masa reformasi, terdapat banyak wacana untuk menguatkan
daerah. Tapi fakta yang muncul cukup menggiriskan. Di banyak tempat, yang
muncul sebagai kepala daerah adalah mereka yang tidak punya karakter melayani. Yang
muncul adalah transformasi dari kerajaan atau kesultanan ke dalam birokrasi.
Kepala daerah adalah raja, yang lain adalah abdi.
Putra bupati menjadi putra mahkota yang
juga harus disembah. Jika tak ingin ketahuan sebagaimana kepala daerah yang
disebut di atas, ada banyak mekanisme lain. Misalnya menjadikan sang putra
sebagai kontraktor yang dimodali ayahnya, kemudian menadah semua proyek
pemerintah daerah. Dengan cara ini, semua proyek infrastruktur masuk kas
pribadi, kemudian digunakan untuk hal lain, misalnya menjadi ketua partai
politik, menjadi ketua organisasi massa. Di ajang pemilihan, sang putra mahkota
itu lalu menjadi caleg, yang menggunakan kekuatan uang, hingga akhirnya
terpilih menjadi anggota dewan. Nanti siap-siap jadi bupati untuk menggantikan
ayahnya.
Bisa pula cara lain. Sang putra mendapat
jatah kuasa pertambangan, yang kemudian digunakan untuk mengeruk hasil bumi.
Kalau cara ini berisiko, ada lagi yang lebih simpel, yakni membeli tanah warga
dengan harga murah, setelah itu menyusun ulang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) lalu membangun infrastruktur di sekitar tanah sang putra. Harga tanah
melonjak drastis. Kalau masih berisiko, ada lagi cara lain. Buka saja satu toko
bahan bangunan, toko makanan, toko alat tulis, toko foto kopi. Nanti semua
rekanan pemda diarahkan untuk belanja di situ. Anggaran di-markup, sisakan
untuk bagi-bagi, setelah itu simpan miliaran rupiah ke bank. Sang putra lalu
kaya-raya, kemudian hepi-hepi dengan jet pribadi,
Semuanya bisa terjadi. Ayahnya kan bupati.
***
Di Metro TV, Gibran berbicara tentang
aktivitasnya. Ia mengelola bisnis penjualan martabak. Hah? Martabak? Makanan
yang banyak ditemukan di tepi jalan itu dikemas ulang menjadi makanan serupa
pizza yang lezat. Pernah, saya ke Solo dan mencicipi martabak itu. Harus saya
akui kalau rasanya lezat. Pada saat itu saya tidak punya gambaran siapa yang
menjual martabak itu. Istri saya memberi tahu kalau usaha martabak itu dimiliki
oleh putra seorang presiden. Usaha lainnya adalah jasa katering yang menyuplai
makanan untuk acara perkawinan. Hah?
Seorang kawan kesal melihat
jawaban-jawaban Gibran di televisi. Jika ia tinggal di daerah, ia sudah lama
menjadi bahan tertawaan. Ia benar-benar beda dengan keluarga pejabat di
daerah-daerah yang sibuk membangun dinasti lalu mewariskan kekuasaan dan juga
materi hanya untuk keluarganya. Jika saja ia berpikir uang, posisinya sebagai
putra presiden bisa membuatnya kaya-raya dalam sekejap, tak perlu berjualan
martabak.
Ah, mungkin Gibran terlampau lugu. Dia
tidak belajar dari putra-putri presiden sebelumnya yang mengeruk dana negara
demi mengalirkannya ke perusahaan pribadi. Dia tidak belajar bagaimana putri
presiden yang di awal-awal mendapat tender ratusan kilometer jalan tol, lalu
mendapat lagi jatah saham hingga lebih 30 persen di beberapa bank terbesar.
Saudaranya mendapat monopoli perdagangan cengkeh, jatah 1 dollar dari setiap
barel penjualan BBM, penjualan mobil hingga mie instan, usaha penerbangan,
ratusan perusahaan tambang, hingga payung hukum negara untuk proyek mobil
nasional yang ternyata mobil asal Korea, yang telah dibebaskan bea-masuk agar
murah dijual.
Si Gibran itu terlampau bodoh. Kenapa pula
ia tidak berpikir untuk membuat banyak yayasan-yayasan, lalu mengelola dana
negara di yayasan itu? Dia bisa belajar dari anak presiden sebelumnya yang
membangun masjid dan rumah sakit di mana-mana, namun menyelip sisa anggaran
dalam jumlah sangat besar? Atau tak usahlah jauh-jauh. Anggaplah Gibran ini
malas bekerja dan ingin santai di rumah. Mengapa pula ia tak berpikir untuk
menjadi komisaris dari banyak perusahaan yang dengan sukarela akan menyerahkan
posisi itu kepadanya, sebagai bentuk upaya “menjilat” kepada ayahnya demi proyek-proyek
besar?
Jika saja Gibran membuka mata, mengapa
pula ia tak meniru orang-orang yang mengaku relawan, yang merasa berjasa besar
menaikkan ayahnya sebagai presiden, lalu teriak-teriak mengkritik demi jabatan
komisaris BUMN? Mengapa pula ia tak meniru para politisi yang dulu memaki dan
menyebar kampanye negatif ayahnya, lalu setelah ayahnya jadi presiden, para
politisi itu datang ke istana dengan bersimpuh lalu cengengesan, sembari
berkata, “Apakah bisa kami berkontribusi untuk kemajuan bangsa dan negara?”
Tapi melalui apa? “Melalui proyek!”
***
BERBEDA dengan teman saya, saya justru
melihat Indonesia yang lebih benderang dengan kehadiran anak muda seperti
Gibran. Dengan caranya sendiri, ia menginspirasi rakyat Indonesia untuk bekerja
keras dengan tangan sendiri, keluar dari bayang-bayang ayahnya, berpeluh
keringat demi menegakkan kemandirian. Saya bangga melihat seorang anak muda
yang memilih untuk memulai dari nol, tanpa harus memanfaatkan posisi keluarga,
menggunakan aji mumpung, atau melingkar pada lapis-lapis elite kuasa demi
membangun kartel.
Dengan caranya sendiri, anak muda ini
telah ‘menampar’ putra-putri pejabat yang hanya bisa memanfaatkan jabatan dan
posisi ayahnya demi memenuhi kebutuhan pribadi. Gibran menunjukkan bahwa
menemukan jalan nasib sendiri jauh lebih terhormat daripada sikap kongkalikong
dan memanfaatkan posisi serta jabatan seorang ayah.
Gibran memisahkan antara wilayah kerja
bapaknya, serta wilayah yang menjadi garis edarnya, dan tak punya niat untuk
mencampur-baurkan keduanya. Ia sadar bahwa jabatan presiden adalah amanah. Ia
tahu bahwa pada jabatan itu melekat tanggungjawab, kerja keras, bukannya
kemudahan-kemudahan dalam berbagai urusan. Ia memilih menjadi rakyat biasa yang
bekerja, namun sesekali bisa mencandai ayahnya, yang kebetulan menjabat sebagai
presiden di negara kepulauan terbesar di dunia.
Melalui anak muda seperti Gibran, kita
bisa berharap pada tanah air Indonesia yang lebih hebat di masa mendatang. Kita
berharap akan tumbuhnya lapir generasi baru yang menghadapi derasnya samudera
kehidupan dengan mengayuh di atas biduk sendiri, dengan mengembangkan layar
sendiri lalu memanggil angin perubahan, demi mencapai pulau kebangsaan yang
indah-permai.
Bogor, 26 Februari 2016
BACA JUGA:
4 komentar:
anak muda yg mandiri. tidak mau bersandar sama popularitas ayahnya
Subhanaullah..
Saya percaya, tidak sedikit gibran - gibran lain tersebar di negeri ini. Klo sikap dan perbuatan sprt ini dianggap Bodoh, betapa primitif dan tidak beradabnya bangsa ini.
Kereeeen sukaaaa sekali tulisan ini....
Posting Komentar